"Teh, kenapa teteh memutuskan buat nikah?" tanya kawanku saat aku baru saja duduk di sofa kantornya. ("Teteh" memang sapaan akrab kawan-kawanku di kampus. Tapi kemudian merambat ke tempat lain).
"Hmm, kenapa ya. Karena menurutku udah waktunya aja." jawabku seadanya.
Menikah memang bukan keputusan yang mudah. Bahkan sampai saat ini aku masih "seperti belum percaya" kalau sudah menikah. Aku memang sudah lama mengenal suamiku. Tapi untuk menjalani bahtera rumah tangga, itu soal lain.
Keputusan untuk berumah tangga bukan diambil karena emosi sering ditanya "Kapan nikah?" Bukan juga karena usia yang semakin bertambah. Keputusan menikah harus didasarkan pada kesadaran dan kesiapan penuh dari diri sendiri.
Ada begitu banyak hal yang harus kita pertimbangkan sebelum menikah, dari mulai kesiapan fisik, materi, hingga psikis. Yang perlu diperhatikan pula, menikah bukan hanya menjalin hubungan dengan suami/istri, tetapi juga mertua dan antar keluarga.
Di bulan-bulan pertama, aku sangat kesulitan beradaptasi. Terlebih aku dan suami berasal dari latar budaya dan bahasa yang berbeda. Aku dan suami kerap kali bertengkar karena kesalahpahaman. Tapi untungnya semua bisa cepat diselesaikan.
Bersyukur sekali punya suami yang bisa sabar menghadapi aku yang sering mood swing dan marah-marah. Tapi aku pun tidak segan untuk mengutarakan apa yang kurasakan dan kupikirkan, sehingga semuanya bisa dibicarakan dan dikomunikasikan. Bahkan beberapa kali kita pillow talk sampai sama-sama nangis juga hehe.
Menikah itu rasanya nano-nano, ada senang, bahagia, sabar, syukur, ikhlas, kesal, sebal, dan banyak lagi. Yang pasti, aku menikmati setiap prosesnya dan akan terus belajar.
Komentar
Posting Komentar