Langsung ke konten utama

Klasifikasi Hadith Berdasarkan Jumlah Perawi dan Cara Penyampaiannya

BAB I
PENDAHULUAN
                   I.            Latar Belakang
Hadits merupakan pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an, maka dari mempelajarinya merupakan suatu kebutuhan. Untuk memahami hadits diperlukan adanya ilmu dasar yang disebut dengan Mustholah Hadits. Berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat qoothi’ul  wuruud, hadits bersifat dzhonniyul wuruud, sehingga hadits memiliki derajat yang berbeda-beda.
Salah satu pembahasan dalam ilmu hadits adalah klasifikasi hadits berdasarkan jumlah perawi yang meriwayatkannya. Semakin banyak periwayat yang meriwayatkan, maka semakin besar juga kemungkinan Klasifikasi ini dibagi menjadi dua, yaitu hadits yang mutawatir dan hadits ahad. Hadits ahad terbagi lagi menjadi tiga yaitu masyhur, aziz dan ghorib. Adanya klasifikasi ini untuk membantu ulama hadits dalam menentukan apakah kualitas hadits itu shohih, hasan, atau dhoif.
Selain itu, ada pula klasifikasinya berdasarkan cara penyampaiannya kepada kita, yang terbagi menjadi hadits musnad, marfu’, mauquf, dan maqthu’. Adanya klasifikasi ini berdasarkan kepada orang yang menyampaikan matan haditsnya, apakah itu perkataan Rasulullah Saw, sahabat, atau tabi’in.



                II.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana klasifikasi hadits berdasarkan jumlah perawinya?
2.      Bagaimana klasifikasi hadits berdasarkan sumber beritanya?

             III.            Tujuan
Untuk mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan jumlah perawi dan cara penyampaiannya.





BAB II
PEMBAHASAN
       I.            Klasifikasi Hadits Berdasarkan Jumlah Perawi
A.  Hadits Mutawatir
1. Definisi
Menurut bahasa berarti المتتابع (al-mutatabi) yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. Menurut beberapa ulama, salah satunya adalah Mahmud at-Tahhan dalam kitabnya Taysir fii Mustalah al-Hadits[1], menyatakan:
مارواه عدد كثر تحيل العادة توا طؤهم على الكذب
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat dan kebiasaannya mustahil bersepakat untuk berdusta”.

 Sedangkan menurut Abuu Ya’laa al-Muusilli at-Tamimi, hadits mutawatir adalah:
فالخير المتواتر هو خبر عن محسوس أخبر به جماعة بلغوا في الكثيرة مبلغا تحيل العادة تواطؤهم على الكذب فيه[2]
“Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”

Jadi menurut istilah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang jumlahnya banyak pada tiap tingkatannya (thabaqat) sehingga mustahil mereka sepakat untuk berbohong, dan proses periwayatannya melalui panca indera, misalnya dengan mendengar langsung perkataan Nabi, melihat Nabi melakukan suatu perbuatan, dll.

2. Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut[3]:
a)        Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama hadis mempunyai perbedaan pendapat dalam menentukan seberapa banyak perawi yang harus meriwayatkan sebuah hadis sehingga dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang berpendapat 3 orang, 4 orang, 5 orang, 10 orang, bahkan ada yang berpendapat 300 orang diantaranya[4]:
*   Abu`t-Thayyib menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan hakim kepada orang yang berzina. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 15 :
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا (النساء: 15)
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji], hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya
*   Ash-habu`sy-Syafi`iy menentukan minimal 5 orang, karena mengqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulul azmi.
*   Sebagian ulama mengatakan 20 orang berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam surat al-Anfal ayat 65:
إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ (الأنفال:65)
    
 “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu niscahya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”

*   Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ)الأنفال:45(
“Ya nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”

Jumlah orang-orang mukmin pada waktu itu baru 40 orang dan merupakan jumlah minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai suatu tujuan.
Adanya jumlah perawi yang banyak inilah yang memungkinkan hadis yang disampaikan tidak memiliki keraguan terhadap kebenaran hadis tersebut. Akan tetapi jumlah yang paling disepakati adalah 10.
b)        Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya
Terdapat berbagai pendapat mengenai keseimbangan perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya. Ada yang berpendapat bahwa apabila jumlah perawi pada tingkatan awalnya tidak sama dengan tingkatan selanjutnya maka hadis tersebut tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir. Namun, pendapat lain menyatakan adanya perbedaan perawi pada setiap Thabaqat bukanlah masalah karena pada dasarnya hadis yang disampaikan sama banyaknya. Dan hadis tersebut bisa dikategorikan sebagai hadis mutawatir.
c)    Mustahil Bersepakat Bohong                                                                      
Berdasarkan jumlah perawi yang banyak, maka periwayatan suatu hadis ini secara logika sangat sulit untuk bersepakat berbohong dalam periwayatannya, karena mengingat bahwa hadis yang diriwayatkan tersebut berjumlah banyak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kuantitas bukan merupakan suatu hal yang mutlak ketika hadis dikatakan mutawatir atau bukan, karena realitas yang ada sekarang ini para periwayat hadis pun masih ada kemungkinan untuk berbohong dalam periwayatannya.
d)       Berdasarkan Tanggapan Pancaindera
Maksudnya adalah berita yang disampaikan itu merupakan hasil dari sesuatu yang didengar dengan telinga, dilihat dengan mata, dan bukan merupakan hasil yang disandarkan pada logika atau akal belaka. Sehingga, apabila berita tersebut merupakan hasil pemikiran atau logika suatu peristiwa dan bukan merupakan hasil istinbath, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir. Hadis itu berdasarkan tanggapan pancaindera, misalnya ungkapan periwayatan  :
سمعنا              = Kami mendengar (dari Rasulullah  bersabda begini)
رأينا او لمسنا  = Kami sentuh atau Kami melihat (Rasulullah melakukan begini dan seterusnya)




3.    Hukum Hadits Mutawatir
Hadits  mutawatir mengandung hukum qath`i as tsubut yaitu memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadits mutawatir, bahkan para ulama mengatakan kufur bagi orang yang mengingkari hadits mutawatir. Mengingkari hadits mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber dari Rasulullah [5].

4.    Pembagian Hadis Mutawatir
Dalam pembagiannya, sebagian ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
a). Mutawatir Lafdzhi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzhi menurut Mahmud at-Tahhan ialah  :
المتواتر اللفظي هو ما تواتر لفظه ومعنه[6]
“Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”.
Maksudnya, hadis yang redaksi dan maknanya berasal dari Rasulullah Saw. Beberapa ulama ada yang berpendapat dan menetapkan bahwa hadis mutawatir lafdzhi itu tidak ada atau sedikit sekali. Sedangkan menurut pendapat ulama yang menetapkan adanya hadis mutawatir lafdzhi ialah menilai dari segi sedikit atau banyak jumlahnya, atau melihat dari segi makna beberapa lafaz yang sama.  
Perbedaan pendapat tersebut dapat dimaklumi karena mengingat bahwa terdapat perbedaan pula dalam hal jumlah perawi hadis mutawatir. Berikut adalah contoh dari hadis mutawatir lafdzhi :
حَدَّثَنَا أَبُو الوَلِيدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ جَامِعِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قُلْتُ لِلزُّبَيْرِ: إِنِّي لاَ أَسْمَعُكَ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ كَمَا يُحَدِّثُ فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ؟ قَالَ: أَمَا إِنِّي لَمْ أُفَارِقْهُ، وَلَكِنْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: «مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار[7] (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami Abu al-Walid, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Jami’ bin Syadad, dari Amir bin Abdillah bin Zubair, dari ayahnya, ia berkata : Aku berkata kepada Zubair “Sesungguhnya aku belum mendengarmu suatu hadits dari Rasulullah sebagaimana yang dikabarkan fulan dan fulan. Ia (Zubair) berkata : Aku belum berpisah dengannya, akan tetapi aku mendengarnya (Rasulullah) bersabda “Barangsiapa yang berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menempati tempatnya di neraka” (HR. Bukhori)
Dalam periwayatan hadis tersebut muncul berbagai pendapat tentang jumlah perawi yang meriwayatkannya, di antaranya adalah[8]:
·         Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 40 sahabat.
·         Ibnu al-Shalah (w. 643 H)[9] berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, dan 10 di antaranya dijamin masuk surga.
·         Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazariy mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh 40 sahabat.
·         Abu Qasim ibn Mandah (w. 395 H)[10] berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 sahabat.
·         Dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 200 sahabat.

b). Mutawatir Ma’nawi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah :
مَا تَوَاتَرَ مَعْنَاهُ  دُوْنَ لَفْظِهِ[11]
“Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya”.

Ada pula yang mengatakan hadis mutawatir ma’nawi ialah:

هُوَ أَنْ يَنْقِلَ جَمَاعَةٌ يَسْتَحِيْلُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَوُقُوْعُهُ مِنْهُمْ مُصَادَفَةً فَيَنْتَقِلُوْا وَقَائِعَ مُخْتَلِفَةً اشتركتْ فِى أَمْرٍ يتواتر ذلك القدر المشترك[12]

“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat kebiasaan mereka bersepakat berdusta. Mereka menukilkannya dalam berbagai bentuk, tetapi dalam satu masalah atau mempunyai titik persamaan”

Contoh dari hadis mutawatir ma’nawi :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، وَابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ»[13]
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Yahya dan Ibnu Abi ‘Adi, dari Said, daro Qotadah, dari Anas bin Malik, ia berkata “Rasulullah tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau kecuali dalam shalat istisqo, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih ketiaknya”. (HR. Bukhori)
Hadis  yang semacam ini, tidak kurang dari 30 hadits dengan redaksi yang berbeda-beda. Di antaranya adalah hadis yang ditakhrij oleh Imam Ahmad al-Hakim (w. 405 H) dan Abu Daud (w. 275 H) yang berbunyi:
كان يرفع يديه حدو منكبيه
“Rasulullah mengangkat tangannya sejajar dengan kedua pundak beliau”
5.        Kitab-kitab terkenal yang membahas tentang hadits mutawatir
Kitab-kitab yang disusun khusus memuat hadis mutawatir adalah sebagai berikut[14]:
·      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi (w. 915 H). Dalam kitab tersebut, As Suyuthi menyusun bab demi bab dan setiap hadits diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya. 
·      .Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas.
·      Al-La’ali’ Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
·      Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
·      Ithaf Dzawil Fadha’il al-Musythahirah bi Maa Waqaa’ min Ziyadah ‘Alaa al-AzharAl-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh Abdul ‘Aziz al-Ghammari.
·      Luqt al-Liaalii Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abii al-Faidh Muhammad Murtadhaa al-Husainii az-Zubaidii al-Misri.

B.  Hadits Ahad
1.    Definisi

Menurut bahasa adalah jama dari أحد yang berarti satu. Secara istilah yaitu hadits yang perawinya tidak melebihi jumlah perawi hadits mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir serta tidak mencapai derajat mutawatir sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits. [15]
مَا لَمْ تَبْلُغُ نَقْلَتُهُ فِى الْكَثِرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرْ سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوْ اِثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا اَوْ اَرْبَعَةً اَوْ خَمْسَةَ اَوْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْدَادِ الَّتِى لَا تَشْعُرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ دَخَلَّ بِهَا فِى خَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ[16]

“Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”

Adapula yang meriwayatkan hadits ahad sebagai  :
هُوَ ما لَم يجمع شروط التَّوَاتُرِ[17]
“Hadits yang belum mencapai syarat-syarat hadits mutawatir”

2.    Faidah Hadits Ahad 
Hadits-hadits ahad memiliki faidah-fadah sebagai berikut:
Pertama, menunjukkan dugaan kuat (zhann), yaitu dugaan terkuat akan keabsahan penisbatan hadits tersebut kepada orang yang menjadi sumber penukilan. Hal itu berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. Hadits ahad bisa juga memberikan faidah ilmu (yaqiin) jika memiliki berbagai indikasi (qaraa’in) yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil pokok (yaitu Al-Qur’an atau hadits shahih).
Kedua, mengamalkan kandungannya, yaitu dengan membenarkannya jika berupa berita dan menerapkannya (melaksanakannya) jika berupa tuntutan.

3.    Kriteria Hadits Ahad 
Adapun yang berkaitan dengan perawi hadits (sanad) yaitu perawinya harus adil, dhabit, paham dengan hadits yang disampaikan, melakukan apa yang telah diriwayatkannya, menyampaikan hadits dengan huruf-hurufnya, serta mengetahui perubahan makna hadits dari lafal hadits yang sebenarnya.[18]
Sedangkan persyaratan yang berkaitan dengan substansi hadits[19], yakni:
·         Sanadnya bersambung dengan Rasulullah.
·         Terhindar dari Syuzuz (kejanggalan-kejanggalan) dan ‘Illat (cacat).
·         Tidak bertentangan dengan as-Sunnah al-Masyhurah serta tidak bertentangan dengan prilaku sahabat dan tabi’in.
·         Sebagian ulama salaf tidak mencela hadits tersebut.
·         Tidak terdapat penambahan dalam sanad dan matannya.

4.    Klasifikasi hadits ahad
Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqah, Hadits ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu: masyhur, ‘aziz, dan gharib.
a). Hadits Masyhur
1). Definisi
Hadits Masyhur menurut bahasa, isim maful dari kata شهر يشهر yang berarti menjadikan terkenal. Secara istilah hadits Masyhur, ialah  :
مَا رَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَ وَلَمْ يَصِلْ  دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ[20]
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.”

Sedangkan menurut Al-Hafid Ibnu Hajar (w. 852 H):
الحديث المشحور ما له طرق محصورة بأكثر من اثنين
“Hadits masyhur adalah hadits yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua”

Al Balqini berkata dalam kitab ushul, bahwa hadits masyhur identik dengan hadits mustafidh[21]. Kata mustafidh menurut bahasa berasal dari kata فاض dalam kalimat seperti فاض الماء yang berarti air itu mengalir. Sedangkan menurut istilah artinya masih diperselisihkan dalam beberapa pendapat sebagai berikut[22]:
·         Hadits mustafidh sama dengan hadits masyhur
·         Hadits masyhur itu lebih umum dari pada hadits mustafidh karena hadits mustafidh itu permulaan, pertengahan dan akhir sanadnya sama banyaknya, sedangkan hadits masyhur tidak harus demikian
·         Hadits mustafidh itu lebih umum dari pada hadits masyhur,

2). Hukum Hadits Masyhur
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan, dan dhaif . Yang dimaksud dengan hadits  masyhur yang shahih adalah yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun matannya.
Contoh hadits masyhur yang berstatus shohih:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الجُمُعَةَ، فَلْيَغْتَسِلْ»[23] (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata Malik Telah mengabarkan kepada kami, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar rhadiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat, maka mandilah” (HR. Bukhori)
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur yang hasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah :

حَدَّثَنَا عَبْدُ رَبِّهِ بْنُ خَالِدٍ النُّمَيْرِيُّ أَبُو الْمُغَلِّسِ قَالَ: حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يَحْيَى بْنِ الْوَلِيدِ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ، قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»[24] (رواه ابن ماجه)
            Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurobbih bin Kholid an-Numairiy Abul Muglas, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Fudhoil bin Sulaiman, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Uqbah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Yahya bin Walid, dari Ubadah bin as-Shomit bahwasanya Rasulullah memutuskan Tidak boleh membiarkan bahaya datang dan tidak boleh mendatangkan bahaya. (HR. Ibnu Majah)

Kemudian yang dimaksud dengna hadits masyhur yang dha’if ialah hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik sanad maupun matannya, seperti halnya hadis berikut:
وَأَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُمَرَ التُّجِيبِيُّ، ثنا أَبُو سَعِيدِ بْنُ الْأَعْرَابِيِّ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ هُوَ ابْنُ خَلَفِ بْنِ الْحُصَيْنِ الضَّبِّيُّ ابْنُ بِنْتِ مُبَارَكِ بْنِ فَضَالَةَ أَبُو مُحَمَّدٍ يُعْرَفُ بِأَبِي رُوَيْقٍ قَالَ: ثنا حَجَّاجُ بْنُ نُصَيْرٍ، ثنا الْمُثَنَّى بْنُ دِينَارٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : «طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»[25]

“Telah mengabarkan kepada kami ‘Abu Muhammad Abdurrahman bin Umar at-Tajibi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Said bin al-A’robi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman yaitu Ibnu Kholaf bin al-Hushoin adh-Dhobbiy dikenal dengan Abi Ruwaiq, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Nushoir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Dinar, dari Anas, ia berkata Rasulullah bersabda “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim”
                                                               
3). Macam-macam Hadits Masyhur
Dalam istilah, hadits masyhur terbagi menjadi dua macam, antara lain  :
·  Masyhur Ishthilahi
Yang dimaksud dengan Masyhur Ishthilahi yakni :
مَا رَوَاهُ ثَلَاثَةٌ فَأَكْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ السَّنَدِ مَا لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir”

 Contoh hadits Masyhur Ishthilahi :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ، قَالَ : حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: «إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا» قَالَ الفِرَبْرِيُّ: حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ[26] (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abi Uwais, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Malik, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Hisyam bin ‘Urwah, dari Bapaknya, dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia berkata: saya mendengar Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta merta dari hamba-hamba-Nya. Tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama, sehingga Allah tidak menyisakan orang pandai. Maka, manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu, mereka ditanya dan mereka memberi fatwa tanpa ilmu. Maka, mereka sesat dan menyesatkan. (HR. Bukhori)
Hadits diatas diriwayatkan 3 orang sahabat, yaitu Ibnu Amru (w. 79 H), Aisyah (w. 57 H), dan Abu Hurairah (w. 57 H). Dengan demikian, hadits ini masyhur di kalangan sahabat karena terdapat 3 sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.

·  Masyhur Ghayr Ishthilahi
Istilah Masyhur Ghayr Ishthilahi, berarti:
مَا اشْتُهِرَ عَلَى الأَلْسِنَةِ مِنْ غَيْرِ شُرُوْطٍ تُعْتَبَر[27]
“Hadits yang populer pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif”

Hadits Masyhur Ghayr Ishthilahi adalah hadits yang populer atau terkenal dikalangan kelompok tertentu, sekalipun jumlah periwayatnya tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadits ini tidak dilihat dari jumlah banyaknya perawi yang meriwayatkan, melainkan popularitas hadits itu sendiri dikalangan ulama dalam bidang ilmu tertentu.
*         Hadis yang masyhur dikalangan ulama fuqoha saja :
حدثنا كثير بن عبيد، حدثنا محمد بن خالد، عن معرف بن واصل، عن محارب بن دثار، عن ابن عمر، عن النبي قال: «أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق»[28]
“Telah menceritakan kepada kami Katsir bin ‘Ubaid, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Kholid, dari Muarrif bin Wasil, dari Maharib bin Datsar, dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah bersabda “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian” (HR Abu Daud)
Hadits tersebut populer dikalangan ulama fiqih dan juga diriwayatkan oleh satu perawi saja, sehingga hadits tersebut bisa dikatakan sebagai hadits masyhur ghayr ishthilahi.
           
*         Hadis yang masyhur dikalangan ahli hadits saja :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَائِدَةُ، عَنِ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: «قَنَتَ النَّبِيُّ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ»[29]

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Zaidah, dari at-Taimi, dari Abi Mijlaz, dari Anas bin Malik, ia berkata : “Rasulullah qunut selama 1 bulan berdoa untuk kaum Ri’lin dan Dzakwan”

*         Hadis yang masyhur dikalangan ahli usul fiqh :

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي قَيْسٍ، مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ ، يَقُولُ: «إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ» قَالَ يَزِيدُ: فَحَدَّثْتُ بِهِ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، فَقَالَ: هَكَذَا حَدَّثَنِيهِ أَبُو سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ[30] (رواه ابن ماجه 2314)
 Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad ad-Daroowirdi, ia berkata Telah menceritakan kepada kami  Abdullah bin al-Had, dari Muhammad bin Ibrohim at-Taimi, dari Busri bin Said, dari Abi Qois, dari Amr bin Ash, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda “Apabila seorang hakim menghukumi (suatu perkara) maka ia berijtihad dan (ijtihadnya) benar maka baginya 2 pahala, dan apabila ia menghukumi kemudian berijtihad dan salah maka baginya 1 pahala”. Yazid berkata “Maka aku menceritakan kepada Abu Bakar bin Amr dan Ibn Hazm, ia berkata “Seperti inilah Abu Salamah menceritakan kepadanya, dari Abu Hurairah. (HR Ibnu Majah)
*         Hadis yang masyhur dikalangan muhadditsin, ulama dan
                  
orang awam:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي عِمْرَانَ، عَنِ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَقُولُ: «الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ»[31] (رواه أحمد)
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Daud, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Kholid bin Abi ‘Imron, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah bersabda “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, janganlah ia mendzholiminya dan menelantarkannya (HR Ahmad)

*         Hadis yang masyhur dikalangan orang awam:

حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ، قَالَ: نَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، قَالَ: نَا شَرِيكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِيسَى، عَنْ جُمَيْعِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ عَمِّهِ يَعْنِي أَبَا بُرْدَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ: «مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا»[32]
     “Telah menceritakan kepada kami al-Abbas bin Abdil Adzhim, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abdullah bin Isa, dari Jami’ bin Umair, dari pamannya yaitu Aba Burdah RA, sesungguhnya Rasulullah bersabda “Barang siapa menipu kami maka ia bukan (bagian) dari kami




4). Kitab-kitab yang terkenal
Berikut ini kitab-kitab yang didalamnya berisi tentang hadits mayhur[33]:
·            Al-Maqasid al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala al-Alsinah,
      
karya As-Sakhawi.
·           Kasyf Al-Khafa’ wa Muzill al-Ibbas fi ma Isytahara min al-Hadits ‘ala Alsinah an-Nas, karya Al-Ajaluni.
·           Tamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fi ma Yadur ‘ala Alsinah An-Nas min Al Hadits, karya Ibnu ad-Daiba Asy-Syaibani
b). Hadits Aziz
1). Definisi
‘Aziz berasal dari kata عزَّ- يعِزُّ  (‘Azza-Ya’izzu) yang berarti sedikit atau jarang, dan juga bisa berasal dari kata عزَّ - يعَزُّ  )‘Azza-Ya’azzu( yang berarti kuat,[34] sebagai mana firman Allah Swt dalam surat Yasin ayat 36:
إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ
“Ketika kami utus kepada mereka 2 orang, namun mereka mendustai keduanya, Kemudian kami kuatkan dengan (utusan) ketiga, kemudian mereka berkata “Sesungguhnya kami diutus kepada kalian”( QS Yasin:36)

Menurut istilah, Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perowi walaupun dalam satu tingkatan dari beberapa tingkatan perowinya.[35] Dalam Syarkh Alfiyyah as-Suyuthi fi Mustholah al-Hadits dijelaskan bahwa hadits aziz adalah yang perawinya tidak kurang dari dua.[36] Namun, Syeikh Hafidz Hasan al-Mas`udiy dalam kitabnya Minhat al-Mughits berpendapat bahwa hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua perowi dalam satu tingkatan, maka hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi tidak termasuk hadits aziz.[37]
2). Contoh hadits ‘aziz:
Hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari dari Anas r.a :
حدثنا يعقوب بن إبراهيم حدثنا ابن علية عن عبد العزيز بن صهيب عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم ح حدثنا آدمقال حدثنا شعبة عن قتادة عن أنس قال: قَالَ النبيِي لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى اَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ من والده وولده والناس أجمعين )رواه البخاري ومسلم)[38]
“Rasulullah , bersabda: Tidak sempurna iman salah satu diantara kamu sekalian sampai aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan semua manusia”

c). Hadits Ghoriib
1). Definisi
Menurut bahasa kata Gharib berarti orang yang menyendiri, mengasingkan diri, atau orang yang jauh dari sanak keluarganya. Sedangkan menurut istilah adalah :
مَا تَفَرَّدَبِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِى أَيَّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَفَرُّدُ بِهِ السَّنَدُ[39]
“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”

Ada dua macam Hadits Gharib, antara lain  :
a). Gharib Mutlak, yaitu:
هُوَمَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي أَصْلِ سَنَدِهِ وَأَصْلِ السَّنَدِ هُوَطَرَفَهُ الَّذِي فِيْهِ الصَّحَابِي
“Hadits yang Gharabah-nya (perawinya satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.”

Contoh hadits Nabi Saw. :
حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»[40] (رواه البخاري)
 Telah menceritakan kepada kami Humaid Abdullah bin az-Zubair, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami  Yahya bin Said al-Anshori, ia berkata: telah mengabarkanku Muhammad bin Ibrohim at-Taimi, sesungguhnya ia mendengar Alqomah bin Waqqosh al-Laitsi, ia berkata: Aku mendengar Umar bin Khattab RA berkata di atas mimbar, aku mendengar Rasulullah bersabda “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan (HR Bukhori)
Hadits diatas diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab (w. 26 H) langsung dari Nabi , dan dari Umar diriwayatkan oleh Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi,[41] kemudian Muhammad bin Ibrahim, kemudian Yahya bin Sa’id Al-Khudri (w. 80 H). Hadits di atas dikatakan Hadits Gharib Mutlak dikarenakan hanya sahabat Umar bin Khattab yang meriwayatkannya.

b). Gharib Nisby (Relatif), yaitu :                                                                                
مَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي أَثْنَاءِ سَنَدِهِ
“Hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) ditengah sanad.”
Misalkan hadits yang diriwayatkan Anas r.a  (w. 92 H) :
حدثنا هشام بن عمار وسويد بن سعيد قالا: حدثنا مالك بن أنس حدثني الزهري عن أنس بن مالك أَنَّ النَّبِّيَ دَخَلَ مَكَّةَ يوم الفتح  وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَر[42]
“Telah menyampaikan kepada kita Ammar dan suwaid bin sa`id mereka berdua berkata: telah  menyampaikan kepada kita Malik bin Anas, telah menyampaikan kepada saya az-Zuhri dari Anas bin Malik bahwa Nabi masuk ke kota Makkah pada waktu fathu makkah diatas kepalanya mengenakan topi besi.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya dari Az-Zuhri (w. 125 H)[43]. Boleh jadi pada awal sanad dan akhir sanad lebih dari satu orang, namun di tengah-tengahnya terjadi gharabah, artinya hanya seorang saja yang meriwayatkannya.

c). Pembagian Hadis Gharib
Gharib Nisbi ini terbagi menjadi 3 macam, yakni sebagai berikut[44]:
·            Muqayyad bi ats-tsiqah
Menyendirinya perawi yang tsiqah dari perawi lain yang tsiqah yakni suatu hadits yang tidak diriwayatkan oleh perawi tsiqoh yang lain kecuali perawi tsiqoh ini.
·            Muqayyad bil al-balad
Disebut demikian karena suatu hadits diriwayatkan oleh penduduk tertentu sedang penduduk lain tidak meriwayatkannya. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (w. 244 H) dari Ath-Thayalisi (w. 204 H) dari Hamman dari Abu Qatadah (w. 210 H) dari Abu Nadhrah (w. 109 H) dari Abu Sa’i, mereka adalah penduduk yang berasal dari Basrah. Disebut ghorib nisbi karena ke-ghoribannya itu dibatasi pada ulama Basrah saja yang meriwayatkannya, sedangkan ulama dari negara lain tidak ada yang meriwayatkan.
·           Muqayyad al-rawi
Yakni hadits seorang perawi tidak diriwayatkan kecuali oleh seorang perawi lainnya, meskipun hadits tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalur dari perawi yang lain.
d) Kitab-kitab yang didalamnya terdapat banyak hadits Gharib,[45] yakni :
ü Athraf al-Gharaib wa Al-Afrad, karya Muhammad bin Thahir Al-Maqsidi.
ü Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni
ü Al-Hadits ash-Shihah wa al-Gharaib, karya Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi Asy-Syafi’i.
ü Musnad al-Bazzar.
ü Al-Mu’jam Al-Awsath, karya Ath-Thabarani.
  II.     Klasifikasi Hadits Berdasarkan Sumber Berita
Kajian ilmu hadis selain dilihat dari sisi sanadnya, juga dilihat dari segi matannya, yaitu berkaitan dengan siapa yang menyampaikan matan hadits tersebut, apakah berasal dari Rasulullah atau selainnya. Di antara hadits-hadis yang berkaitan dengan cara penyampaiannya adalah:
A.      Hadits Marfu’
1.    Definisi
Marfu merupakan ism fa’il dari رفع yang artinya tinggi, lawan kata dari وضع yang berarti rendah. Disebut tinggi karena disandarkan kepada Rasulullah dan menunjukkan ketinggian derajatnya sebagai Rasul. Sedangkan secara istilah adalah matan yang disandarkan kepada Nabi secara perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat, baik sanadnya bersambung atau tidak.[46]
Hadits marfu’ tidak membahas apakah sanadnya bersambung atau tidak, maka beberapa hadits bisa dikategorikan marfu’ meskipun sanadnya tidak bersambung, di antara hadist yang termasuk marfu’ adalah Muttashil, Mursal, Munqathi’, Mu’dhal dan Mu’allaq[47]
2.        Contoh Hadits Marfu’:
a.    Marfu’ qauli, contoh :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ زَنْجَوَيْهِ الْبَغْدَادِيُّ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ قَرْمٍ، عَنْ أَبِي يَحْيَى الْقَتَّاتِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : «مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ الصَّلَاةُ، وَمِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الْوُضُوءُ»[48]  (رواه التّرمذي)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Zanjawaih al-Bagdadi dan lebih dari satu (selain dia), telah menceritakan kepada kami al-Husein bin Muhammad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Qormin, dari Abi Yahya al-Qottaat, dari Mujahid, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Rasulullah bersabda “Kunci surga adalah shalat, dan kunci shalat adalah wudhu (HR Tirmidzi)

b.    Marfu’ fi’li, contoh:
حَدَثَنَا عُبَيْدُ الله بنُ مُعَاذ، حدثنا خالد بن الحارث، حدثنا حاتم يعني ابن أبي صغيرة، عن سماك، قال: سَمِعْتُ النُعْمَانَ بْنِ بَشِيْرٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُسَوِّيْ صُفُوْفَنَا إِذَا قُمْنَا لِلصَّلاَةِ فَإِذَا اسْتَوَيْنَا كَبَّرَ[49](رواه ابو داود)
   Telah mnceritakan kepada kami Ubaid bin Mu’adz, telah menceritakan kepada kami Kholid bin al-Harits, ia berkata telah menceritakan kami Hatim yakni Ibnu Abi Shoghiroh dari Simak, ia berkata “Rasulullah membetulkan shaf-shaf kami apabila kami hendak shalat, maka setelah shaf itu lurus, barulah Nabi bertakbir” (H.R Abu Daud)

c.    Marfu’ at- taqriri, contoh :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى الْحِمْصِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْوَلِيدِ الزُّبَيْدِيُّ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ أُتِيَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ، فَقُرِّبَ إِلَيْهِ، فَأَهْوَى بِيَدِهِ، لِيَأْكُلَ مِنْهُ، فَقَالَ لَهُ مَنْ حَضَرَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ، فَرَفَعَ يَدَهُ عَنْهُ، فَقَالَ لَهُ خَالِدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَرَامٌ الضَّبُّ قَالَ: «لَا وَلَكِنَّهُ، لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِي، فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ» قَالَ: فَأَهْوَى خَالِدٌ إِلَى الضَّبِّ، فَأَكَلَ مِنْهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ[50]
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mushoffa al-Himshi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Walid az-Zubaidi, dari Zuhri, dari Abi Umamah bin Sahl bin Hunaif, dari Abdullah bin Abbas, dari Kholid bin al-Walid, bahwasanya Rasulullah diberi daging biawak bakar, kemudian didekatkan kepada beliau, maka beliau mengulurkan tangannya untuk memakannya. Orang-orang yang hadir berkata “Wahai Rasulullah, ini daging biawak, beliau mengangkat tangannya (isyarat menolak), Khalid berkata “Apakah biawak haram ya Rasulullah? Rasulullah Saw bersabda “Tidak, tetapi itu tidak ada di tanahku (daerahku), sehingga aku tidak menyukainya, kemudian Khalid mengulurkan tangannya ke daging biawak itu dan memakannya, dan Rasulullah Saw melihatnya.

d.   Marfu’ al washfi, jika seorang sahabat atau yang lainnya mengatakan sifat Rasulullah , contoh:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَارِثِ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: كَانَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا[51](رواه البخاري)  
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abi Tayyaah dari Anas, ia berkata “Rasulullah Saw merupakan orang yang paling baik akhlaknya” (H.R Bukhori)
3.        Macam-macam hadis marfu’
·      Hadis yang dimarfu’kan secara tegas,
Yaitu hadis yang secara tegas dikatakan oleh seorang sahabat bahwa hadis tersebut didengar atau dilihat dan atau disetujui dari Rasulullah ,[52] contohnya:
416 - حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ فَائِدٍ أَبِي الْوَرْقَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى، قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، وَمَسَحَ رَأْسَهُ مَرَّةً»[53]
        Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waqi’, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus, dari Faid Abi al-Qarqoo bin Abdirrohman, dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata “Aku melihat Rasulullah berwudhu tiga kali-tiga kali dan membasuh kepalanya satu kali”. (HR Ibnu Majah)
108 - حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ غُضَيْفِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُولُ بِهِ»[54]
       
Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Yahya bin Kholaf, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, dari Muhammad bin Ishaq, dari Makhul, dari Ghudhoif bin al-Harits, dari Abi Dzar, ia berkata “Aku mendengar Rasulullah berkata “Sesungguhnya Allah SWT meletakkan kebenaran pada lisan Umar RA yang ia berkata  dengannya”. (HR Ibnu Majah)
·      Hadis yang dimarfu’kan secara hukum[55]
Yaitu hadis yang mauquf lafalnya (dari sahabat) tetapi hakikatnya disandarkan kepada Rasulullah sehingga dihukumi marfu’, misalnya:
-       Perkataan seorang sahabat tentang suatu masalah yang tidak dapat dicapai dengan ijtihad, seperti perkataan yang berkaitan dengan berita gaib, atau menerangkan pahala sesuatu amal, seperti perkataan Ibnu Masud RA:
مَنْ أَتَى سَاحِرًا أَوْ عُرَافًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلى مُحَمَّدٍ
Barangsiapa mendatangi tukang sihir, atau dukun, maka sesungguhnya ia telah kafir, kepada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad

-       Apabila seorang sahabat membuat suatu pekerjaan yang tidak dapat diperoleh dengan jalan ijtihad, maka perbuatannya itu dipandang hadis marfu’, karena seorang sahabat tidak melakukan suatu perbuatan tanpa ada tuntunan dari Nabi . Misalnya perbuatan Ibnu Umar mengangkat kedua tangan ketika takbir dalam beberapa takbir shalat Hari Raya.
-       Apabila seorang sahabat mengabarkan suatu berita dengan menggunakan ungkapan bahwa di antara mereka (para sahabat) ada yang mengerjakan begini di masa hidup Rasulullah dan beliau tidak mencegah atau melarang. Hal ini disebut juga dengan hadis taqriri.  Contoh:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْكَرِيمِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُنَيْدُ بْنُ دَاوُدَ، عَنْ خَالِدِ بْنِ حَيَّانَ الرَّقِّيِّ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَلِيُّ بْنُ عُرْوَةَ الْبَارِقِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَجُلًا يَسْأَلُ أَبِي عَنِ الرَّجُلِ يَغْزُو فَيَشْتَرِي وَيَبِيعُ وَيَتَّجِرُ فِي غَزْوِهِ؟ فَقَالَ لَهُ أَبِي: «كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِتَبُوكَ نَشْتَرِي وَنَبِيعُ، وَهُوَ يَرَانَا وَلَا يَنْهَانَا»[56]
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Abdil Karim, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sunaid bin Daud, dari Khald bin Hayyan ar-Roqi, ia berkata: telah mengabarkanku Ali bin ‘Urwah al-Baariqi, ia berkata: telah menceritakan kepadaku Yunus bin Yazid, dari Abi Ziyad, dari Khorijah bin Yazid, ia berkata : Aku melihat seorang laki-laki bertanya kepada Ayahku tentang (hukum) seseorang yang sedang berperang dan ia membeli, menjual, dan berdagang dalam keadaan perang? Lalu ia (ayahku) berkata padanya “Kami bersama Rasulullah di Tabuk (perang Tabuk) membeli dan menjual (berdagang) dan ia (Rasulullah ) melihat kami dan tidak melarang kami” (HR. Ibnu Majah)

-       Dan apabila seorang sahabat berkata  من السنّة كذا, contohnya:
حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ قَالَ: حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، عَنْ وَبَرَةَ، عَنْ هَمَّامِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: «إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ الْغُسْلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ»[57]
Telah menceritakan kepada kamu Abu Daud, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Mas’udi, dari Wabaroh, dari Hammam bin al-Harits, ia berkata: Abdullah berkata “Sesungguhnya mandi di hari jumat adalah perkara sunnah”
B.       Hadits Mauquf
1.    Definisi
Secara bahasa kata mauquf berasal dari “وقف” yang artinya berhenti, dinamakan hadits mauquf karena seakan-akan perawi dalam periwayatan hadits berhenti di tingkat sahabat.[58] Sedangkan secara istilah yaitu matan yang disandarkan kepada sahabat baik secara perkataan, perbuatan atau ketetapan, baik sanadnya bersambung atau terputus.[59]
Hadis mauquf didefinisikan sebagai hadis yang diriwayatkan dari seorang sahabat, baik berbentuk ucapan, perilaku, atau yang sejenisnya dari mereka. Baik yang dalam kategori muttashil maupun munqothi. Jika hadis itu mengenai ucapan, perilaku atau yang sejenisnya dari orang-orang selain sahabat maka disebut dengan hadis muqoyyad.[60]
Para ahli fikih di Khurasan menyebut hadits mauquf sebagai atsar dan hadis marfu’ sebagai khabar. Sedangkan menurut ahli hadits, dua-duanya disebut dengan atsar.[61] Ada juga yang menyebut hadis ini dengan khobar.
2.    Contoh hadits mauquf
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَمْرٌو، قَالَ: أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَخِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: «مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي، إِلَّا مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ» تَابَعَهُ مَعْمَرٌ، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ (رواه البخاري)[62]
Telah menceritakan kepada kami Abdullah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr, ia berkata, telah mengabarkanku Wahab bin Munabbih dari saudaranya, ia berkata: aku mendengar Abu Hurairah RA berkata “Tiada seorang pun dari sahabat Nabi saw yang lebih banyak dalam meriwayatkan hadis yang diterima dari beliau saw daripada saya, melainkan apa yang didapat dari Abdullah bin Amr, sebab ia mencatat hadis sedang saya tidak mencatatnya (HR. Bukhori)

3.    Hukum hadis mauquf
Hadits mauquf tidak bisa menduduki hukum hadits marfu’, kecuali apabila ada indikasi yang menjadikannya dihukumi marfu’, misalnya perkataan sahabat mengenai perintah atau larangan dari Rasulullah , perbuatan sahabat di masa Nabi dan taqrir Nabi .
Apabila tidak disandarkan pada masa Rasulullah Saw maka hukumnya adalah mauquf dan tidak bisa dijadikan hujjah.[63] Maka perkataan sahabat yang disandarkan kepada Rasulullah termasuk marfu’ apabila dikatakan di masa Rasulullah atau setelah wafatnya beliau.[64]
C.      Hadits Maqthu’
1.    Definisi
Kata maqthu merupakan isim maf’ul dari قطع” yang artinya putus atau lawan kata dari “وصل” yang artinya bersambung.[65] Menurut istilah, yaitu matan yang disandarkan kepada Tabi’in atau tabi’tabi’in baik secara perkataan maupun perbuatan.[66]
Matan pada hadis maqthu’ bukanlah bersumber dari Nabi , melainkan dari tabi’in atau orang setelahnya. Maqthu’ berbeda dengan hadis mursal, pada hadis mursal, tabiin langsung meriwayatkan hadis yang disandarkan kepada nabi namun tidak menyebutkan sahabat. Namun, pada hadis maqthu’ tabiin tidak menyandarkan perkataannya pada nabi, melainkan dari dirinya sendiri. Sebagian ulama menyebut hadis maqthu sebagai atsar.



2.    Contoh hadits maqthu’
Maqthu’ Qouli
قول الحسن البصري في الصلاة خلف المبتدع:" صل و عليه بدعته "[67]
Perkataan al-Hasan al-Bashri tentang (hukum) shalat (bermakmum) kepada ahli bid’ah “Shalatlah dan bid’ahnya atasnya”

Maqthu’ fi’li
قول إبراهيم بن محمد بن المنتشر: " كان مسروق يرخي الستر بينه و بين أهله، و يقبل على صلاته و يخليهم و دنياهم".[68]
Perkataan Ibrahim bin Muhammad bin al-Muntasyir “Masruq menurunkan pembatas antara dirinya dan keluarganya, kemudian beliau mendirikan sholat dan mengosongkan (fikirannya) dari hal-hal duniawi.

3.    Hukum menjadikan hadits maqthu’ sebagai hujjah
Hadits maqthu’ tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah apapun  termasuk syari’at,[69] meskipun sandaran perkataannya shohih. Sebab hal itu merupakan perkataan atau perbuatan yang bukan bersumber dari Rasulullah .
4.    Kitab-kitab hadis mauquf dan maqthu’
-       Mushannaf Abi Syaybah
-       Mushannaf ‘Abd Ar-Razzaq
-       Tafsir Ibn Jarir, Ibn Hatim, dan Ibn Al-Mundzir




D.      Hadits Musnad
1.    Definisi
Musnad secara bahasa berasal dari kata “أسند yang artinya menyandarkan. Sedangkan secra istilah yaitu hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan secara marfu’ kepada Nabi .[70]
Untuk mengkategorikan suatu hadits sebagai hadits musnad, perlu melihatnya dari sisi sanad dan matan, yaitu sanadnya bersambung dari perawi terakhir hingga ke Rasulullah , dan juga matannya disyaratkan marfu’ atau disandarkan kepada Rasulullah , dan bukan dari selainnya. Jadi, hadits musnad lebih khusus dari hadis marfu’, karena tidak semua hadis yang muttashil itu marfu’ dan tidak semua hadits yang marfu’ itu muttashil.
2.        Contoh hadis musnad
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا»[71]
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dari Malik, dari Abi az-Zanad dari al-A’roj, dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah bersabda : apabila seekor anjing minum di salah satu bejana kalian maka hendaklah ia mencuci (bejana tersebut)  sebanyak tujuh kali. (HR Bukhori)





BAB III
PENUTUP
                               I.            Kesimpulan
Untuk mengkategorikan hadis sebagai hadis yang shohih perlu melihat dan meninjaunya dari berbagai sisi, dan untuk memudahkan para ahli dalam menentukan validnya suatu hadis, hadis-hadis diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian salah satunya adalah mengklasifikasikannya dari jumlah perawi yang meriwayatkan. Klasifikasi hadis berdasarkan jumlah perawinya terbagi menjadi 2 yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad, hadis ahad dibagi lagi menjadi 3 yaitu masyhur, aziz dan ghorib.
Hadits mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat dan kebiasaannya mustahil bersepakat untuk berdusta. Pendapat yang paling kuat mengenai jumlah minimal dari perawi yang meriwayatkan hadis ini yaitu 10 orang, hadis mutawatir mengandung hukum qath`i as tsubut yaitu memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadits mutawatir.
Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang perawinya tidak melebihi jumlah perawi hadits mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir serta tidak mencapai derajat mutawatir sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits. Hadis ini dibagi lagi sesuai dengan jumlah yang meriwayatkannya, hadis masyhur diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun belum mencapai derajat mutawatir, hadis aziz diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi walaupun dalam satu tingkatan dari beberapa tingkatan perowinya, sedangkan hadis aziz hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang hanya meriwayatkannya sendiri.
Hadis juga diklasifikasi berdasarkan sumber penyampai beritanya, apabila matannya berasal dari Rasulullah maka disebut dengan hadis marfu’, apabila diriwayatkan oleh sahabat disebut hadis mauquf, dan apabila diriwayatkan oleh tabi’in maka disebut dengan hadis maqthu’. Dan apabila matannya berasal dari Rasulullah serta sanadnya bersambung, maka disebut dengan hadis musnad, hadis musnad adalah yang paling tinggi kedudukannya.




[1] Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al Hadits, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 2004), hal 23
[2] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mustholahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif 1984), hal 78
[3] Ahmad Umar Hasyim, Qawa’idu Usulil Hadits, (Kairo : Darul Kitab al-Azali 1984), hal:143
[4] Fathur Rahman, Ikhtisar Mustholahul Hadits, hal 79
[5] Fathu Rahman, Ikhtisar Mustholah al –Hadits, hal:79
[6]Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al Hadits, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 2004) hal:20       
[7] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul Bukhori, (Darut Thouq an-Najaat,1422), hadist no 107
[8] Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi Fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Kairo: Darul Hadits) hal:450
[9] Ibnu Shalah bernama Utsman bin Abdurrahman bin Utsman bin Musa bin Abi Nashr An-Nashri Al-Kurdi Asy-Syarakhani Asy-Syahruzuri. Beliau lahir pada tahun 577 H, di wilayah kota Arbil,Irak.
[10] Nama aslinya adalah Abu Ya’qub Ishaq bin al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Yahya bin Mandah. Nama asli Mandah adalah Ibrahim bin al-Walid bin Sandah, berasal dari Ashfahan (disebut juga Isfahan atau Ashbahan, 300 km dari Teheran, Iran). Beliau dilahirkan pada tahun 310  atau 311 H.
                [11] Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al Hadits, hal:20                           
[12] Fathu Rahman, Ikhtisar Mustholah al –Hadits,  hal:83
[13] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul Bukhori,  hadits no 1310
[14] Nuruddin Itr, An-Naqd fii `Ulum al-Hadits, (Dar-Fikr: Damaskus 2012), hal 433
                [15] Mahmud Tholhan, Taisir Musthalah al Hadits, hal:153       
[16] Ahmad Umar Hasyim, Qawaidu Usulil Hadits, hal:153
[17] Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al Hadits, hal:22
[18] Ahmad Umar Hasyim, Qawaidu Usulil Hadits, hal:184
[19]Ahmad Umar Hasyim, Qawaidu Usulil Hadits, hal:184

[20] Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al Hadits
[21] Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi Fi Syarh Taqrib an-Nawawi, hal:443  
[22] Nuruddin Itr, An-Naqd fii `Ulum al-Hadits, hal:442                
[23] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul Bukhori,  hadits no 877
[24] Ibnu Majah  Abu Abdillah,  Sunan Ibnu Majah, (Dar Ihya Al-kutub Al- Islamiyah), hadits no 2340
[25] Abu Abdillah Muhammad bin Salamah, Musnad Asy-Syihab,  (Beirut:Muassasah ar-Risalah, 1986), hadits no 175

[26] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul Bukhori,  hadits no 100
[27] Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al Hadits, hal:32
[28] Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’at,  Sunan Abu Daud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah), hadits no 2178
[29] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul Bukhori, (Darut Thouq an-Najaat,1422), hadist no 1003
[30] Ibnu Majah  Abu Abdillah,  Sunan Ibnu Majah, (Dar Ihya Al-kutub Al- Islamiyah), hadits no 2314
[31] Ahmad bin Muhammad bin Hambal,  Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, (Madinah: Maktabah al-Uluum wal Hakim, 2001), hadits no 5357
[32] Abu Bakar Ahmad bin Amr bin Abdul Kholiq,  Musnad al-Bazzar, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2009), hadits no 3797
[33]  Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al Hadits, hal:34
[34]  Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al Hadits, hal:26
[35] Hasan Muhammad al-Masyath, At-Taqribat as-Saniyah (Jakarta: Dar al-kutub al-Islamiyyah, 2013),  hal:18
[36] Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Syarkh Alfiyyah as-Suyuthi fi Mustholah al-Hadits (Jakarta: Dar Ibnu Qayyum), hal:336
[37] Hafidz Hasan al-Masudiy, Minhat al-Mughits (Surabaya: al-Hidayah), hal:21
[38] Abi Toyyib Sidiq Hasan Ali al-Husain, Aun al-Bari (Surabaya: Dar al-Rasyid), hal:99
[39] Fathu Rahman, Ikhtisar Mustholah al–Hadits, hal:97                          
[40] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul Bukhori,  hadits no 1

[41] Beliau termasuk kibarut taabi’in, wafat di pemerintahan Abdul Malik
[42] Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid, Sunan Ibnu Majah Juz 2 (Cairo: Darul Hadis), hal:514
[43] Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bin Abdullah.
[44] Nuruddin Itr, An-Naqd fii `Ulum al-Hadits, hal:424
[45] Mahmud Thohan, Taisir Musthalah al Hadits, hal:41
[46] Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al- Hadits, hal 128
[47] Hasan Muhammad Al-Masyath,  Al-taqribat As saniyyah, hal 13
[48] Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Mesir: Musthofa al-Babii al-Halbi, 1975),  hadis no 04
[49] Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’at, Sunan Abu Daud, (Beirut: Al-Maktabah al-‘Ashriyah, 2005),  hadis no 665
[50] Ibnu Majah  Abu Abdillah,  Sunan Ibnu Majah, Dar Ihya Al-kutub Al- Islamiyah, hadits no 3241
[51] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul Bukhori,
[52] Abdul Majid KhonUlumul Hadits, (Jakarta :Amzah, 2009), hlm 224
[53] Ibnu Majah  Abu Abdillah,  Sunan Ibnu Majah, hadits no 416
[54] Ibnu Majah  Abu Abdillah,  Sunan Ibnu Majah, hadits no 108
[55] Abdul Majid KhonUlumul Hadits, hlm 225-226
[56] Ibnu Majah  Abu Abdillah,  Sunan Ibnu Majah, hadits no 2823
[57] Abu Daud Sulaiman, Musnad Abu Daud At-Thoyalisi, (Mesir: Darul Hijr, 1999),  hadis no 391
[58] Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al- Hadits, hal 130
[59] Imam A-Nawawi, Tadriibur Roowi, (Cairo: Darul Hadits, 2009), hal 147
[60] Imam Al-Nawawi, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hal 15
[61] Imam Al-Nawawi, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, hal 15
[62] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul Bukhori,
[63] Muhammad Ajaj Al-Khotib, Ushuulul Hadits ‘Uluumuhu wa Mustholaahuhu, (Cairo: Darul Fikr, 1989), hal 381
[64] Muhammad Ajaj Al-Khotib, Ushuulul Hadits ‘Uluumuhu wa Mustholaahuhu, hlm 381
[65] Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al- Hadits, hal 133
[66] Muhammad Ajaj Al-Khotib, Ushuulul Hadits ‘Uluumuhu wa Mustholaahuhu,
[67] Arsyif al-Multaqo ‘Ilmil Hadits, 2010
[68] Arsyif al-Multaqo ‘Ilmil Hadits, 2010
[69] Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al- Haditshal 134
[70] Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al- Hadits, hal 135
[71] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul Bukhori, hadis no 172

Komentar

  1. jadwal sabung ayam online terpercaya s128 online
    Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
    Telegram : +62812-2222-995 / https://t.me/bolavita
    Wechat : Bolavita
    WA : +62812-2222-995
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

As-Sam'iyyat

As-Sam’iyyaat Temen-temen pernah denger istilah As-sam’iyyat? Mungkin sebagian dari kita udah nggak asing lagi dengan istilah ini, As-Sam’iyyat merupakan perkara yang tidak dapat digambarkan dengan pancaindera manusia dan hanya dapat diketahui melalui al-quran dan al-hadis. Adapun perkara-perkara yang termasuk as-sam’iyyat adalah alam kubur, hari kiamat, malaikat, jembatan sirath, padang mahsyar, surga dan neraka. Bahkan, jin, dan setan juga merupakan perkara as-sam’iyyat karena kita tidak dapat melihatnya dengan kasat mata kecuali dengan kekuasaan Allah. Kita sebagai umat muslim wajib untuk meyakini akan adanya as-sam’iyyat walaupun hal tersebut hanya dapat kita dengar dari al-quran dan hadits. Dalil kewajiban beriman dengan perkara sam’iyat seperti yang Allah firmankan di dalam Al-quran : الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebah

Ibnu Qutaibah dan Ilmu Musykil al-Qur’an: Dialektika antara Akal dan Teks

Pendahuluan Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang membuat a l-Qur’an, tentu saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al -Nisa ayat 82: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur ’ an? Kalau kiranya al- Qur ’ an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat i pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. Al-Nisa’: 82) Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an ( musykil al-qur’an ), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan dalam pembahasan ilmu hadis ( mukhtalaf al-hadits ). Hal ini dikarenakan a l-Qur’an adalah haq , tidak ada pertentangan di dalamnya, berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian, tidak semua ayat a l-Qur’an dapat dipahami secara lang

Sunnah-Sunnah Sholat Menurut para Imam Madzhab

Shalat merupakan  kewajiban seorang muslim kepada Tuhannya, Allah. Ibadah inilah yang paling pertama akan dihisab di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: إِنَّ أَوَّلَ مَايُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاة “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah sholatnya.” Nah, sudahkah kita memahami betul perkara-perkara sholat? Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu yang pernah saya pelajari ketika belajar di TMI Pesantren Modern Daarul Uluum Lido dalam kitab “Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah” (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hanbali) karya Abdurrahman Al-Jaziri. Terkadang kita menyepelekan dan mengabaikan perkara-perkara sunnah dalam sholat, memang kita tidak berdosa jika meninggalkan perkara sunnah, namun hal ini tentu akan merugikan kita. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sunnah-sunnah shalat, Allah SWT tidak membe