BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Hadits merupakan pedoman hidup yang utama
setelah Al-Qur’an, maka dari mempelajarinya merupakan suatu kebutuhan. Untuk
memahami hadits diperlukan adanya ilmu dasar yang disebut dengan Mustholah
Hadits. Berbeda dengan Al-Qur’an
yang bersifat qoothi’ul wuruud, hadits
bersifat dzhonniyul wuruud, sehingga hadits memiliki derajat yang
berbeda-beda.
Salah satu pembahasan dalam ilmu hadits adalah klasifikasi hadits
berdasarkan jumlah perawi yang meriwayatkannya. Semakin banyak periwayat yang
meriwayatkan, maka semakin besar juga kemungkinan Klasifikasi ini dibagi
menjadi dua, yaitu hadits yang mutawatir dan hadits ahad. Hadits ahad
terbagi lagi menjadi tiga yaitu masyhur, aziz dan ghorib.
Adanya klasifikasi ini untuk membantu ulama hadits dalam menentukan apakah
kualitas hadits itu shohih, hasan, atau dhoif.
Selain itu, ada pula klasifikasinya berdasarkan cara penyampaiannya kepada
kita, yang terbagi menjadi hadits musnad, marfu’, mauquf, dan maqthu’.
Adanya klasifikasi ini berdasarkan kepada orang yang menyampaikan matan haditsnya,
apakah itu perkataan Rasulullah Saw, sahabat, atau tabi’in.
II.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana klasifikasi hadits berdasarkan jumlah perawinya?
2. Bagaimana klasifikasi hadits berdasarkan sumber beritanya?
III.
Tujuan
Untuk mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan jumlah perawi dan cara
penyampaiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Klasifikasi Hadits Berdasarkan Jumlah Perawi
A. Hadits Mutawatir
1. Definisi
Menurut bahasa berarti المتتابع (al-mutatabi) yakni yang
datang berikutnya atau beriring-iringan antara satu dengan yang lain tidak ada
jaraknya. Menurut beberapa ulama, salah
satunya adalah Mahmud at-Tahhan dalam kitabnya Taysir fii Mustalah al-Hadits[1],
menyatakan:
مارواه عدد كثر تحيل العادة توا طؤهم
على الكذب
“Hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat dan kebiasaannya mustahil
bersepakat untuk berdusta”.
Sedangkan
menurut Abuu Ya’laa al-Muusilli at-Tamimi, hadits mutawatir adalah:
فالخير المتواتر هو خبر عن محسوس أخبر
به جماعة بلغوا في الكثيرة مبلغا تحيل العادة تواطؤهم على الكذب فيه[2]
“Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat dusta”
Jadi menurut istilah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang jumlahnya banyak pada tiap tingkatannya (thabaqat)
sehingga mustahil mereka sepakat untuk berbohong, dan proses periwayatannya
melalui panca indera, misalnya dengan mendengar langsung perkataan Nabi,
melihat Nabi melakukan suatu perbuatan, dll.
2. Syarat-syarat
Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila
telah memenuhi syarat-syarat berikut[3]:
a)
Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para
ulama hadis mempunyai perbedaan pendapat dalam menentukan seberapa banyak
perawi yang harus meriwayatkan sebuah hadis sehingga dikatakan sebagai hadis mutawatir.
Ada yang berpendapat 3 orang, 4 orang, 5 orang, 10 orang, bahkan ada yang
berpendapat 300 orang diantaranya[4]:
Abu`t-Thayyib
menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan dengan
jumlah saksi yang diperlukan hakim kepada orang yang berzina. Sebagaimana
firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 15 :
وَاللَّاتِي
يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً
مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ
الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا (النساء: 15)
Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji],
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita
itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan
lain kepadanya
Ash-habu`sy-Syafi`iy menentukan minimal 5 orang, karena mengqiyaskan
dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulul azmi.
Sebagian
ulama mengatakan 20 orang berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah
dalam surat al-Anfal ayat 65:
إِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ (الأنفال:65)
“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara
kamu niscahya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang,
karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ)الأنفال:45(
“Ya nabi, cukuplah Allah dan
orang-orang mukmin yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”
Jumlah orang-orang mukmin pada waktu itu baru 40 orang dan merupakan
jumlah minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai
suatu tujuan.
Adanya jumlah perawi yang banyak
inilah yang memungkinkan hadis yang disampaikan tidak memiliki keraguan
terhadap kebenaran hadis tersebut. Akan tetapi jumlah yang paling disepakati
adalah 10.
b)
Adanya Keseimbangan Antar Perawi
Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya
Terdapat berbagai pendapat mengenai keseimbangan perawi pada thabaqat
pertama dengan thabaqat berikutnya. Ada yang berpendapat bahwa apabila
jumlah perawi pada tingkatan awalnya tidak sama dengan tingkatan selanjutnya
maka hadis tersebut tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir. Namun,
pendapat lain menyatakan adanya perbedaan perawi pada setiap Thabaqat
bukanlah masalah karena pada dasarnya hadis yang disampaikan sama banyaknya.
Dan hadis tersebut bisa dikategorikan sebagai
hadis mutawatir.
c) Mustahil
Bersepakat Bohong
Berdasarkan jumlah perawi yang banyak, maka periwayatan suatu hadis ini
secara logika sangat sulit untuk bersepakat berbohong dalam periwayatannya,
karena mengingat bahwa hadis yang diriwayatkan tersebut berjumlah
banyak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kuantitas bukan merupakan suatu hal
yang mutlak ketika hadis dikatakan mutawatir atau bukan, karena realitas
yang ada sekarang ini para periwayat hadis pun masih ada kemungkinan untuk berbohong
dalam periwayatannya.
d)
Berdasarkan Tanggapan Pancaindera
Maksudnya adalah berita yang disampaikan itu merupakan hasil dari sesuatu
yang didengar dengan telinga, dilihat dengan mata, dan bukan merupakan hasil
yang disandarkan pada logika atau akal belaka. Sehingga, apabila berita
tersebut merupakan hasil pemikiran atau logika suatu peristiwa dan bukan
merupakan hasil istinbath, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadis
mutawatir. Hadis itu berdasarkan tanggapan pancaindera, misalnya ungkapan
periwayatan :
سمعنا = Kami mendengar (dari Rasulullah bersabda begini)
رأينا او
لمسنا = Kami sentuh atau Kami melihat (Rasulullah ﷺ melakukan begini dan seterusnya)
3. Hukum
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mengandung hukum qath`i
as tsubut yaitu memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi
tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadits mutawatir,
bahkan para ulama mengatakan kufur bagi orang yang mengingkari hadits mutawatir.
Mengingkari hadits mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas
dan pasti bersumber dari Rasulullah ﷺ
[5].
4. Pembagian
Hadis Mutawatir
Dalam pembagiannya, sebagian ulama
membagi hadis mutawatir menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir
ma’nawi.
a). Mutawatir
Lafdzhi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir
lafdzhi menurut Mahmud at-Tahhan ialah :
المتواتر اللفظي هو ما تواتر لفظه
ومعنه[6]
“Hadis yang
mutawatir lafaz dan maknanya”.
Maksudnya, hadis yang redaksi dan maknanya berasal dari Rasulullah Saw. Beberapa ulama ada yang berpendapat
dan menetapkan bahwa hadis mutawatir lafdzhi itu tidak ada atau sedikit
sekali. Sedangkan menurut pendapat ulama yang menetapkan adanya hadis mutawatir
lafdzhi ialah menilai dari segi sedikit atau banyak jumlahnya, atau melihat
dari segi makna beberapa lafaz yang sama.
Perbedaan
pendapat tersebut dapat dimaklumi karena mengingat bahwa terdapat perbedaan
pula dalam hal jumlah perawi hadis mutawatir. Berikut adalah contoh dari hadis mutawatir
lafdzhi :
حَدَّثَنَا أَبُو
الوَلِيدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ جَامِعِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ عَامِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قُلْتُ لِلزُّبَيْرِ:
إِنِّي لاَ أَسْمَعُكَ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ كَمَا يُحَدِّثُ فُلاَنٌ
وَفُلاَنٌ؟ قَالَ: أَمَا إِنِّي لَمْ أُفَارِقْهُ، وَلَكِنْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: «مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار[7] (رواه البخاري)
“Telah
menceritakan kepada kami Abu al-Walid, ia berkata, telah menceritakan kepada
kami Syu’bah, dari Jami’ bin Syadad, dari Amir bin Abdillah bin Zubair, dari
ayahnya, ia berkata : Aku berkata kepada Zubair “Sesungguhnya aku belum
mendengarmu suatu hadits dari Rasulullah ﷺ
sebagaimana yang dikabarkan fulan dan fulan. Ia (Zubair) berkata : Aku belum
berpisah dengannya, akan tetapi aku mendengarnya (Rasulullahﷺ)
bersabda “Barangsiapa yang berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia
menempati tempatnya di neraka” (HR. Bukhori)
Dalam periwayatan hadis tersebut muncul berbagai pendapat tentang jumlah perawi yang meriwayatkannya, di antaranya adalah[8]:
·
Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa
hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 40 sahabat.
·
Ibnu al-Shalah (w. 643 H)[9]
berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, dan 10 di antaranya
dijamin masuk surga.
·
Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar
al-Bazariy mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh 40 sahabat.
·
Abu Qasim ibn Mandah (w. 395 H)[10]
berpendapat
bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 sahabat.
·
Dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa
hadis ini diriwayatkan oleh 200 sahabat.
b). Mutawatir
Ma’nawi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah :
مَا تَوَاتَرَ مَعْنَاهُ دُوْنَ لَفْظِهِ[11]
“Hadis yang
mutawatir maknanya, bukan lafalnya”.
Ada pula
yang mengatakan hadis mutawatir ma’nawi ialah:
هُوَ أَنْ يَنْقِلَ جَمَاعَةٌ يَسْتَحِيْلُ
تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَوُقُوْعُهُ مِنْهُمْ مُصَادَفَةً فَيَنْتَقِلُوْا
وَقَائِعَ مُخْتَلِفَةً اشتركتْ فِى أَمْرٍ يتواتر ذلك القدر المشترك[12]
“Hadis yang
dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat kebiasaan mereka
bersepakat berdusta. Mereka menukilkannya dalam berbagai bentuk, tetapi
dalam satu masalah atau mempunyai titik persamaan”
Contoh dari hadis mutawatir ma’nawi :
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، وَابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ
سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ ﷺ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ
دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ
إِبْطَيْهِ»[13]
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Basyar, telah menceritakan kepada kami Yahya dan Ibnu Abi ‘Adi, dari Said, daro
Qotadah, dari Anas bin Malik, ia berkata “Rasulullah ﷺ tidak
mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau kecuali dalam shalat istisqo,
dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih ketiaknya”. (HR. Bukhori)
Hadis yang semacam ini, tidak kurang dari 30 hadits
dengan redaksi yang berbeda-beda. Di antaranya
adalah hadis yang ditakhrij oleh Imam Ahmad
al-Hakim (w. 405 H) dan Abu Daud (w. 275 H) yang
berbunyi:
كان يرفع يديه حدو منكبيه
“Rasulullah ﷺ mengangkat
tangannya sejajar dengan kedua pundak beliau”
5.
Kitab-kitab
terkenal yang membahas tentang hadits mutawatir
·
Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi
Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi (w. 915 H).
Dalam kitab tersebut, As Suyuthi menyusun bab demi bab dan setiap hadits
diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya.
·
.Qathf Al-Azhar, karya
As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas.
·
Al-La’ali’ Al-Mutanasirah fi
Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
·
Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits
Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
·
Ithaf Dzawil Fadha’il
al-Musythahirah bi Maa Waqaa’ min Ziyadah ‘Alaa al-AzharAl-Mutanasirah min
Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh Abdul ‘Aziz al-Ghammari.
·
Luqt al-Liaalii Al-Mutanasirah fi
Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abii al-Faidh Muhammad Murtadhaa al-Husainii
az-Zubaidii al-Misri.
B. Hadits Ahad
1. Definisi
Menurut bahasa adalah jama dari أحد yang berarti satu. Secara istilah yaitu hadits yang perawinya tidak melebihi jumlah perawi hadits mutawatir,
tidak memenuhi persyaratan mutawatir serta tidak mencapai derajat mutawatir sebagaimana
dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits. [15]
مَا لَمْ تَبْلُغُ نَقْلَتُهُ فِى
الْكَثِرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرْ سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ
وَاحِدًا أَوْ اِثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا اَوْ اَرْبَعَةً اَوْ خَمْسَةَ اَوْ إِلَى
غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْدَادِ الَّتِى لَا تَشْعُرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ دَخَلَّ
بِهَا فِى خَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ[16]
“Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadis
mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang
tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada
jumlah perawi hadits mutawatir”
Adapula yang
meriwayatkan hadits ahad sebagai :
“Hadits yang belum
mencapai syarat-syarat hadits mutawatir”
2. Faidah Hadits Ahad
Hadits-hadits ahad memiliki faidah-fadah sebagai berikut:
Pertama, menunjukkan dugaan kuat (zhann), yaitu
dugaan terkuat akan keabsahan penisbatan hadits tersebut kepada orang yang
menjadi sumber penukilan. Hal itu berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. Hadits
ahad bisa juga memberikan faidah ilmu (yaqiin) jika memiliki berbagai indikasi (qaraa’in)
yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil pokok (yaitu Al-Qur’an atau
hadits shahih).
Kedua, mengamalkan kandungannya, yaitu dengan
membenarkannya jika berupa berita dan menerapkannya (melaksanakannya) jika
berupa tuntutan.
3. Kriteria Hadits Ahad
Adapun yang berkaitan dengan perawi hadits (sanad) yaitu perawinya harus adil, dhabit,
paham dengan hadits yang disampaikan, melakukan apa yang telah diriwayatkannya,
menyampaikan hadits dengan huruf-hurufnya, serta mengetahui perubahan makna
hadits dari lafal hadits yang sebenarnya.[18]
Sedangkan persyaratan yang berkaitan dengan substansi
hadits[19],
yakni:
·
Sanadnya bersambung
dengan Rasulullah.
·
Terhindar dari Syuzuz
(kejanggalan-kejanggalan) dan ‘Illat (cacat).
·
Tidak bertentangan
dengan as-Sunnah al-Masyhurah serta tidak bertentangan dengan prilaku
sahabat dan tabi’in.
·
Sebagian ulama salaf
tidak mencela hadits tersebut.
·
Tidak terdapat
penambahan dalam sanad dan matannya.
4. Klasifikasi hadits ahad
Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqah,
Hadits ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu: masyhur, ‘aziz, dan gharib.
a). Hadits Masyhur
1).
Definisi
Hadits Masyhur menurut bahasa, isim maful
dari kata “شهر يشهر” yang berarti
menjadikan terkenal. Secara
istilah hadits Masyhur, ialah :
“Hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat
mutawatir.”
Sedangkan menurut Al-Hafid Ibnu Hajar (w. 852 H):
الحديث
المشحور ما له طرق محصورة بأكثر من اثنين
“Hadits masyhur adalah hadits yang memiliki
sanad terbatas yang lebih dari dua”
Al Balqini berkata dalam kitab
ushul, bahwa hadits masyhur identik dengan hadits mustafidh[21].
Kata mustafidh menurut bahasa berasal dari kata فاض” dalam kalimat seperti “فاض الماء” yang berarti air itu mengalir. Sedangkan menurut
istilah artinya masih diperselisihkan dalam beberapa pendapat sebagai berikut[22]:
·
Hadits
mustafidh sama dengan hadits masyhur
·
Hadits
masyhur itu lebih umum dari pada hadits mustafidh karena hadits mustafidh itu
permulaan, pertengahan dan akhir sanadnya sama banyaknya, sedangkan hadits masyhur tidak harus demikian
·
Hadits
mustafidh itu lebih umum dari pada hadits masyhur,
2). Hukum
Hadits Masyhur
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih,
hasan, dan dhaif . Yang dimaksud dengan hadits masyhur yang shahih
adalah yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits shahih, baik pada sanad
maupun matannya.
Contoh hadits masyhur yang berstatus shohih:
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «إِذَا جَاءَ
أَحَدُكُمُ الجُمُعَةَ، فَلْيَغْتَسِلْ»[23] (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata Malik Telah
mengabarkan kepada kami, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar rhadiyallahu
‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah ﷺ
bersabda “Barangsiapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat, maka mandilah” (HR. Bukhori)
Sedangkan
yang dimaksud dengan hadits masyhur yang hasan adalah hadits masyhur yang telah
memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya,
seperti sabda Rasulullah ﷺ :
حَدَّثَنَا عَبْدُ رَبِّهِ بْنُ خَالِدٍ
النُّمَيْرِيُّ أَبُو الْمُغَلِّسِ قَالَ: حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ
قَالَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يَحْيَى
بْنِ الْوَلِيدِ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ ، قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ»[24] (رواه ابن ماجه)
“Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurobbih bin Kholid
an-Numairiy Abul Muglas, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Fudhoil bin
Sulaiman, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Uqbah, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Yahya bin Walid, dari Ubadah
bin as-Shomit bahwasanya Rasulullahﷺ
memutuskan Tidak boleh membiarkan bahaya datang dan tidak boleh mendatangkan
bahaya. (HR. Ibnu Majah)
Kemudian
yang dimaksud dengna hadits masyhur yang dha’if ialah hadits masyhur yang tidak
mempunyai syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik sanad maupun
matannya, seperti halnya hadis berikut:
وَأَخْبَرَنَا
أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُمَرَ التُّجِيبِيُّ، ثنا أَبُو سَعِيدِ
بْنُ الْأَعْرَابِيِّ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ هُوَ ابْنُ خَلَفِ بْنِ الْحُصَيْنِ
الضَّبِّيُّ ابْنُ بِنْتِ مُبَارَكِ بْنِ فَضَالَةَ أَبُو مُحَمَّدٍ يُعْرَفُ
بِأَبِي رُوَيْقٍ قَالَ: ثنا حَجَّاجُ بْنُ نُصَيْرٍ، ثنا الْمُثَنَّى بْنُ
دِينَارٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»[25]
“Telah mengabarkan kepada kami ‘Abu Muhammad
Abdurrahman bin Umar at-Tajibi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu
Said bin al-A’robi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman
yaitu Ibnu Kholaf bin al-Hushoin adh-Dhobbiy dikenal dengan Abi Ruwaiq, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Nushoir, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Dinar, dari Anas, ia berkata Rasulullah ﷺ bersabda “Menuntut ilmu merupakan
kewajiban bagi muslim”
3). Macam-macam Hadits Masyhur
Dalam istilah, hadits masyhur terbagi menjadi
dua macam, antara lain :
·
Masyhur Ishthilahi
Yang dimaksud dengan Masyhur Ishthilahi yakni :
مَا رَوَاهُ ثَلَاثَةٌ فَأَكْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ مِنْ
طَبَقَاتِ السَّنَدِ مَا لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ
“Hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan (thabaqah) pada
beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir”
Contoh hadits Masyhur Ishthilahi :
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ، قَالَ : حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ
عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: «إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ
العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ
بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ
رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا
وَأَضَلُّوا» قَالَ الفِرَبْرِيُّ: حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ[26] (رواه البخاري)
“Telah
menceritakan kepada kami Ismail bin Abi Uwais, ia berkata, telah menceritakan
kepadaku Malik, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Hisyam bin ‘Urwah, dari
Bapaknya, dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia berkata: saya mendengar Rasulullah
ﷺ bersabda “Sesungguhnya Allah
tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta merta dari hamba-hamba-Nya. Tetapi,
Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama, sehingga Allah tidak menyisakan
orang pandai. Maka, manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin.
Lalu, mereka ditanya dan mereka memberi fatwa tanpa ilmu. Maka, mereka sesat
dan menyesatkan. (HR. Bukhori)
Hadits diatas diriwayatkan 3 orang sahabat, yaitu Ibnu
Amru (w. 79 H), Aisyah (w.
57 H), dan Abu Hurairah (w. 57 H). Dengan demikian,
hadits ini masyhur di kalangan sahabat karena terdapat 3 sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut.
· Masyhur Ghayr Ishthilahi
Istilah Masyhur Ghayr Ishthilahi, berarti:
“Hadits yang populer
pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif”
Hadits Masyhur Ghayr Ishthilahi adalah hadits
yang populer atau terkenal dikalangan kelompok tertentu, sekalipun jumlah
periwayatnya tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadits ini tidak
dilihat dari jumlah banyaknya perawi yang meriwayatkan, melainkan popularitas
hadits itu sendiri dikalangan ulama dalam bidang ilmu tertentu.
Hadis yang masyhur
dikalangan ulama fuqoha saja :
حدثنا كثير بن
عبيد، حدثنا محمد بن خالد، عن معرف بن واصل، عن محارب بن دثار، عن ابن عمر، عن
النبي ﷺ قال: «أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق»[28]
“Telah
menceritakan kepada kami Katsir bin ‘Ubaid, telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Kholid, dari Muarrif bin Wasil, dari Maharib bin Datsar, dari Ibnu
‘Umar, Rasulullah ﷺ
bersabda “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian” (HR Abu Daud)
Hadits
tersebut populer dikalangan ulama fiqih dan juga diriwayatkan oleh satu perawi
saja, sehingga hadits tersebut bisa dikatakan sebagai hadits masyhur ghayr
ishthilahi.
Hadis yang masyhur
dikalangan ahli hadits saja :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، قَالَ:
حَدَّثَنَا زَائِدَةُ، عَنِ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ، قَالَ: «قَنَتَ النَّبِيُّ ﷺ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ»[29]
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, ia berkata : telah
menceritakan kepada kami Zaidah, dari at-Taimi, dari Abi Mijlaz, dari Anas bin
Malik, ia berkata : “Rasulullah ﷺ
qunut selama 1 bulan berdoa untuk kaum Ri’lin dan Dzakwan”
Hadis yang masyhur
dikalangan ahli usul fiqh :
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ
الدَّرَاوَرْدِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ،
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ
أَبِي قَيْسٍ، مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّهُ
سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
، يَقُولُ: «إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ،
وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ» قَالَ يَزِيدُ:
فَحَدَّثْتُ بِهِ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، فَقَالَ: هَكَذَا
حَدَّثَنِيهِ أَبُو سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ[30] (رواه ابن ماجه 2314)
“Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar, ia berkata: telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad ad-Daroowirdi, ia berkata
Telah menceritakan kepada kami Abdullah
bin al-Had, dari Muhammad bin Ibrohim at-Taimi, dari Busri bin Said, dari Abi
Qois, dari Amr bin Ash, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda “Apabila seorang hakim menghukumi (suatu perkara) maka ia
berijtihad dan (ijtihadnya) benar maka baginya 2 pahala, dan apabila ia
menghukumi kemudian berijtihad dan salah maka baginya 1 pahala”. Yazid
berkata “Maka aku menceritakan kepada Abu Bakar bin Amr dan Ibn Hazm, ia
berkata “Seperti inilah Abu Salamah menceritakan kepadanya, dari Abu Hurairah. (HR Ibnu Majah)
Hadis yang masyhur dikalangan
muhadditsin, ulama dan
orang awam:
orang awam:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ
لَهِيعَةَ، عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي عِمْرَانَ، عَنِ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ
النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَقُولُ: «الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا
يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ»[31] (رواه أحمد)
“Telah
menceritakan kepada kami Musa bin Daud, ia berkata: telah menceritakan kepada
kami Ibnu Lahi’ah, dari Kholid bin Abi ‘Imron, dari Nafi’, dari Ibnu Umar,
sesungguhnya Rasulullah ﷺ
bersabda “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, janganlah ia
mendzholiminya dan menelantarkannya (HR Ahmad)
Hadis yang masyhur
dikalangan orang awam:
حَدَّثَنَا
الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ، قَالَ: نَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، قَالَ:
نَا شَرِيكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِيسَى، عَنْ جُمَيْعِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ
عَمِّهِ يَعْنِي أَبَا بُرْدَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ ، قَالَ: «مَنْ غَشَّنَا
فَلَيْسَ مِنَّا»[32]
“Telah menceritakan kepada kami al-Abbas bin Abdil Adzhim,
ia berkata : telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir, ia berkata : telah
menceritakan kepada kami Syarik, dari Abdullah bin Isa, dari Jami’ bin Umair,
dari pamannya yaitu Aba Burdah RA, sesungguhnya Rasulullah ﷺ
bersabda “Barang siapa menipu kami maka ia bukan (bagian) dari kami
4). Kitab-kitab yang terkenal
Berikut ini kitab-kitab yang didalamnya berisi tentang
hadits mayhur[33]:
·
Al-Maqasid al-Hasanah
fi ma Isytahara ‘ala al-Alsinah,
karya As-Sakhawi.
karya As-Sakhawi.
·
Kasyf Al-Khafa’ wa
Muzill al-Ibbas fi ma Isytahara min al-Hadits ‘ala Alsinah an-Nas, karya Al-Ajaluni.
·
Tamyiz Ath-Thayyib min
Al-Khabits fi ma Yadur ‘ala Alsinah An-Nas min Al Hadits, karya Ibnu ad-Daiba Asy-Syaibani
b). Hadits Aziz
1). Definisi
‘Aziz berasal dari kata عزَّ- يعِزُّ
(‘Azza-Ya’izzu) yang berarti sedikit atau jarang, dan juga bisa
berasal dari kata عزَّ - يعَزُّ )‘Azza-Ya’azzu( yang
berarti kuat,[34] sebagai mana firman Allah Swt dalam surat Yasin
ayat 36:
إِذْ أَرْسَلْنَا
إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا
إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ
“Ketika kami utus kepada mereka 2 orang, namun
mereka mendustai keduanya, Kemudian kami kuatkan dengan (utusan) ketiga,
kemudian mereka berkata “Sesungguhnya kami diutus kepada kalian”( QS Yasin:36)
Menurut
istilah, Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perowi
walaupun dalam satu tingkatan dari beberapa tingkatan perowinya.[35] Dalam Syarkh Alfiyyah as-Suyuthi fi Mustholah
al-Hadits dijelaskan bahwa hadits aziz adalah yang perawinya tidak kurang
dari dua.[36] Namun, Syeikh Hafidz Hasan
al-Mas`udiy dalam kitabnya Minhat al-Mughits berpendapat bahwa hadits
aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua perowi dalam satu tingkatan, maka
hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi tidak termasuk hadits aziz.[37]
2). Contoh hadits ‘aziz:
Hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari dari Anas r.a :
حدثنا يعقوب بن إبراهيم حدثنا ابن علية عن عبد العزيز بن
صهيب عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم ح حدثنا آدمقال حدثنا شعبة عن قتادة عن
أنس قال: قَالَ النبيِي ﷺ لَايُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى اَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ من والده وولده والناس أجمعين )رواه البخاري ومسلم)[38]
“Rasulullah ﷺ, bersabda: Tidak sempurna iman salah satu diantara kamu
sekalian sampai aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri,
orang tuanya, anak-anaknya, dan semua manusia”
c). Hadits Ghoriib
1). Definisi
Menurut bahasa kata Gharib berarti orang yang
menyendiri, mengasingkan diri, atau orang yang jauh dari sanak keluarganya.
Sedangkan menurut istilah adalah :
“Hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”
Ada dua macam Hadits Gharib, antara lain :
a).
Gharib Mutlak, yaitu:
هُوَمَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي
أَصْلِ سَنَدِهِ وَأَصْلِ السَّنَدِ هُوَطَرَفَهُ الَّذِي فِيْهِ الصَّحَابِي
“Hadits yang Gharabah-nya (perawinya satu orang) terletak pada pokok sanad.
Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.”
Contoh hadits Nabi Saw. :
حَدَّثَنَا
الحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ
وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: «إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا،
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»[40] (رواه البخاري)
Telah menceritakan kepada kami Humaid Abdullah bin az-Zubair, ia berkata:
telah menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata: Telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Said al-Anshori, ia
berkata: telah mengabarkanku Muhammad bin Ibrohim at-Taimi, sesungguhnya ia
mendengar Alqomah bin Waqqosh al-Laitsi, ia berkata: Aku mendengar Umar bin
Khattab RA berkata di atas mimbar, aku mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena
dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan (HR Bukhori)
Hadits diatas diriwayatkan oleh sahabat Umar bin
Khattab (w.
26 H) langsung dari Nabi ﷺ, dan dari Umar diriwayatkan oleh
Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi,[41] kemudian Muhammad bin Ibrahim, kemudian Yahya bin Sa’id Al-Khudri (w. 80 H). Hadits di atas dikatakan Hadits Gharib
Mutlak dikarenakan hanya sahabat Umar bin Khattab yang meriwayatkannya.
b). Gharib Nisby (Relatif), yaitu :
مَا كَانَتِ الْغَرَبَةُ فِي
أَثْنَاءِ سَنَدِهِ
“Hadits yang terjadi
gharabah (perawinya satu orang) ditengah sanad.”
Misalkan hadits yang
diriwayatkan Anas r.a (w. 92 H) :
حدثنا هشام بن عمار وسويد بن سعيد
قالا: حدثنا مالك بن أنس حدثني الزهري عن أنس بن مالك أَنَّ النَّبِّيَ ﷺ دَخَلَ مَكَّةَ يوم الفتح وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَر[42]
“Telah menyampaikan kepada kita Ammar dan suwaid bin sa`id mereka berdua
berkata: telah menyampaikan kepada kita
Malik bin Anas, telah menyampaikan kepada saya az-Zuhri dari Anas bin Malik
bahwa Nabi ﷺ masuk ke kota Makkah pada waktu fathu makkah diatas kepalanya
mengenakan topi
besi.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut
dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya dari Az-Zuhri (w. 125 H)[43].
Boleh jadi pada awal sanad dan akhir sanad lebih dari satu orang, namun di tengah-tengahnya
terjadi gharabah, artinya hanya seorang saja yang meriwayatkannya.
c).
Pembagian Hadis Gharib
Gharib Nisbi ini terbagi menjadi 3 macam, yakni
sebagai berikut[44]:
·
Muqayyad bi ats-tsiqah
Menyendirinya
perawi yang tsiqah dari perawi lain yang tsiqah yakni suatu
hadits yang tidak diriwayatkan oleh perawi tsiqoh yang lain kecuali perawi
tsiqoh ini.
·
Muqayyad bil al-balad
Disebut demikian karena suatu hadits diriwayatkan oleh penduduk tertentu sedang penduduk
lain tidak meriwayatkannya. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud (w. 244 H) dari Ath-Thayalisi (w.
204 H) dari Hamman dari Abu
Qatadah (w.
210 H) dari Abu Nadhrah (w. 109 H) dari Abu Sa’i, mereka adalah penduduk
yang berasal dari Basrah. Disebut ghorib nisbi karena ke-ghoribannya
itu dibatasi pada ulama Basrah saja yang meriwayatkannya, sedangkan ulama dari negara lain tidak ada
yang meriwayatkan.
·
Muqayyad al-rawi
Yakni
hadits seorang perawi tidak diriwayatkan kecuali oleh seorang perawi lainnya,
meskipun hadits tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalur dari perawi yang
lain.
ü Athraf al-Gharaib wa Al-Afrad, karya Muhammad bin Thahir Al-Maqsidi.
ü Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni
ü Al-Hadits ash-Shihah wa al-Gharaib, karya Yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi Asy-Syafi’i.
ü Musnad al-Bazzar.
ü Al-Mu’jam Al-Awsath, karya Ath-Thabarani.
II.
Klasifikasi Hadits Berdasarkan Sumber Berita
Kajian ilmu hadis selain dilihat dari sisi sanadnya, juga dilihat dari segi
matannya, yaitu berkaitan dengan siapa yang menyampaikan matan hadits tersebut,
apakah berasal dari Rasulullah ﷺ
atau selainnya. Di antara hadits-hadis yang berkaitan dengan cara
penyampaiannya adalah:
A. Hadits Marfu’
1. Definisi
Marfu merupakan ism fa’il dari “رفع” yang artinya tinggi, lawan kata dari “وضع” yang berarti rendah. Disebut tinggi karena
disandarkan kepada Rasulullah ﷺ dan
menunjukkan ketinggian derajatnya sebagai Rasul. Sedangkan secara istilah
adalah matan yang disandarkan kepada Nabi ﷺ
secara perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat, baik sanadnya bersambung
atau tidak.[46]
Hadits marfu’ tidak membahas apakah sanadnya bersambung atau tidak, maka
beberapa hadits bisa dikategorikan marfu’ meskipun sanadnya tidak bersambung, di
antara hadist yang termasuk marfu’ adalah Muttashil, Mursal, Munqathi’, Mu’dhal
dan Mu’allaq[47]
2.
Contoh Hadits Marfu’:
a. Marfu’ qauli, contoh :
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ زَنْجَوَيْهِ الْبَغْدَادِيُّ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ
قَالُوا: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ قَرْمٍ، عَنْ أَبِي يَحْيَى الْقَتَّاتِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ
الصَّلَاةُ، وَمِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الْوُضُوءُ»[48]
(رواه التّرمذي)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Zanjawaih
al-Bagdadi dan lebih dari satu (selain dia), telah menceritakan kepada kami al-Husein
bin Muhammad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Qormin,
dari Abi Yahya al-Qottaat, dari Mujahid, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Rasulullah
ﷺ
bersabda “Kunci surga adalah shalat, dan kunci shalat adalah wudhu (HR Tirmidzi)
b. Marfu’ fi’li, contoh:
حَدَثَنَا
عُبَيْدُ الله بنُ مُعَاذ، حدثنا خالد بن الحارث، حدثنا حاتم يعني ابن أبي صغيرة،
عن سماك، قال: سَمِعْتُ النُعْمَانَ بْنِ بَشِيْرٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ ﷺ يُسَوِّيْ صُفُوْفَنَا
إِذَا قُمْنَا لِلصَّلاَةِ فَإِذَا اسْتَوَيْنَا كَبَّرَ[49](رواه ابو داود)
Telah
mnceritakan kepada kami Ubaid bin Mu’adz, telah menceritakan kepada kami Kholid
bin al-Harits, ia berkata telah menceritakan kami Hatim yakni Ibnu Abi
Shoghiroh dari Simak, ia berkata “Rasulullah ﷺ membetulkan shaf-shaf kami apabila kami hendak
shalat, maka setelah shaf itu lurus, barulah Nabi bertakbir” (H.R Abu Daud)
c.
Marfu’
at- taqriri, contoh :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى
الْحِمْصِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْوَلِيدِ الزُّبَيْدِيُّ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي
أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ
خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أُتِيَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ، فَقُرِّبَ إِلَيْهِ، فَأَهْوَى
بِيَدِهِ، لِيَأْكُلَ مِنْهُ، فَقَالَ لَهُ مَنْ حَضَرَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ، فَرَفَعَ يَدَهُ عَنْهُ، فَقَالَ لَهُ خَالِدٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَحَرَامٌ الضَّبُّ قَالَ: «لَا وَلَكِنَّهُ، لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِي،
فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ» قَالَ: فَأَهْوَى خَالِدٌ إِلَى الضَّبِّ، فَأَكَلَ
مِنْهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ[50]
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mushoffa al-Himshi, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Walid az-Zubaidi, dari Zuhri, dari Abi
Umamah bin Sahl bin Hunaif, dari Abdullah bin Abbas, dari Kholid bin al-Walid, bahwasanya
Rasulullah ﷺ
diberi daging biawak bakar, kemudian didekatkan kepada beliau, maka beliau
mengulurkan tangannya untuk memakannya. Orang-orang yang hadir berkata “Wahai
Rasulullah, ini daging biawak, beliau mengangkat tangannya (isyarat menolak),
Khalid berkata “Apakah biawak haram ya Rasulullah? Rasulullah Saw bersabda
“Tidak, tetapi itu tidak ada di tanahku (daerahku), sehingga aku tidak
menyukainya, kemudian
Khalid mengulurkan tangannya ke daging biawak itu dan memakannya, dan
Rasulullah Saw melihatnya.
d. Marfu’ al washfi, jika seorang
sahabat atau yang lainnya mengatakan sifat Rasulullah ﷺ,
contoh:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الوَارِثِ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: كَانَ ﷺ أَحْسَنَ النَّاسِ
خُلُقًا[51](رواه البخاري)
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata telah menceritakan kepada kami
Abi Tayyaah dari Anas, ia berkata “Rasulullah Saw merupakan orang yang
paling baik akhlaknya” (H.R Bukhori)
3.
Macam-macam hadis marfu’
·
Hadis yang dimarfu’kan secara tegas,
Yaitu hadis yang secara tegas dikatakan oleh seorang sahabat bahwa hadis
tersebut didengar atau dilihat dan atau disetujui dari Rasulullah ﷺ,[52]
contohnya:
416 - حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ قَالَ:
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ فَائِدٍ أَبِي الْوَرْقَاءِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى، قَالَ: «رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلَاثًا
ثَلَاثًا، وَمَسَحَ رَأْسَهُ مَرَّةً»[53]
Telah
menceritakan kepada kami Sufyan bin Waqi’, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Isa bin Yunus, dari Faid Abi al-Qarqoo bin Abdirrohman, dari
Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata “Aku melihat Rasulullah ﷺ
berwudhu tiga kali-tiga kali dan membasuh kepalanya satu kali”. (HR Ibnu Majah)
108
- حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْأَعْلَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ غُضَيْفِ بْنِ
الْحَارِثِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ الْحَقَّ
عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُولُ بِهِ»[54]
Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah
Yahya bin Kholaf, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, dari Muhammad
bin Ishaq, dari Makhul, dari Ghudhoif bin al-Harits, dari Abi Dzar, ia berkata
“Aku mendengar Rasulullah ﷺ berkata “Sesungguhnya Allah SWT meletakkan
kebenaran pada lisan Umar RA yang ia berkata dengannya”. (HR Ibnu Majah)
·
Hadis yang dimarfu’kan secara hukum[55]
Yaitu hadis yang mauquf lafalnya (dari sahabat) tetapi hakikatnya
disandarkan kepada Rasulullah ﷺ
sehingga dihukumi marfu’, misalnya:
-
Perkataan seorang sahabat tentang suatu
masalah yang tidak dapat dicapai dengan ijtihad, seperti perkataan yang
berkaitan dengan berita gaib, atau menerangkan pahala sesuatu amal, seperti
perkataan Ibnu Masud RA:
مَنْ أَتَى سَاحِرًا أَوْ عُرَافًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا
أُنْزِلَ عَلى مُحَمَّدٍ
Barangsiapa mendatangi tukang sihir, atau dukun, maka sesungguhnya ia telah
kafir, kepada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad ﷺ
-
Apabila seorang sahabat membuat suatu
pekerjaan yang tidak dapat diperoleh dengan jalan ijtihad, maka perbuatannya
itu dipandang hadis marfu’, karena seorang sahabat tidak melakukan suatu
perbuatan tanpa ada tuntunan dari Nabi ﷺ.
Misalnya perbuatan Ibnu Umar mengangkat kedua tangan ketika takbir dalam
beberapa takbir shalat Hari Raya.
-
Apabila seorang sahabat mengabarkan suatu
berita dengan menggunakan ungkapan bahwa di antara mereka (para sahabat) ada
yang mengerjakan begini di masa hidup Rasulullah ﷺ dan
beliau tidak mencegah atau melarang. Hal ini disebut juga dengan hadis taqriri. Contoh:
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْكَرِيمِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُنَيْدُ بْنُ
دَاوُدَ، عَنْ خَالِدِ بْنِ حَيَّانَ الرَّقِّيِّ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَلِيُّ بْنُ
عُرْوَةَ الْبَارِقِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ أَبِي
الزِّنَادِ، عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَجُلًا يَسْأَلُ
أَبِي عَنِ الرَّجُلِ يَغْزُو فَيَشْتَرِي وَيَبِيعُ وَيَتَّجِرُ فِي غَزْوِهِ؟
فَقَالَ لَهُ أَبِي: «كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِتَبُوكَ نَشْتَرِي
وَنَبِيعُ، وَهُوَ يَرَانَا وَلَا يَنْهَانَا»[56]
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin
Abdil Karim, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sunaid bin Daud, dari
Khald bin Hayyan ar-Roqi, ia berkata: telah mengabarkanku Ali bin ‘Urwah
al-Baariqi, ia berkata: telah menceritakan kepadaku Yunus bin Yazid, dari Abi
Ziyad, dari Khorijah bin Yazid, ia berkata : Aku melihat seorang
laki-laki bertanya kepada Ayahku tentang (hukum) seseorang yang sedang
berperang dan ia membeli, menjual, dan berdagang dalam keadaan perang? Lalu ia
(ayahku) berkata padanya “Kami bersama Rasulullah ﷺ di
Tabuk (perang Tabuk) membeli dan menjual (berdagang) dan ia (Rasulullah ﷺ)
melihat kami dan tidak melarang kami” (HR. Ibnu Majah)
-
Dan apabila seorang sahabat berkata من السنّة كذا, contohnya:
حَدَّثَنَا أَبُو
دَاوُدَ قَالَ: حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، عَنْ وَبَرَةَ، عَنْ هَمَّامِ بْنِ
الْحَارِثِ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: «إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ الْغُسْلَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ»[57]
Telah
menceritakan kepada kamu Abu Daud, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku
Mas’udi, dari Wabaroh, dari Hammam bin al-Harits, ia berkata: Abdullah berkata “Sesungguhnya
mandi di hari jumat adalah perkara sunnah”
B. Hadits Mauquf
1. Definisi
Secara bahasa kata mauquf berasal dari “وقف”
yang artinya berhenti, dinamakan hadits mauquf karena seakan-akan perawi dalam
periwayatan hadits berhenti di tingkat sahabat.[58] Sedangkan
secara istilah yaitu matan yang disandarkan kepada sahabat baik secara
perkataan, perbuatan atau ketetapan, baik sanadnya bersambung atau terputus.[59]
Hadis mauquf didefinisikan sebagai hadis yang diriwayatkan dari
seorang sahabat, baik berbentuk ucapan, perilaku, atau yang sejenisnya dari
mereka. Baik yang dalam kategori muttashil maupun munqothi. Jika
hadis itu mengenai ucapan, perilaku atau yang sejenisnya dari orang-orang
selain sahabat maka disebut dengan hadis muqoyyad.[60]
Para ahli fikih di Khurasan menyebut hadits mauquf sebagai atsar dan
hadis marfu’ sebagai khabar. Sedangkan menurut ahli hadits,
dua-duanya disebut dengan atsar.[61]
Ada juga yang menyebut hadis ini dengan khobar.
2. Contoh hadits mauquf
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا
عَمْرٌو، قَالَ: أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَخِيهِ، قَالَ:
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: «مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي، إِلَّا مَا كَانَ
مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ»
تَابَعَهُ مَعْمَرٌ، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ (رواه البخاري)[62]
Telah menceritakan kepada kami Abdullah, ia berkata, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr, ia berkata, telah
mengabarkanku Wahab bin Munabbih dari saudaranya, ia berkata: aku mendengar Abu
Hurairah RA berkata “Tiada seorang pun dari sahabat Nabi saw yang
lebih banyak dalam meriwayatkan hadis yang diterima dari beliau saw daripada
saya, melainkan apa yang didapat dari Abdullah bin Amr, sebab ia mencatat hadis
sedang saya tidak mencatatnya (HR. Bukhori)
3. Hukum hadis mauquf
Hadits mauquf tidak bisa menduduki hukum hadits marfu’, kecuali apabila ada
indikasi yang menjadikannya dihukumi marfu’, misalnya perkataan sahabat
mengenai perintah atau larangan dari Rasulullah ﷺ,
perbuatan sahabat di masa Nabi ﷺ dan
taqrir Nabi ﷺ.
Apabila tidak disandarkan pada masa Rasulullah Saw maka hukumnya adalah mauquf
dan tidak bisa dijadikan hujjah.[63] Maka
perkataan sahabat yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ
termasuk marfu’ apabila dikatakan di masa Rasulullah ﷺ
atau setelah wafatnya beliau.[64]
C. Hadits Maqthu’
1. Definisi
Kata maqthu merupakan isim maf’ul dari “قطع” yang artinya
putus atau lawan kata dari “وصل” yang artinya
bersambung.[65]
Menurut istilah, yaitu matan yang disandarkan kepada Tabi’in atau tabi’tabi’in baik
secara perkataan maupun perbuatan.[66]
Matan pada hadis maqthu’ bukanlah bersumber dari Nabi ﷺ ,
melainkan dari tabi’in atau orang setelahnya. Maqthu’ berbeda dengan hadis
mursal, pada hadis mursal, tabiin langsung meriwayatkan hadis yang disandarkan
kepada nabi ﷺ namun tidak menyebutkan sahabat. Namun, pada
hadis maqthu’ tabiin tidak menyandarkan perkataannya pada nabi, melainkan dari
dirinya sendiri. Sebagian ulama menyebut hadis maqthu sebagai atsar.
2. Contoh hadits maqthu’
Maqthu’ Qouli
قول الحسن البصري في الصلاة خلف المبتدع:" صل
و عليه بدعته "[67]
Perkataan al-Hasan al-Bashri tentang (hukum) shalat
(bermakmum) kepada ahli bid’ah “Shalatlah dan bid’ahnya atasnya”
Maqthu’ fi’li
قول إبراهيم بن محمد بن المنتشر:
" كان مسروق يرخي الستر بينه و بين أهله، و يقبل على صلاته و يخليهم و
دنياهم".[68]
Perkataan Ibrahim bin Muhammad bin al-Muntasyir “Masruq
menurunkan pembatas antara dirinya dan keluarganya, kemudian beliau mendirikan
sholat dan mengosongkan (fikirannya) dari hal-hal duniawi.
3.
Hukum
menjadikan hadits maqthu’ sebagai hujjah
Hadits maqthu’
tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah apapun termasuk syari’at,[69] meskipun sandaran perkataannya shohih. Sebab hal itu merupakan
perkataan atau perbuatan yang bukan bersumber dari Rasulullah ﷺ.
4. Kitab-kitab hadis mauquf dan maqthu’
-
Mushannaf Abi Syaybah
-
Mushannaf ‘Abd Ar-Razzaq
-
Tafsir Ibn Jarir, Ibn Hatim, dan Ibn
Al-Mundzir
D. Hadits Musnad
1. Definisi
Musnad secara bahasa berasal dari kata “أسند” yang artinya menyandarkan. Sedangkan secra
istilah yaitu hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan secara marfu’
kepada Nabi ﷺ.[70]
Untuk mengkategorikan suatu hadits sebagai hadits musnad, perlu melihatnya
dari sisi sanad dan matan, yaitu sanadnya bersambung dari perawi terakhir
hingga ke Rasulullah ﷺ,
dan juga matannya disyaratkan marfu’ atau disandarkan kepada Rasulullah ﷺ,
dan bukan dari selainnya. Jadi, hadits musnad lebih khusus dari hadis marfu’,
karena tidak semua hadis yang muttashil itu marfu’ dan tidak
semua hadits yang marfu’ itu muttashil.
2.
Contoh hadis musnad
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ
الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ
فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا»[71]
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dari Malik, dari Abi az-Zanad dari
al-A’roj, dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Sesungguhnya
Rasulullah ﷺ bersabda : apabila seekor anjing minum di
salah satu bejana kalian maka hendaklah ia mencuci (bejana tersebut) sebanyak tujuh kali. (HR Bukhori)
BAB III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Untuk mengkategorikan hadis
sebagai hadis yang shohih perlu melihat dan meninjaunya dari berbagai sisi, dan
untuk memudahkan para ahli dalam menentukan validnya suatu hadis, hadis-hadis
diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian salah satunya adalah mengklasifikasikannya
dari jumlah perawi yang meriwayatkan. Klasifikasi hadis berdasarkan jumlah
perawinya terbagi menjadi 2 yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad, hadis ahad
dibagi lagi menjadi 3 yaitu masyhur, aziz dan ghorib.
Hadits mutawatir adalah
hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat dan kebiasaannya
mustahil bersepakat untuk berdusta. Pendapat yang paling kuat mengenai jumlah
minimal dari perawi yang meriwayatkan hadis ini yaitu 10 orang, hadis mutawatir
mengandung
hukum qath`i as tsubut yaitu memberikan informasi yang pasti akan sumber
informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari
hadits mutawatir.
Sedangkan
hadis ahad adalah hadis yang
perawinya tidak melebihi jumlah perawi hadits mutawatir, tidak memenuhi
persyaratan mutawatir serta tidak mencapai derajat mutawatir sebagaimana
dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits. Hadis ini dibagi lagi sesuai dengan jumlah
yang meriwayatkannya, hadis masyhur diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih,
namun belum mencapai derajat mutawatir, hadis aziz diriwayatkan oleh dua atau
tiga perawi walaupun dalam satu tingkatan dari beberapa tingkatan perowinya,
sedangkan hadis aziz hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang hanya
meriwayatkannya sendiri.
Hadis
juga diklasifikasi berdasarkan sumber penyampai beritanya, apabila matannya
berasal dari Rasulullah ﷺ maka disebut dengan hadis marfu’,
apabila diriwayatkan oleh sahabat disebut hadis mauquf, dan apabila
diriwayatkan oleh tabi’in maka disebut dengan hadis maqthu’. Dan apabila
matannya berasal dari Rasulullah ﷺ serta
sanadnya bersambung, maka disebut dengan hadis musnad, hadis musnad adalah yang
paling tinggi kedudukannya.
[2] Fatchur
Rahman, Ikhtishar Mustholahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif 1984), hal
78
[5] Fathu Rahman, Ikhtisar
Mustholah al –Hadits, hal:79
[6]Mahmud Thohan, Taisir
Musthalah al Hadits, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 2004) hal:20
[7]
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul
Bukhori, (Darut Thouq an-Najaat,1422), hadist no 107
[8] Al-Hafidz
Jalaluddin as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi Fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Kairo:
Darul Hadits) hal:450
[9]
Ibnu Shalah bernama Utsman bin
Abdurrahman bin Utsman bin Musa bin Abi Nashr An-Nashri Al-Kurdi Asy-Syarakhani
Asy-Syahruzuri. Beliau lahir pada tahun 577 H, di wilayah kota Arbil,Irak.
[10] Nama aslinya
adalah Abu Ya’qub Ishaq bin al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Yahya bin
Mandah. Nama asli Mandah adalah Ibrahim bin al-Walid bin Sandah, berasal dari
Ashfahan (disebut juga Isfahan atau Ashbahan, 300 km dari Teheran, Iran).
Beliau dilahirkan pada tahun 310 atau
311 H.
[12] Fathu Rahman, Ikhtisar
Mustholah al –Hadits, hal:83
[17] Mahmud Thohan,
Taisir Musthalah al Hadits, hal:22
[21] Al-Hafidz
Jalaluddin as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi Fi Syarh Taqrib an-Nawawi, hal:443
[25]
Abu Abdillah Muhammad bin Salamah, Musnad Asy-Syihab, (Beirut:Muassasah ar-Risalah, 1986), hadits no 175
[28]
Abu Daud Sulaiman bin
al-Asy’at, Sunan Abu Daud, (Beirut: al-Maktabah
al-‘Ashriyah), hadits no 2178
[29]
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ja’fari, Shohiihul
Bukhori, (Darut Thouq an-Najaat,1422), hadist no 1003
[31]
Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Musnad al-Imam
Ahmad bin Hambal, (Madinah: Maktabah al-Uluum wal
Hakim, 2001), hadits no 5357
[32]
Abu Bakar Ahmad bin Amr bin Abdul Kholiq, Musnad
al-Bazzar, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2009), hadits no 3797
[35] Hasan Muhammad
al-Masyath, At-Taqribat as-Saniyah (Jakarta: Dar al-kutub al-Islamiyyah,
2013), hal:18
[36] Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid, Syarkh Alfiyyah as-Suyuthi fi Mustholah al-Hadits (Jakarta: Dar Ibnu
Qayyum), hal:336
[37] Hafidz Hasan
al-Masudiy, Minhat al-Mughits (Surabaya: al-Hidayah), hal:21
[39] Fathu Rahman, Ikhtisar
Mustholah al–Hadits, hal:97
[48] Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Mesir: Musthofa
al-Babii al-Halbi, 1975), hadis no 04
[49] Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’at, Sunan Abu Daud, (Beirut:
Al-Maktabah al-‘Ashriyah, 2005), hadis
no 665
[63] Muhammad Ajaj Al-Khotib, Ushuulul Hadits ‘Uluumuhu wa Mustholaahuhu, (Cairo:
Darul Fikr, 1989), hal 381
[64] Muhammad Ajaj Al-Khotib, Ushuulul Hadits ‘Uluumuhu wa Mustholaahuhu,
hlm 381
[69] Mahmud Thahan,
Taisir Musthalah Al- Haditshal 134
jadwal sabung ayam online terpercaya s128 online
BalasHapusUntuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
Telegram : +62812-2222-995 / https://t.me/bolavita
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita