Pendahuluan
Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan
terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang
membuat al-Qur’an, tentu
saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam
surat al-Nisa ayat 82:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak
memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. Al-Nisa’: 82)
Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an
(musykil al-qur’an), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan
dalam pembahasan ilmu hadis (mukhtalaf al-hadits). Hal ini dikarenakan al-Qur’an adalah haq, tidak ada pertentangan di dalamnya,
berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan.
Meskipun demikian, tidak semua ayat al-Qur’an dapat dipahami secara langsung. Ada kalanya ayat al-Qur’an
mengandung makna yang samar, baik hanya diketahui oleh Allah Swt, ataupun
karena membutuhkan pembahasan yang lebih mendalam untuk mengertinya. Ayat-ayat
itu disebut juga sebagai musykil.
Musykil
al-Qur’an adalah ayat-ayat al-Qur’an yang
maknanya tidak jelas (samar). Maksud yang dituju dari ayat tersebut tidak dapat
diketahui kecuali melalui pencarian dan pemikiran. Munculnya
ayat-ayat musykil disebabkan karena penggunaan lafal yang samar atau
beberapa ayat yang secara sekilas terlihat saling bertentangan. Oleh karena
itu, terkadang ada suatu ayat yang musykil bagi seorang ulama, tetapi
tidak musykil bagi ulama lainnya. Hal ini tergantung pada kedalaman
bahasa dan ilmu yang dimilikinya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis hendak membahas lebih dalam
mengenai ayat-ayat musykil dalam al-Qur’an, serta memberikan contoh dan melampirkan kitab yang
membahas tentang ini. Secara spesifik penulis juga akan mengulas kitab Ta’wil Musykil
al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah sebagai salah satu kitab yang mengkaji ilmu
ini.
Profil
Singkat Ibnu Qutaibah
Ibnu
Qutaibah
berasal dari keluarga Persia. Ia tinggal di Kota Marawi. Nama aslinya
adalah Abdullah bin Muslim bin Qutaibah bin Muslim al-Ruzi.
Ia lahir
pada tahun 213 H, pada akhir masa kekhalifahan al-Ma'mun.[1]
Para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan kota kelahiran Ibnu Qutaibah, menurut al-Sam’ani ia dilahirkan di kota Baghdad. Sedangkan menurut Ibnu Nadim, Ibnu al-Anbari,
dan Ibnu al-Atsir ia dilahirkan di kota Kufah. Tetapi para ulama bersepakat
bahwasanya Ibnu Qutaibah besar atau tumbuh di kota Baghdad.[un1] [2]
Semasa hidupnya, Ibnu Qutaibah banyak belajar dari para
ulama. Diantara guru-gurunya adalah Muslim bin Qutaibah (ayahnya), Ahmad bin
Sa'id Aal-Lihyani (sahabat Abi Ubaid), Muhammad bin Salam al-jamhi, Ishaq bin
Rohawaih, Yahya bin Aktsan al-Qadhi, Abu Hatim al-Sijistani, Abdurrahman bin
Akhi al-Asmu'i, Da'bal bin Ali al-Khuza'i (seorang penyair terkenal), Ibrahim
bin Sufyan al-Ziyadi, Ishaq bin Ibrahim bin Muhammad al-Showaf, Muhammad bin
Yahya bin Abi Hazm al-Qothi'i al-Bashri, Abu al-Khitob Ziyad bin Yahya al-Hasani,
Syababah bin Siwar, Abbas bin al-Farh al-Riyasyi, dan Abu Sahal al-Shaffar.[3]
Ibnu Qutaibah banyak menghabiskan waktunya dengan menyendiri
di rumah. Di sana ia mengarang buku-buku dan memperbaiki tulisannya. Setelah
rampung, ia keluarkan karangannya untuk dibacakan kepada siapapun yang hendak
belajar dengannya. Oleh karena itu, tak heran bila Ibnu Qutaibah memiliki
banyak murid.[4]
Ibnu
Qutaibah juga memiliki banyak murid ternama. Diantara murid-muridnya adalah Abu
Ja’far bin Qutaibah, Ahmad bin Marwan al-Maliki, Abu
Bakar Muhammad bin Khalaf bin al-Marzuban, Ibrahim
bin Muhammad bin Ayyub bin Basyir al-Shaigh, Ubaidullah
bin Abdurrahman bin Muhammad bin Isa, Ubaidullah bin Ahmad bin Abdullah
bin Bakir al-Tamimi, Qosim bin Asbagh al-Andalusi, Abdullah
bin Jafar bin Durostawaih al-Fasawi, Ubaidullah
bin Muhammad bin Jafar bin Muhammad al-Azdi, dan Ahmad bin
Husein bin Ibrahim al-Dinawari.[5]
Ibnu
Qutaibah memiliki karya yang begitu banyak, karyanya bahkan mencapai enam puluh
lima karangan. Berikut beberapa karyanya: al-Wuzara, Alat al-Kitab, Shina'at
al-Kitabah, al-Wahsy, al-Syiyam, Gharib al-Hadits, Ishlah al-Ghalath fi Gharib
al-Hadits li Abi Ubaid, Tafsir Gharib al-Qur'an, Al-Anwar, Fadhl al-Arab wa al-Tanbih
ala Ulumiha, al-Muyassar wa al-Qodah, al-Ma'arif, Uyun al-Akhbar, Adab al-Katib,
al-Syi'r wa al-Syu’ara’, dan Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits.[6]
Terdapat banyak ulama yang memuji keilmuan Ibnu Qutaibah. Menurut Ibnu Nadim, Ibnu Qutaibah adalah orang yang
jujur dengan apa yang ia riwayatkan, pakar dalam bahasa. Ia juga banyak memiliki karangan buku seperti ilmu nahwu, gharib al-Qur'an dan maknanya, syi’ir, fiqh, dan lain-lain. Menurut Khatib al-Baghdadi[7]
dalam kitab Tarikh Baghdad, Ibnu Qutaibah adalah orang yang tsiqoh
dan terkenal sebagai pemilik banyak karya. Sedangkan menurut Abu al-Barakat al-Anbari
dalam kitab Nuzhat al-Albaa, mengatakan bahwa Ibnu Qutaibah adalah sosok
yang patut dipuji dari segi bahasa, nahwu dan syi’ir.[8
Menurut
penuturan muridnya, Abu al-Qosim Ibrahim al-Shaigh, Ibnu Qutaibah wafat pada
malam pertama di bulan Rajab pada tahun 276 H. Sebelumnya ia memakan harisah,
setelah itu ia demam, kemudian berteriak dengan teriakan yang sangat kencang.
Lalu ia pingsan ketika waktu salat Dzuhur. Tidak lama setelah itu ia
kejang-kejang, kemudian diam, tenang dan menyebutkan syahadat sampai waktu
sahur tiba, hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir.[9]
Latar Belakang Penulisan Kitab Ta’wil Musykil
al-Qur’an
Dalam
sejarahnya, Ibnu Qutaibah banyak bergelut daengan para ahli bahasa karena
memang Kota Baghdad ketika itu dikenal dengan kota yang banyak memiliki ahli
bahasa. Pada masa itu, terdapat dua kelompok yang saling bersebrangan tentang
kebahasaan al-Qur’an, antara kelompok yang mengakui adanya majaz dalam
kebahasaan al-Qur’an dan kelompok yang menegasikan keberadaannya (al-mulhidun).[10]
Kelompok
yang bersebrangan dengan Ibnu Qutaibah adalah kelompok yang memiliki keraguan
seputar kebahasaan al-Qur’an. Keraguan itu timbul karena melihat adanya
pertentangan makna secara nahwiyah dan beberapa polemik kebahasaan lainnya.[11]
Ibnu
Qutaibah dalam pendahuluan karyanya mengatakan bahwa tujuannya menulis kitab
ini dalam rangka meluruskan dan mendamaikan polemik yang ada ketika itu. Bantahan
dan penjelasannya dibangun di atas tiga garis besar: dalil yang jelas (al-hujaj
al-nirati), argumentasi yang jelas (al-barohin al-bayyinah) dan
pembuka keraguan (al-kasyfu maa yalbisun).[12]
Metode Penulisan Kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an
Ibnu
Qutaibah membagai pembahasan ke dalam bab-bab yang disesuaikan dengan
jenis-jenis kemusykilannya, misalnya musykil yang disebabkan perbedaan huruf
dan qiroat, ayat-ayat mutasyabih, kinayah, majaz, ayat-ayat yang saling
bertentangan, dll.
Ibnu
Qutaibah membaginya dengan sangat rinci, bahkan mencapai lebih dari 100 judul,
diantaranya:
1. Bab dzikr al-‘arab wa maa khoshohumullahu fii al-mu’aradah, wal al-bayan
wa at-tisa’ al-majaz.
2.
al-hikayah ‘ani at-thoi’in
3.
Bab al-raddu ‘alaihim fii
wujuuhil qiro’at
4.
Bab maa idda’a ‘ala
al-Qur’an min al-Lahn.
5.
Bab tanaqudh wa
al-ikhtilaaf
6.
Bab al-mutasyabih
7.
Bab al-qoul fi al-majaz
8.
Bab al-maqluub
9.
Bab al-hadzf wal ikhtishor
10. Bab at-tikraar al-kalaam wa az-ziyadah fihi
11. Bab al-kinayah wa at-ta’ridh
12. Bab mukhalafatu dzhohir al-lafdzi ma’nahu
13. Bab ta’wiilu al-huruf allati i’dda’a ala al-qur’an biha al istihalatu wa
fasadi an-nidzhom
14. Surat Saba
15. Surat al-Furqon
16. Surat Yasin
17. Surat al-Mursalat
18. Surat al-An’am
19. Surat an-Nisa
20. Surat al-Baqoroh
21. Surat ar-Ra’d
22. Surat an-Nur
23. Surat at-Tin
24. Surat adh-Dhuha
25. Surat al-Qiyamah
26. Surat ash-Shaffat
27. Surat Shad
28. Surat as-Sajdah
29. Surat an-Naml
30. Surat al-Mumtahanah
31. Surat al-Hajj
32. Surat al-Baqoroh
33. Surat al-Muzamil
34. Surat al-Fath
35. Surat al-A’raf
36. Surat Az-Zukhruf
37. Surat ar-Ruum
38. Surat an-Nahl
39. Surat Yunus
40. Surat Hud
41. Surat al-Maidah
42. Surat al-Anbiya
43. Surat Yusuf
44. Surat al-Quraisy
45. Surat Al-Humazah
46. Surat Muhammad
47. Surat Qaf
48. Surat al-Qashah
49. Surat al-Jinn
50. Surat al-Ahzab
51. Al-Qadha
52. Al-Huda
53. Al-Ummah
54. Al-‘Ahdu
55. Al-Ill
56. Ad-Din
57. Al-Maula
58. Adh-dholal
59. Al-Imam
60. Ash-Sholah
61. Al-Kitab
62. As-Sabab wa al-hablu
63. Ar-Rajzu wa ar-rijsu
64. Al-fitnah
65. Al-Fardu
66. Al-Khiyanah
67. Al-Islam
68. Adh-Dhor
69. Al-haraj
70. Ar-Ruh
71. Al-wahyu
72. Al-farh
73. Al-fath
74. Al-Karim
75. Al-mitsal
76. Adh-Dhorb
77. As-Sulthon
78. Al-Ba’s wa al-ba’saa
79. Al-kholq
80. Ar-rohmu
81. As-Sa’yu
82. Al-Muhsinat
83. Al-Mata’ wa al-Hisab
84. Kaayyin
85. Kaifa
86. Sawa, siwa wa suwa
87. Ayyaana
88. Al-Aan
89. Anna
90. Waikaanna
91. Kaana
92. Laata
93. Mahma
94. Maa wa man
95. Kaada
96. Bal
97. Am
98. La
99. Au la
100. La Jazm
101. In Al-Khofifah
102. Haa
103. Haati
104. Ta’aal
105. Halumma
106. Kalla
107. Ruwaida
108. Alaa
109. Al-Wail
110. La amruka
111. Iy
112. Ladun
Dalam menjelaskan ayat-ayat yang musykil,
biasanya Ibnu Qutaibah membandingkan ayat al-Qur’an yang maknanya bertentangan
dengan ayat lainnya. Kemudian beliau menjelaskan alasan perbedaan makna pada
ayat-ayat tersebut. Terkadang argumentasinya juga dikuatkan oleh hadis-hadis
atau pendapat para sahabat.
Misalnya ayat [13]وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ
فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ kemudian dilanjutkan dengan ayat وَمَا لَهُمْ
أَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللَّهُ[14]. Nadhr bin Harits berkata sebagaimana termaktub dalam surat
Al-Anfal: 32: وَإِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ
عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ.
Ayat terakhir menunjukkan permohonan untuk menghancurkan semua
orang, termasuk Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Kemudian Allah Swt
menurunkan QS Al-Anfal:34 yang menyatakan bahwa Allah Swt tidak akan menurunkan
adzab selama masih ada orang-orang yang memohon ampunan (muslimin).
Selain menggunakan metode perbandingan, seringkali Ibnu Qutaibah
membangun pertanyaan-pertanyaan dari beberapa ayat yang maknanya rancu.
Misalnya ayatوَجَعَلْنَا [15]نَوْمَكُمْ
سُبَاتًا . سُبَاتًا artinya adalah tidur.
Lalu bagaimana bisa menjadikan tidur (نَوْمَكُمْ) tidur (سُبَاتًا)?[16]
Definisi Musykil
al-Qur’an
Secara
bahasa, kata مشكل merupakan isim fa’il dariأشكل yang artinya samar, tidak jelas. Adapun arti musykil
menurut Abu Bakar bin Muhammad bin Qosim adalah ‘telah bercampur dengan
lainnya.’ Sedangkan
menurut Ibnu Hatim dan Ibnu Mandzur, musykil berarti samar. Menurut Fakhrurrazi, disebut musykil karena ia samar dan menyerupai yang lainnya. Adapun al-Zabidi mengartikannya
sebagai kesamaan dan keserupaan. Arti musykil secara bahasa
meliputi persamaan (al-mumatsilah wa al-isytibah), percampuran (al-ikhtilath) dan kesamaran (al-iltibas).[17]
Terdapat
beberapa ilmu yang berkaitan dengan pembahasan musykil al-Qur’an, diantaranya ushul
fiqh, hadis dan ulum al-Qur’an. Adapun arti musykil secara
istilah, masing-masing ulama di bidang ilmu tersebut memberikan definisi yang
berbeda. Definisi musykil menurut ulama ushul fiqh diantaranya menurut al-Baji adalah perkara samar yang membutuhkan pemahaman untuk mengetahui maksud
yang dituju melalui pemikiran dan perenungan. Sedangkan al-Syatibi mendefinisikannya sebagai sesuatu yang maknanya samar dan belum dijelaskan maksudnya. Adapun Abdul Wahab menedefinisikannya
sebagai lafaz yang menunjukkan suatu makna, tetapi harus ada sesuatu yang
menunjukkan maksud perkataan tersebut. Mayoritas ulama ushul mendefinisikan
musykil sebagai mutasyabih. Yakni sesuatu yang belum jelas
maknanya dan membutuhkan takwil.[1
Adapun
definisi musykil menurut ulama hadis adalah atsar yang
diriwayatkan dari Rasulullah Saw dengan sanad yang diterima, namun bertentangan
dengan al-Qur’an atau hadis yang jelas atau di dalamnya terdapat makna-makna
yang tidak diketahui banyak orang. Sedangkan definisi musykil menurut
ulama tafsir dan ilmu al-Qur’an adalah segala makna yang samar pada ayat al-Qur’an,
baik dari segi lafaz, makna, pertentangan (ta’arudh), bacaan atau i’rab.[19]
Dari pengertian di atas, maka musykil al-Qur’an dipahami sebagai ayat-ayat al-Qur’an yang maknanya tidak jelas (samar). Maksud yang dituju dari
ayat tersebut tidak dapat diketahui kecuali melalui pencarian dan pemikiran.[20
Pembahasan
musykil al-Qur’an berkutat pada persamaan (المماثلة
والاشتباه), percampuran (الاختلاط),
dan kesamaran (التباس). Ayat-ayat yang musykil bisa diketahui melalui
pencarian dan pembahasan yang mendalam. Dalam istilah lain, ayat musykil dikenal dengan ayat mutasyabih.
Ayat-Ayat Muhkam
dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an
mengandung ayat yang muhkam dan mutasyabih.
Allah Swt berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ
مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,
itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.” (QS. Alu Imran: 7)
Dalam
ayat lain Allah Swt berfirman:
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ
خَبِيرٍ
“(inilah)
suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara
terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Tahu.” (QS. Hud: 1)
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an sudah dijelaskan secara
terperinci dan teratur. Pernyataan yang ada dalam al-Qur’an seluruhnya benar
dan nyata, perintah-perintahnya menunjukkan kebaikan, petunjuk, keberkahan dan
perdamaian, segala larangannya menjauhkan manusia dari keburukan dan bahaya,
inilah yang dimaksud dengan ayat-ayat muhkam.[21]
Di
samping ayat muhkam, ada pula ayat yang mutasyabih. Ayat-ayat mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan
tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki
secara mendalam. Ayat-ayat mutasyabih juga bisa dikatakan sebagai
ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui,
biasanya ayat ini berhubungan dengan perkara yang ghaib.
Meskipun demikian, tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang bertentangan
dengan akal sehat dan tidak ada ayat mutasyabih mengenai asma Allah dan
sifatnya, kecuali yang berkaitan dengan kaifiyah. Terdapat tiga macam ayat mutasyabihat, yakni:[22]
·
Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat
diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah Swt. Contohnya perkara
mengenai dzat Allah, hakikat sifat-sifat-Nya, kiamat dan perkara gaib lainnya.
·
Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh
semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contohnya
seperti merinci lafadz mujmal, menentukan lafadz yang musytarak,
meng-qayyid-kan
yang mutlak, dan
lain-lain.
·
Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat
diketahui oleh para pakar ilmu dan sains, bukan oleh orang awam.
Contoh Ayat-Ayat
Musykil dalam Al-Qur’an
Sahabat
yang paling memahami ilmu musykil al-Qur’an adalah
Abdullah bin Abbas Ra.[23]
Di masa Rasulullah Saw, apabila para sahabat tidak mengerti suatu ayat mereka
dapat langsung menanyakannya kepada Rasulullah Saw. Namun pertanyaan dan
pembahasan mengenai ayat-ayat yang musykil di kalangan sahabat tidak
banyak. Pertanyaan mengenai musykil al-Qur’an lebih banyak muncul di
kalangan tabiin, lalu lebih banyak lagi muncul dari generasi-generasi setelahnya.
Dalam
hadis riwayat al-Bukhari, seorang sahabat bertanya kepada Ibnu Abbas, ia
mengatakan bahwa ia menemukan ayat-ayat yang saling bertentangan menurutnya,
kemudian ia menyebutkan ayat-ayat itu:[24]
المعني
|
الآية المعارضة
|
الآية
|
الرقم
|
فِي
النَّفْخَةِ الأُولَى فَلاَ أَنْسَابَ
بَيْنَهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ وَلاَ يَتَسَاءَلُونَ،
|
وَأَقْبَلَ
بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ (الصافات: 27)
|
فَلاَ
أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءَلُونَ
(المؤمنون:101)
|
1.
|
فإنّهم لمّا
رأو يوم القيامة، وأنّ الله يغفر لأهل الإسلام، ويغفر الذنوب ولا يغفر شركا، ولا
يتعاظمه ذنب أن يغفره، جحده المشركون رجاء أن يغفر لهم، قالو: والله ربّنا ما
كنّا مشركين، فختم الله على أفواههم، وتكلّمت أيديهم وأرجلهم بما كانوا يعملون،
فعند ذالك يودّ الذين كفروا وعصوا الرّسول لو تسوّى بهم الأرض، ولايكتمون الله
حديثا[26]
|
وَلاَ
يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا )النساء: 42)
|
وَاللَّهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا
مُشْرِكِينَ (الأنعام:23)
|
2.
|
إنّ الأرض خلقت قبل
السماء، وكانت السّماء دخانا فسوَّاهن سبع سماوات في يومين بعد خلق الأرض،
|
أَمِ السَّمَاءُ
بَنَاهَا (النازعات:27) إِلَى قَوْلِهِ: والأرض بعد ذالك دَحَاهَا (النازعات:
30)
|
أَئِنَّكُمْ
لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ (فصلت: 9) إِلَى قَوْلِهِ: طَائِعِينَ (فصلت:
11)
|
3.
|
|
وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
|
4.
|
Contoh
lainnya yaitu dari hadis yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud, ketika diturunkan ayat
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ umat muslim merasa keberatan, mereka berkata “Siapa di
antara kita yang tidak pernah menzalimi diri sendiri, wahai Rasulullah?”
Rasulullah Saw menjawab, “Kezaliman pada ayat ini bukan seperti yang kalian
pahami, ‘sesungguhnya kezaliman yang dimaksud adalah syirik.’ Apakah kalian tidak pernah membaca perkataan Luqman
kepada anaknya ketika ia menasihatinya[29] وَإِذْ قَالَ
لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ[30]
Sebab-Sebab
Adanya Ikhtilaf pada Ayat-Ayat Musykil
1)
Adanya berbagai informasi yang berbeda, misalnya ayat-ayat tentang penciptaan Adam As, dalam surat Alu
Imran : 59 disebutkan bahwa Adam As diciptakan dari tanah, ayat lainnya
menyebutkan Adam diciptakan dari lumpur hitam yang diberi bentuk (lihat QS. Al-Hijr: 26),
tanah liat (lihat QS.
Al-Shaffat: 11), tanah kering seperti tembikar (lihat QS. Al-Rahman: 14).
Semua lafaz-lafaz tersebut memiliki
makna yang berbeda, namun maksudnya kembali pada elemen yang sama, yaitu tanah.
2)
Perbedaan Tempat, Allah Swt berfirman:
وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ
“Dan tahanlah mereka (di
tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS. al-Shaffat: 24)
فَلَنَسْأَلَنَّ
الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai
umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami
akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (QS. al-A’raf: 6)
فَيَوْمَئِذٍ
لَا يُسْأَلُ عَنْ ذَنْبِهِ إِنْسٌ وَلَا جَانٌّ
“Pada waktu itu manusia dan jin tidak
ditanya tentang dosanya.” (QS. Al-Rahman: 39)
Ayat pertama
merupakan pertanyaan mengenai tauhid dan kepercayaan kepada Rasul sedangkan
ayat kedua merupakan ketetapan mengenai kenabian yang merupakan syariat agama
dan cabang-cabangnya.[32]
Ayat-ayat di atas
bertentangan disebabkan perbedaan tempat, karena di akhirat terdapat berbagai
tempat, di tempat yang satu manusia akan ditanya, sedangkan di tempat lain
tidak.
Pendapat lain
menyatakan bahwa ayat
pertama dan kedua merupakan pertanyaan mengenai teguran dan celaan, sedangkan
ayat ketiga menyatakan tidak ada pertanyaan mengenai alasan dan hujjah.[33]
3)
Perbedaan Dua Arah Kata Kerja
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ
إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu
yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu
yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS. Al-Anfal: 17)
Kata
قتل (membunuh) disandarkan
kepada kalian (muslimin), sedangkan kata رمي
(melempar)
disandarkan kepada Nabi Saw, hal ini disebabkan perbedaan usaha yang dilakukan
antara Rasulullah Saw dan muslimin. Adapun nafyu fi’il pada ayat ini
menjelaskan karena kemurahan dan keagungan Allah lah Rasulullah Saw dan umat
muslim mampu membunuh dan mengalahkan musuh.[34]
4)
Perbedaan Hakikat dan Majas
وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى
“Dan kamu lihat manusia dalam keadaan
mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk.” (QS. Al-Hajj: 2)
وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى
mabuk pada kalimat ini bermakna ketakutan pada hari kiamat (diartikan dengan
makna konotatif/majaz), sedangkan وَمَا هُمْ بِسُكَارَى berarti khamar secara
hakiki (denotatif).
5)
Terdapat Dua Maksud dan Pertimbangan (Bi Wajhain wa I’tibarain)
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا
بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan
hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra’d: 28)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ
عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2)
Banyak orang yang menganggap الطمأنينة antonim الوجل. الطمأنينة Adalah kelapangan dada dan pengetahuan akan tauhid, sedangkan الوجل
adalah takut akan keraguan dan hilangnya petunjuk.[35]
Dua pengertian ini terangkum dalam firman Allah Swt dalam surat al-Zumar: 23:
تَقْشَعِرُّ
مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ
وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka di waktu mengingat Allah.” (QS. Al-Zumar: 23)
6). Perbedaan
Qiro'at. Beberapa sahabat
berikhtilaf mengenai suatu ayat, Ibnu Abbas membaca (وَادكر بعد أمه), sedangkan yang lainnya
membaca بعد أمة)).
Aisyah membaca إذ تَلِقٌونه,
sedangkan yang lainnya membaca إذ تَلِقٌونه.[36]
Urgensi Mempelajari
Ilmu Musykil al-Qur’an
Di antara manfaat mempelajari Ilmu Musykil al-Qur’an
adalah:[37]
1. Menambahkan keimanan.
Ketika kita mampu membaca al-Qur’an disertai dengan pemahaman artinya, maka
hati kita akan menjadi tenang dan keimanan akan semakin bertambah.
2. Menentang pendapat
kaum Atheis. Orang-orang kafir dan atheis menganggap terdapat ayat-ayat al-Qur’an
yang saling bertentangan. Melalui ilmu musykil al-Qur’an kita dapat
terhindar dari keraguan pada ayat-ayat al-Qur’an.
Penutup
Pada
hakikatnya, tidak terdapat perbedaan ataupun kesalahan dalam al-Qur'an, yang
ada hanyalah perbedaan pola pikir manusia dalam memahami apa yang telah Allah
wahyukan. Karena al-Qur'an menggunakan Bahasa Arab yang kaya akan makna.
Kemusykilan
pada ayat al-Qur'an bermacam-macam, mulai dari perbedaan qiroat,
ayat-ayat mutasyabihat, pertentangan ayat yang satu dengan yang lainnya,
hingga penggunaan bahasa yang jarang digunakan. Maka dari itu, adakalanya suatu
ayat musykil bagi seorang ulama, namun tidak musykil bagi ulama
yang lainnya.
Penulis
menyetujui adanya ayat-ayat musykil dalam al-Qur'an. Bukan berarti ada
kesalahan dalam al-Qur'an, melainkan kita yang harus lebih banyak megaji lagi
ayat-ayat dalam al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Qutaibah,
Ibnu. 1973. Takwil Muskil al-Qur’an.
Cairo: Maktabah Dar al-Turats
al-Maliki, Muhammad bin Alawi. 2015. Zubdat al-Itqan fii Uluum al-Qur’an. Beirut:
Dar al-Kotob al-Ilmiyah
Jalal, Abdul. 2008. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu
al-Manshur,
Abdullah bin Muhammad. 1426 H. Musykil al-Qur’an al-Karim. Cairo
: Dar Ibnu al-Jauzi
az-Zarkasy, Abu
Abdillah. 1957 H. Al-Burhaan fii Uluumil Qur’an. Beirut : Dar Ihya al-Kutub
al-Bukhari, 1422
H. Shahih al-Bukhari. Beirut : Dar Thouq an-Najat
[1] Ibnu Qutaibah al-Dinawari, Takwil
Musykil al-Qur’an, (Cairo: Maktabah Dar al-Turats, 1973), Juz
1, h.2
[7] Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad al-Mahdi, lahir
pada tahun 392 H dan wafat pada 463 H. Ia merupakan seorang alim, mufti, hafiz
dan muhaddis. Beberapa gurunya yaitu al-Qadhi Abu Abdillah al-Qodho’i dan Abi
Nu’aim al-Hafiz (Mausu’ah Mawaqifus Salaf fil aqidah wal manhaj wat tarbiyah)
[10] Syamsul
Wathani "Epistemologi Ta’wil al-Qur’an: Sistem Interpretasi al-Qur’an
menurut Ibnu Qutaibah”. Journal of Qur’an and Hadith Studies. Vol. 4 No. 1,
2015, h. 26-27
[13] QS Al-Anfal : 33
[14] QS Al-Anfal : 34
[15] QS An-Naba : 9
[17] Abdullah bin Muhammad al-Manshur, Musykil al-Qur’an al-Karim, (Cairo : Dar Ibnu al-Jauzi, 1426 H), h.34-35
[23] Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf Al-Qursyi
al-Hasyimi Abul Abbas al-Madani. Merupakan sepupu Nabi Saw yang sangat alim
mengenai al-Qur’an, wafat di Thaif pada 68 H. (Ruwatu Tahdzibain)
[29] Diriwayatkan
oleh beberapa mukharij diantaranya Abu Daud (No 288), Ahmad (4031), Syafi’i
(334), Ibnu Hibban (253), Thabrani (2329), Tirmidzi (3067), Baihaqi (20742)
[30] QS Luqman : 13
[31] Abu Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhaan fii Uluumil Qur’an, (Beirut:
Dar Ihya al-Kutub, 1957), Cet 1, h.54
[un1]footnote
Komentar
Posting Komentar