Ciputat, Rabu 27 April 2016
Rabu itu aku
masih menatap wajahnya, wajah dari sosok yang begitu aku kagumi. Seperti biasa,
beliau berdiri di shaf paling depan di waktu Dzuhur itu, mengimami shalat
jama’ah, suaranya lantang mengumandangkan takbir di setiap gerakannya. Seusai
shalat beliau berdiri menatap halaman melalui jendela aula dengan tatapan yang
cukup lama, seakan tak akan pernah lagi melihat halaman kecil itu, tatapan yang
begitu khusyu tanpa sepatah kata sedikitpun, aku terus memperhatikannya hingga
tubuhnya melangkah dan hilang di ambang pintu rumahnya.
Entah mengapa,
hari itu aku sangat menanti shalat jamaah bersama beliau, namun sayang di waktu
Ashar beliau tak mengimami shalat jama’ah, “Sepertinya beliau sedang pergi”,
gumamku. Begitu pula waktu Maghrib dan Isya, beliau tak juga mengimami shalat
jama’ah, ternyata beliau mengisi pengajian di Masjid Sunda Kelapa.
Seusai mudzakarah,
diadakan sidang munaqosyah santri kelas akhir, jika munaqosyah selesai
kami selalu ramai dengan sorak-sorak bahagia, namun malam itu Musyrifah
mengingatkan kami agar tidak berisik karena Bapak sedang tidak enak badan dan
butuh istirahat. Kediaman bapak yang tepat berada di samping asrama kami tentu
saja membuatnya sering terganggu dengan suara-suara ramai kami.
Ciputat, 28 April 2016
Keesokan
harinya, tepatnya Kamis 28 April 2016, suasana shubuh yang sama, kami menunaikan
shalat jama’ah, namun lagi-lagi tak diimami bapak, bapak masih tidak enak badan.
Shubuh itu giliran kelasku mengaji Bukhori-Muslim bersama Pak Yai, namun
sayang, dengan kondisinya yang sedang buruk beliau tidak bisa mengajar shubuh
ini, halaqoh fajriyah pun digantikan dengan musyrifah.
Saat halaqoh
berlangsung, seorang musyrifah berlarian lalu berkata “Bapak sakit,
dibawa ke rumah sakit” ujarnya dengan ekspresi panik. Kami pun langsung
mendoakan beliau agar diberikan kesembuhan.
Bapak, di usiamu
yang semakin bertambah, engkau mudah sekali lelah dan terserang penyakit.
Bahkan mulai tahun ajaran baru ini engaku mengajar di aula karena untuk
berjalan di waktu shubuh ke area putra lumayan sulit dengan penglihatan yang
mulai terganggu, engkau juga membutuhkan lampu belajar untuk membaca kitab,
namun tetap saja kau gagah dan tegas meski usiamu semakin bertambah.
Aku jadi
teringat perkataan beliau saat sedang berkumpul dengan kami, “Usiaku saat
ini adalah satu tahun lebih dari usia Rasulullah Saw ketika wafat.” Ya
Bapak, usiamu sudah semakin bertambah, rambutmu mulai memutih, dan tubuhmu
mulai mudah lelah.
Seusai halaqoh
fajriyah, aku melaksanakan shalat dhuha, teringat pesan beliau setiap
selesai mengaji “Sholluu rok’atain”. Dengan sigap aku pun berwudhu,
kemudian mulai melantunkan ayat-ayat dhuha di dalam shalat sunnah itu.
Namun, di
pertengahan shalat, tampak santriwati masuk dengan ekspresi panik dan berlari “Bapak,
bapak meninggal”. Suara yang cukup keras itu mengagetkanku, ingin rasanya
membatalkan shalat ini. Namun dengan memantapkan hati aku tetap lanjutkan
shalatku meski dengan terburu-buru.
Entah mengapa
tubuhku terasa lemas mendengar berita yang bagaikan petir di pagi hari itu. Air
mata tak mampu lagi ku bendung, aku berlari menanyakan kepastian itu kepada
santriwati yang lain.
Innalillahi wa
Inna Ilaihi Raaji’un.
Pagi itu suasana
yang tak pernah ada sebelumnya terjadi, dengan sigap santriwan dan santriwati
melantunkan surat yasin, dilanjutkan dengan hataman Al-Qur’an. Hari ini bukan
hari minggu yang biasanya diadakan tasmi’an, namun suara lantunan
Al-Qur’an di mikrofon terdengar di sekeliling Darus Sunnah.
Hari ini tak ada acara besar,
namun karpet merah dihamparkan di aula..
Hari ini, entah mengapa beberapa
santri menggali sebidang tanah di belakang Masjid Muniroh.
Hari ini, Bapak berada di shaf
paling depan, namun kali ini berbeda, Bapak berada lebih depan dari imam.
Hari ini karangan-karangan bunga
yang indah terhampar di setiap sisi jalan menuju rumah Bapak.
Aku sangat menyukai bunga, namun
entah mengapa, melihat bunga-bunga itu kali ini membuat hatiku begitu terenyuh,
entah mengapa bunga-bunga itu tak terlihat indah kali ini.
Hari ini aku melihat air mata
setiap orang di sana berjatuhan, isak tangis terdengar di setiap sudut ruangan.
Ada apa dengan hari ini? Ya
Allah, sungguh aku tak mempercayainya...
Bapak,. Allah begitu
menyayangimu, Allah rindu kepadamu, Allah ingin bertemu denganmu..
Oh Bapak, aku tahu, mana mungkin
engkau menolak bertemu dengan penciptamu yang begitu engkau cintai..
Bapak,. Belum sempat anakmu ini
melihatmu hari ini, melihat senyummu di pagi hari ini
Bapak,. Seharusnya kami bisa
menatap wajahmu di halaqoh pagi ini,.
Oh hati berhentilah mengingkari
ketentuan Allah, Hei mata berhentilah mengeluarkan butir-butir air ini, In Syaa
Allah bapak berada di tempat yang lebih baik.
Kenangan
denganmu begitu banyak Bapak, meskipun baru satu tahun menetap di pondok “Darus
Sunnah” ini. Teringat saat engkau menyuruhku membaca di suatu pagi, seperti
biasa, Bapak selalu menanyakan “Masmuki?” “Fera ustad”, “Min aina ji.ti ya
Fera?”, “Min Bekasi”, “Min Bekasi? Lau ji’ti min Yogya saufa ismuki Piro,
Ta’rif ma’na Piro?”. Tiba-tiba kenangan itu terngiang-ngiang di kepalaku.
Di waktu lain,
aku sangat mengantuk di suatu halaqoh pagi, aku pun keluar kelas untuk
berwudhu, namun terdengar suara Bapak mengomentari orang-orang yang pergi ke
kamar mandi saat halaqoh. Belum sempat wudhu, aku buru-buru mencuci muka
kemudian kembali ke aula, Bapak pun langsung menyodorkanku pertanyaan, “Masmuki?” “Fera ustad”, “Min aina anti ya
Fera?”, “Min Hammam Ustadz”. “Ooh Ji’ti min hammam?” Suara tawa terdengar
dari orang-orang sekelas dan juga bapak, dengan wajah malu aku hanya terbisu,
Bapak bermaksud menanyakan asal tempat tinggalku, ko malah jawab dari kamar
mandi -_-
Teringat pula
ucapan bapak yang selalu menyemangati untuk menulis “Wa Laa tamuutunna illa
wa antum kaatibun”. Dan nasihat yang selalu beliau ulang-ulang “Anaa
abuukum, wa antum abnaa’i jamii’an, Istaqim fi ad-diroosah wa shalaati
al-jama’ah.” (Saya adalah bapak kalian, dan kalian semua adalah
anak-anakku, istiqomahlah dalam pembelajaran dan shalat jama’ah).
Bapak, banyak
sekali nasihat-nasihat yang engkau ucapkan, engkau selalu membimbing kami
bahkan dalam hal sekecil apapun. Rasanya tak akan selesai bila menulis nasihat
dan kebaikanmu.
Bapak, kami tak akan lagi melihat
sosokmu berdiri di atas sajadah merah
Bapak, kami tak bisa lagi
melihatmu di shaf paling depan, di bawah kipas angin, tempat engkau biasa
bersujud
Bapak, kami tak akan lagi
melihatmu duduk di kursi kayu sambil mengajarkan kitab Shahih Bukhari Muslim.
Entah bagaimana
kami tanpamu bapak, kami masih cengeng, masih saja mengucurkan air mata hingga
kini. Bapak, seharusnya kami menyadari bahwa engkau tentu berada di tempat yang
lebih baik, bertemu dengan ulama-ulama yang begitu kau kagumi, bertemu dengan
Rasulullah Saw yang sangat engkau rindukan, bertemu dengan Allah yang selalu
kau cintai.
Bapak, sudah
waktunya kami mengikhlaskan kepergianmu, kesedihan seperti apapun tak bisa
membuatmu kembali di tengah-tengah kami, namun kami selalu percaya bahwa engkau
tetap hidup, karena engkau salah satu syuhada bapak, kami yakin itu, dan
syuhada akan tetap hidup di sisi tuhan, sebagaimana firman Allah “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran 169) Bapak, aku yakin engkau berada di tempat
yang baik, bersama orang-orang yang engkau cintai dan rindukan.
Bapak,
semoga anak-anakmu ini senantiasa tabah menjalani terjalnya tantangan zaman
tanpamu, semoga kami mampu meneruskan perjuangan dakwahmu..
Selamat jalan bapak, kami
mencintaimu, kami akan sangat merindukanmu.
Semoga kami bisa bertemu lagi di
suatu tempat, surga firdaus yang sering engkau bicarakan..
Phey
Ciputat, Kamis, 28 April 2016, 23.38
WIB
Komentar
Posting Komentar