Rasulullah Saw diutus di tengah-tengah bangsa jahiliyah yang tidak mengenal baca tulis. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS Al-Jumu’ah ayat 2:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (2) وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata
Praktik jurnalistik telah dilakukan di masa Nabi Saw, yakni melalui pencatatan Al-Qur’an di berbagai media seperti kayu, batu, pelepah kurma, tulang dll. Saat itu, Rasulullah Saw memiliki tim pencatat wahyu yang salah satunya ialah Zaid bin Tsabit.
Praktik jurnalistik Islam terus berlanjut hingga ke masa khilafah. Pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali informasi disampaikan dalam bentuk surat yang dikirimkan oleh seorang utusan.
Meskipun praktik jurnalistik Islam sudah dilaksakan dari masa Nabi Saw, namun hingga saat ini belum ada wacana untuk membentuk jurnalistik Islam yang benar-benar murni tanpa dikaitkan dengan suatu golongan. Meskipun telah banyak media-media Islam yang muncul, namun semuanya masih terikat pada partai atau golongan tertentu.
Jika kita menapak tilas sejarah tumbuhnya juralistik Islam, yang akan kita dapatkan hanyalah puing-puing tanpa ada bekas yang dapat dijadikan dasar bagi kelanjutannya. Penyebab utamanya adlaah jurnalistik Islam tidak pernah dijadikan suatu lembaga yang menjadi tumpuan umat.[17]
Namun ada beberapa penerbitan yang ditujukan kepada kaum muslimin, namun tanpa komitmen demi kepentingan umat Islam atau agama Islam. Misalnya, Muslim World Review yang diterbitkan oleh seorang Kristen dari Amerika Serikat, merupakan media tentang masyarakat muslim, namun media ini sama sekali tidak bisa diklasifikasikan sebagai pers Islam. Begitu juga dengan surat kabar Hurriyat di Istambul Turki yang diterbitkan terutama oleh orang-orang Islam dengan pandangan dunia sekular untuk pembaca yang sebagian besar orang Islam. Ada pula bulanan muslim Soviet (sekarang bernama Rusia) yang diterbitkan oleh dewan agama Islam resmi Tashqand dalam bahasa Arab, Persia, dan empat bahasa lainnya yang berisi tentang Islam dan dunia Islam dalam perspektif sosialis merupakan penerbitan Islam, tetapi tidak banyak analis media atau pers Islam yang bersedia menerima pengakuan tersebut.
Jejak-jejak historis tentang jurnalisme (pers) Islam bisa ditelusuri. Pada tahun 1978 dalam konferensi Islam Asia di Karachi yang diselenggarakan oleh Rabithah ‘Alam Islamy diputuskan perlunya mengembangkan koordinasi di antara wartawan atau jurnalis dan pekerja media muslim untuk mengimbangi dan menandingi monopoli Barat yang dikontrol kaum Zionis atas media massa yang bertolak belakang dengan Islam dan dunia Islam. Cakupan yang dirumuskan oleh konferensi di Karachi itu amat luas.
Rumusan tersebut berarti setiap penerbitan yang dibuat oleh kaum muslimin yang memiliki komitmen untuk menandingi media Barat yang dikontrol Zionis dapat diklasifikasikan sebagai media atau pers Islam. Namun, cakupan tersebut telah dipersempit dan dikhususkan dalam konferensi internasional pertama wartawan dan pekerja media muslim di Jakarta pada bulan September 1981.[18]
[1] Kustadi Suhandang, Manajemen Pers Dakwah (Bandung: Marja, 2007), Cet.1, h.129
[2] Kustadi Suhandang, h.130
[3] Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UIN Press, 2015), Cet.1, h.17
[4] Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, h.23
[5] Huston Smith, Agama-Agama Manusia (Jakarta: Serambi, 2015), Cet.1, h.253
[6] Anton Ramdan, Jurnalistik Islam (Jakarta: Shahara Digital Publishing, 2015), Cet.1, h.344
[7] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 01, Juni 2012 | 153
[8] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam, h.153
[9] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam, h.153
[10] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet.6, h.119
[11] Kustadi Suhandang, Manajemen Pers Dakwah, h.139
[12] Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islam (Jakarta: Harakah, 2002), Cet.6, h. 64
[13] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h.121
[14] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h.122
[15] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h.122-123
[16] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h. 123
[17] Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islam, h. 92
[18] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam, h. 151
[19] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h.115
[20] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam, h. 155
[21] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam, h. 163
Komentar
Posting Komentar