A.
Pengertian Jurnalistik
Secara
etimologi, kata jurnalistik terdiri dari dua suku kata, journal dan istik.
Kata journal berasal dari bahasa Perancis yang artinya catatan harian.
Sedangkan dalam bahasa Latin dikenal diurna yang artinya hari ini. Pada
zaman kekaisaran Romawi Kuno saat diperintah Julius Caesar dikenal istilah acta
diurna yang artinya rangkaian akta (gerakan, kegiatan dan kejadian) hari
ini.[1]
Sedangkan kata istik
merujuk pada istilah estetika yang berarti pengetahuan tentang keindahan.
Keindahan yang dimaksud adalah hasil karya dari upaya mewujudkan berbagai
produk seni dan atau keterampilan. Dengan demikian, istilah jurnalistik secara
etimologi dapat diartikan sebagai karya seni dalam hal membuat catatan tentang
peristiwa yang terjadi hari itu.
Praktik jurnalistik yang berupa penyampaian
pesan komunikasi antar perorangan maupun antar pranata, kelompok atau massa
sebenarnya telah lama terjadi. Misalnya ribuan tahun sebelum masehi orang Yunani
menggunakan nyala obor sebagai isyarat untuk memberikan informasi kepada orang
yang berada jauh. Orang-orang Indian menggunakan asap untuk mengirimkan informasi
kepada rekan-rekannya. [2]
Namun pakar
sejarah mencatat bahwa kegiatan jurnalistik baru diawali pada zaman jayanya
kekaisaran Romawi Kuno di bawah kekuatan kaisar Julius Caesar. Pada masa itu
jurnalistik dilakukan oleh para budak belian yang diperintahkan majikannya untuk
mengutip informasi tentang segala peristiwa yang berkaitan dengan status atau
usaha majikannya yang diberitakan dalam acta diurna yang dipasang di Forum
Romanum (Stadion romawi). Awalnya tugas itu hanya dilakukan oleh para budak
belian, namun seiring dengan kebutuhan masyarakat akan berita, kutipan itu
kemudian diperbanyak dan dijual atas prakarsa para budak tersebut. Para budak
belian yang melakukan pekerjaan itu disebut diurnarius (tunggal) atau diurnarii
(jamak).
Sangat boleh
jadi istilah jurnalis pun berasal dari bunyi istilah diurnarius atau diurnarii
yang pada hakikatnya mengandung arti orang yang mencari dan mengolah
(mengutuip dan memperbanyak) informasi untuk kemudian dijual kepada yang
membutuhkan.
B.
Jurnalistik Islam
Jurnalistik
semakin berkembang dari masa ke masa. Dimulai dari lembaran peristiwa yang pada
zaman kekaisaran Romawi Kuno disebut acta diurna, hingga masa
jurnalistik modern yang berbasis internet. Jurnalistik juga bukan hanya berkembang
melalui sarana saja, melainkan juga dari ilmu jurnalistik itu sendiri. Oleh
karena itu, para pakar jurnalistik mulai mengembangkan cabang-cabang ilmu
jurnalistik, mulai dari jurnalistik liberal, jurnalistik komunis, hingga
jurnalistik Islam.
Sejak dahulu,
manusia telah mengakui bahwa ada kekuatan supranatural yang mengatur alam
semesta ini. Oleh karena itu, manusia mulai mencari tuhan dan beragama. Agama
adalah suatu ajaran yang menuntun umat manusia ke jalan kebenaran.[3]
Sigmund Freud mengakui bahwa agama adalah kebutuhan psikologis manusia.[4]
Praktik agama tergolong sakral meskipun kadang tidak bisa dimengerti oleh
logika. Namun agama memiliki tempat yang tinggi bagi pemeluknya. Seseorang yang
menjungjung tinggi agama akan tetap kokoh menjalankan kewajiban agamanya serta
menjauhi larangannya.
Kata Islam
berasal dari kata salam yang artinya “kedamaian”, atau bisa pula
bermakna “pasrah”. Karena itu, konotasi penuh kata tersebut adalah kedamaian
yang terjadi karena seseorang memasrahkan atau menyerahkan hidupnya kepada
tuhan.[5]
Ajaran Islam
diyakini mampu menjadi solusi bagi berbagai persoalan jurnalistik yang dipenuhi
kebohongan dan ujaran kebencian. Hal ini karena ajaran Islam bersifat universal
dan rahmatan lilalamin. Dengan adanya jurnalistik Islam, diharapkan akan
tercipta jurnalisme yang jujur, damai dan menebar rahmat.
Jurnalistik
Islam adalah jurnalistik yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai
Islam.[6] Jurnalisme
Islam merupakan praktik jurnalistik yang dilaksanakan oleh penganut agama Islam
dengan didasari dua pedoman utama umat Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis.
Belum ada definisi
baku mengenai jurnalistik islam, namun sejumlah pakar komunikasi dan budayawan muslim mencoba
memberikan definisi atau pengertian jurnalisme (pers) Islam agar memudahkan
pemahaman dan tidak menimbulkan kekeliruan pemaknaan. Emha Ainun Nadjib (Cak
Nun) mendefinisikan jurnalistik (pers) Islam adalah sebuah teknologi dan
sosialisasi informasi (dalam kegiatan penerbitan tulisan) yang mengabdikan diri
kepada nilai-nilai agama Islam bagaimana dan ke mana semestinya manusia,
masyarakat, kebudayaan, dan peradaban mengarahkan dirinya (Kasman, 2004: 50).[7]
Sedangkan Abdul
Muis mendefinisikan jurnalisme (pers) Islam adalah menyebarkan (menyampaikan)
informasi kepada pendengar, pemirsa atau pembaca tentang perintah dan larangan
Allah Swt (Muis 1989: 5). Sementara itu
Dedy Djamaluddin Malik mendefinisikan jurnalisme (pers) Islam adalah proses
meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang menyangkut umat
Islam dan ajaran Islam kepada khalayak.[8]
Berdasarkan
sejumlah definisi yang dikemukakan oleh para ahli dan pakar komunikasi di atas,
dapat disimpulkan bahwa jurnalistik (pers) Islam adalah suatu proses meliput,
mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa atau informasi dengan muatan
nilai-nilai Islam dan mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik atau norma-norma yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.[9]
Jurnalistik
Islam juga dapat dimaknai sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang
berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai-nilai Islam. [10] Jurnalistik Islam mengemban misi ‘amar
ma’ruf nahyi munkar, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS Alu
Imran ayat 3:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ
أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada sebagian di antara
kamu sekelompok orang yang senantiasa mengajak kepada kebaikan, memerintahkan
yang ma’ruf dan mencegah munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dedi
Djamaluddin Malik menyebut jurnalistik Islam sebagai crusade journalism,
maksudnya jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai Islam. Karena menjunjung
tinggi konsep amar ma’ruf nahyi munkar, maka ciri khas jurnalistik Islam
adalah menyebarluaskan informasi tentang perintah dan larangan Allah Swt.
Jurnalistik
Islam tentu membutuhkan dasar-dasar teoritis yang kokoh, Al-Qur’an secara rinci
telah menyebutkan kode etik jurnalistik Islam, diantaranya:
1.
Perintah berkata yang benar
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar (QS
Al-Ahzab: 71)
2.
Perintah berlaku adil
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (QS
An-Nisa: 58)
Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil,
kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (QS Al-An’am:152)
3.
Perintah
berlaku amanah
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS
Al-Anfal: 27).
4.
Perintah menyebarkan kebenaran dan keadilan
Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah:8)
5.
Perintah
tabayyun (cek dan ricek)
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.
(Al-Hujarat: 6)
6. Perintah menggunakan bahasa yang santun dan bijaksana agar apa yang
disampaikannya dapat dimengerti, dirasakan dan menjadi hikmat bagi khalayak
Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia
7.
Larangan menyebarkan informasi buruk yang bersifat mencela atau
mengumpat
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang
lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan
itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.
Kecelakaanlah
bagi setiap pengumpat lagi pencela (Al-Humazah:1)
Allah
tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh
orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (An-Nisa:148)
8.
Larangan berlaku curang
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (QS Al-Muthafifin:1)
9. Larangan
merugikan orang lain
Dan
janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela
di muka bumi dengan membuat kerusakan (QS
Asy-Syu’ara:183).[11]
Jurnalistik
Islam menghindari berbagai unsur yang mengarah pada pornografi, menjauhkan
promosi kemaksiatan atau hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam,
seperti kebohongan, fitnah dll. Jurnalistik Islam hadir untuk memengaruhi
khalayak melalui konten-konten bermanfaat, jujur, sejuk dan damai.
Secara umum,
jurnalistik-pers (media massa) mempunyai peran dan fungsi penting dalam
masyarakat, yaitu:[12]
1.
Fungsi memberikan informasi dan pendidikan massal
2.
Fungsi memberikan hiburan
3.
Fungsi melakukan pengawasan oleh masyarakat (social control).
[1] Kustadi Suhandang, Manajemen Pers Dakwah (Bandung: Marja, 2007),
Cet.1, h.129
[2] Kustadi Suhandang, h.130
[3] Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet.1, h.17
[4] Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, h.23
[5] Huston Smith, Agama-Agama Manusia (Jakarta: Serambi, 2015),
Cet.1, h.253
[6] Anton Ramdan, Jurnalistik Islam (Jakarta: Shahara Digital
Publishing, 2015), Cet.1, h.344
[7] Hakim Syah, Jurnal
Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 01, Juni 2012 | 153
[8] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 01, Juni
2012 | 153
[9] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 01, Juni
2012 | 153
[10] Asep Syamsul, Jurnalistik
Praktis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet.6, h.119
[11] Kustadi Suhandang, Manajemen Pers Dakwah, h.139
[12] Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islam (Jakarta: Harakah, 2002),
Cet.6, h. 64
[13] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h.121
[14] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h.122
[15] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h.122-123
[16] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h. 123
[17] Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islam, h. 92
[18] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 01, Juni
2012 | 151
[19] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis, h.115
[20] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 01, Juni
2012 | 155
[21] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 01, Juni
2012 | 163
[22] Hakim Syah, Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 01, Juni
2012 | 159
Komentar
Posting Komentar