Langsung ke konten utama

Sebuah Perbedaan (Part II)


Kak, emang kakak boleh sama orang Jawa?

Pertanyaan itu tiba-tiba terlontarkan dari mulut kawanku, membuyarkan lamunanku dalam sekejap. Saat itu kami sedang makan berdua di sebuah mall. Sambil mengaduk-ngaduk makanan di depanku, aku pun mulai menceritakan keluh kesahku.

Kawan di hadapanku tentu mengerti betul perasaanku, karena dia pun merasakan hal yang sama. Ia perempuan berdarah Jawa yang sedang dekat dengan laki-laki keturunan Sunda.

Permasalahanku sebetulnya lebih kompleks, bukan hanya dari pihakku saja. Si dia pun begitu, aku tahu betul nasihat yang diucapkan Pak Leknya “Jangan sama orang Betawi ya”.

Saat aku berkunjung kesana, berbagai pertanyaan mulai dihujamkan kepadaku. Kadang justru membuatku semakin minder. Tetapi hingga saat ini semuanya masih baik-baik saja.

Kawanku yang lain pun begitu, ia yang berasal dari Lampung punya hubungan dengan laki-laki berdarah Betawi. Ibunya pun melarangnya.

Suatu hari saya pernah membaca postingannya “Semakin paham kenapa nyokap gue ngelarang nikah sama orang yang beda pulau”. Saatku tanya apakah dia putus? Jawabannya tidak, hubungannya tetap dilanjutkan meskipun belum mendapat restu orangtua.

Beberapa golongan masyarakat masih memegang teguh kemurnian suku dan budaya. Misalnya masyarakat Madura yang lebih memilih pasangan yang juga bersuku Madura, bahkan tidak jarang ada yang menikah dengan keluarganya sendiri untuk menjaga kemurnian suku dan kasta, misalnya menikah dengan sepupu.

Kasus yang sama banyak terjadi pada kawan-kawanku, itu baru konflik karena perbedaan suku. Belum lagi konflik karena perbedaan kasta. Perbedaan antara si miskin dan si kaya, si terhormat dan orang biasa, atau si bodoh dan si pintar. Berbagai konflik muncul dari "perbedaan".

Perkara menikah memang bukan hal sepele, itu bukan tentang menyatukan dua hati, tetapi menyatukan dua keluarga. Jika dua orang kekasih bisa saling memaklumi perbedaan, lalu apakah dua keluarga bisa memaklumi hal yang sama?

Aku teringat ucapan dosenku saat di kelas dulu. Zaman sekarang semakin susah menentukan latar belakang suku seseorang. Ya itu, karena orangtuanya blasteran, blasteran dari suku yang berbeda. Alhasil anaknya jadi bingung dikategorikan sebagai suku apa.

Di suatu kesempatan lain, seseorang menasihatiku "Kalau cari pasangan jangan yang jurusannya sama. Kalau kamu ambil jurusan yang agama, ya pasanganmu jangan". 

Kalau difikir-fikir bener juga sih, kalau dari jurusan yang sama kurang variatif juga, apalagi sama temen sekelas atau sejurusan ya.

Kita butuh keduanya "Persamaan dan perbedaan". Melalui persamaan kita dipertemukan, melalui persamaan juga kita bisa berdiskusi dan melakukan hal yang sama bersama. Bukankah karena punya persamaan kita bisa nyambung ngobrol dengan orang lain?

Tetapi hidup tak cukup dengan persamaan. Kita juga membutuhkan perbedaan, karena perbedaan mengajarkan kita berbagai hal baru, serta mengajarkan kita untuk saling memahami, memahami perbedaan itu sendiri.

Ya, bukankah tuhan menciptakan semua orang dengan perbedaan? Bukankah tidak ada satu pun orang yang sama? Bahkan meskipun dia terlahir sebagai anak kembar. Jadi, bukankah perbedaan itu indah? Lalu, bisakah kita saling menerima perbedaan?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Hadith Berdasarkan Jumlah Perawi dan Cara Penyampaiannya

BAB I PENDAHULUAN                    I.             Latar Belakang Hadits merupakan pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an, maka dari mempelajarinya merupakan suatu kebutuhan. Untuk memahami hadits diperlukan adanya ilmu dasar yang disebut dengan Mustholah Hadits. Berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat qoothi’ul  wuruud, hadits bersifat dzhonniyul wuruud , sehingga hadits memiliki derajat yang berbeda-beda. Salah satu pembahasan dalam ilmu hadits adalah klasifikasi hadits berdasarkan jumlah perawi yang meriwayatkannya. Semakin banyak periwayat yang meriwayatkan, maka semakin besar juga kemungkinan Klasifikasi ini dibagi menjadi dua, yaitu hadits yang mutawatir dan hadits ahad . Hadits ahad terbagi lagi menjadi tiga yaitu masyhur , aziz dan ghorib. Adanya klasifikasi ini untuk membantu ulama hadits dalam menentukan apakah k...

Ibnu Qutaibah dan Ilmu Musykil al-Qur’an: Dialektika antara Akal dan Teks

Pendahuluan Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang membuat a l-Qur’an, tentu saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al -Nisa ayat 82: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur ’ an? Kalau kiranya al- Qur ’ an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat i pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. Al-Nisa’: 82) Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an ( musykil al-qur’an ), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan dalam pembahasan ilmu hadis ( mukhtalaf al-hadits ). Hal ini dikarenakan a l-Qur’an adalah haq , tidak ada pertentangan di dalamnya, berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian, tidak semua ayat a l-Qur’an dapat dipahami secara lang...

Sunnah-Sunnah Sholat Menurut para Imam Madzhab

Shalat merupakan  kewajiban seorang muslim kepada Tuhannya, Allah. Ibadah inilah yang paling pertama akan dihisab di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: إِنَّ أَوَّلَ مَايُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاة “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah sholatnya.” Nah, sudahkah kita memahami betul perkara-perkara sholat? Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu yang pernah saya pelajari ketika belajar di TMI Pesantren Modern Daarul Uluum Lido dalam kitab “Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah” (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hanbali) karya Abdurrahman Al-Jaziri. Terkadang kita menyepelekan dan mengabaikan perkara-perkara sunnah dalam sholat, memang kita tidak berdosa jika meninggalkan perkara sunnah, namun hal ini tentu akan merugikan kita. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sunnah-sunnah shalat, Allah SWT tidak m...