Kak, emang kakak boleh sama orang Jawa?
Pertanyaan itu tiba-tiba terlontarkan dari mulut kawanku, membuyarkan
lamunanku dalam sekejap. Saat itu kami sedang makan berdua di sebuah mall. Sambil
mengaduk-ngaduk makanan di depanku, aku pun mulai menceritakan keluh kesahku.
Kawan di hadapanku tentu mengerti betul perasaanku, karena
dia pun merasakan hal yang sama. Ia perempuan berdarah Jawa yang sedang dekat
dengan laki-laki keturunan Sunda.
Permasalahanku sebetulnya lebih kompleks, bukan hanya dari
pihakku saja. Si dia pun begitu, aku tahu betul nasihat yang diucapkan
Pak Leknya “Jangan sama orang Betawi ya”.
Saat aku berkunjung kesana, berbagai pertanyaan mulai
dihujamkan kepadaku. Kadang justru membuatku semakin minder. Tetapi
hingga saat ini semuanya masih baik-baik saja.
Kawanku yang lain pun begitu, ia yang berasal dari Lampung
punya hubungan dengan laki-laki berdarah Betawi. Ibunya pun melarangnya.
Suatu hari saya pernah membaca postingannya “Semakin paham
kenapa nyokap gue ngelarang nikah sama orang yang beda pulau”. Saatku tanya
apakah dia putus? Jawabannya tidak, hubungannya tetap dilanjutkan meskipun
belum mendapat restu orangtua.
Beberapa golongan masyarakat masih memegang teguh kemurnian suku dan budaya. Misalnya masyarakat Madura yang lebih memilih pasangan yang juga bersuku Madura, bahkan tidak jarang ada yang menikah dengan keluarganya sendiri untuk menjaga kemurnian suku dan kasta, misalnya menikah dengan sepupu.
Kasus yang sama banyak terjadi pada kawan-kawanku, itu baru konflik karena perbedaan suku. Belum lagi konflik karena perbedaan kasta. Perbedaan antara si miskin dan si kaya, si terhormat dan orang biasa, atau si bodoh dan si pintar. Berbagai konflik muncul dari "perbedaan".
Perkara menikah memang bukan hal sepele, itu bukan tentang menyatukan dua hati, tetapi menyatukan dua keluarga. Jika dua orang kekasih bisa saling memaklumi perbedaan, lalu apakah dua keluarga bisa memaklumi hal yang sama?
Aku teringat ucapan dosenku saat di kelas dulu. Zaman sekarang semakin susah menentukan latar belakang suku seseorang. Ya itu, karena orangtuanya blasteran, blasteran dari suku yang berbeda. Alhasil anaknya jadi bingung dikategorikan sebagai suku apa.
Di suatu kesempatan lain, seseorang menasihatiku "Kalau cari pasangan jangan yang jurusannya sama. Kalau kamu ambil jurusan yang agama, ya pasanganmu jangan".
Kalau difikir-fikir bener juga sih, kalau dari jurusan yang sama kurang variatif juga, apalagi sama temen sekelas atau sejurusan ya.
Kita butuh keduanya "Persamaan dan perbedaan". Melalui persamaan kita dipertemukan, melalui persamaan juga kita bisa berdiskusi dan melakukan hal yang sama bersama. Bukankah karena punya persamaan kita bisa nyambung ngobrol dengan orang lain?
Tetapi hidup tak cukup dengan persamaan. Kita juga membutuhkan perbedaan, karena perbedaan mengajarkan kita berbagai hal baru, serta mengajarkan kita untuk saling memahami, memahami perbedaan itu sendiri.
Tetapi hidup tak cukup dengan persamaan. Kita juga membutuhkan perbedaan, karena perbedaan mengajarkan kita berbagai hal baru, serta mengajarkan kita untuk saling memahami, memahami perbedaan itu sendiri.
Ya, bukankah tuhan menciptakan semua orang dengan perbedaan? Bukankah tidak ada satu pun orang yang sama? Bahkan meskipun dia terlahir sebagai anak kembar. Jadi, bukankah perbedaan itu indah? Lalu, bisakah kita saling menerima perbedaan?
Komentar
Posting Komentar