Sejak dulu aku selalu percaya ada kekuatan spiritual dalam setiap langkah kehidupan manusia. Kalau sedang jauh dengan sang pemilik kekuatan itu, pasti ada aja urusan yang terhambat.
Aku akui, aku bukan orang pintar apalagi cerdas. Seringkali aku merasa kesulitan memahami materi pelajaran. Bahkan aku pernah sampai menangis karena tidak bisa mengerjakan soal matematika.
Saat MI dulu aku baru satu kali menyabet rangking pertama, posisiku selalu ada di rangking kedua, kalah dengan kawan jeniusku, Nurma namanya. Dia bahkan selalu berhasil membuatku envy, dia bisa melanjutkan pendidikannya ke Insan Cendikia dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Dua lembaga pendidikan yang juga aku impi-impikan.
Sedangkan aku? Setelah lulus MI aku harus melanjutkan pendidikan ke sebuah pondok pesantren. Paksaan dari kedua orangtuaku. Pernah aku marah karena nggak mau masuk pesantren, tapi ayahku malah mengancam "Mau bapak sekolahin ngga? kalau ngga mau pesantren yaudah ga usah sekolah"
Ancaman itu berhasil membuatku luluh, akhirnya aku masuk pesantren dengan "terpaksa". Sebetulnya akupun tahu ayahku juga pasti berat memasukkanku ke pesantren. Aku tahu betul cerita bahwa ayahku selalu menangis tiap malam dalam shalatnya, mendoakan anaknya yang manja ini di pesantren.
Bagaimana tidak, anak yang setiap hari diantar ke sekolah kini harus berada jauh darinya. Bahkan urusan makan saja masih disuapi meski sudah kelas enam MI. Sampai nenekku terheran dan bilang "Emang dia bisa masuk pesantren? Makan aja masih disuapin"
Tahun pertama di pesantren, pada semester pertama aku hanya bisa menempati posisi rangking kedua di kelas, tersaingi oleh teman sekelasku, Maimunah namanya. Ketika memasuki semester dua, entah mengapa aku senang berwudhu sebelum berangkat ke sekolah. Saat teman-teman asyik berdandan, aku malah melangkahkan kakiku ke kamar mandi, berwudhu. Hal itu menjadi kebiasaan, hingga aku lulus pesantren.
Saat naik kelas dua, aku sekamar dengan kawan seangkatan yang berasal dari Jampang, Sukabumi. Kawan itu bernama Resna, ia perempuan yang ceria, sederhana, rajin beribadah dan sangat baik hati. Resna berasal dari keluarga sederhana, ayahnya bekerja sebagai tukang sayur.
Berbeda dengan kami yang sering dijenguk orangtua, orangtua Resna jarang datang mengunjunginya. Kalaupun datang, itu pun hanya sebentar dan di tengah malam, sekitar pukul 01.00 WIB. Resna hanya diberi uang jajan sedikit, namun ia selalu merasa berkecukupan. Aku begitu kagum dengan kepribadian Resna, hatinya selalu merasa kaya.
Ada kebiasaan harian yang tidak pernah ditinggalkan Resna, yaitu shalat dhuha. Ketika kawan-kawan yang lain sibuk mengantri di kantin saat istirahat, Resna malah kembali ke kamar, berwudhu lalu shalat dhuha. Waktu istirahat dihabiskannya untuk bercumbu dengan tuhan.
Resna kemudian mengajakku untuk shalat dhuha, aku pun menyambut baik ajakannya itu. Aku pun mencoba membiasakan mengisi waktu istirahat dengan shalat dhuha, setiap hari, hingga saat ini. Bahkan shalat dhuha jadi terasa seperti shalat wajib, akan ada rasa yang mengganjal di hati jika meninggalkannya, rasa seperti berdosa.
Ada efek yang luar biasa setelah aku mendawamkan shalat dhuha dan berwudhu sebelum belajar. Di semester dua kelas 1 hingga aku lulus, nilaiku jadi naik, selalu di atas rata-rata. Aku selalu menyabet rangking pertama di kelas.
Di akhir tahun saat kelas 1 MTs dulu, aku hanya mampu menduduki posisi kedua santri berprestasi di angkatan. Ya, ada penilaian rata-rata tertinggi dari seluruh santri di angkatan, ketika itu ada sekitar 8 kelas.
Namun semenjak kelas dua, aku mampu meraih peringkat pertama di angkatan, selalu naik ke panggung untuk mendapat penghargaan, bahkan aku menjadi lulusan terbaik dengan nilai rata-rata yang cukup jauh dari teman-temanku. Hal yang terasa mustahil bagiku.
Sekali lagi, aku bukan orang yang pintar atau cerdas. Aku harus bersusah payah dulu untuk mendapatkan sesuatu, termasuk dalam belajar. Aku ingat betul aku sampai begadang semalaman untuk belajar nahwu. Keesokan harinya saat ujian, di saat teman-teman mulai menyerah dengan soal ujian nahwu, aku masih saja berkutat dengan soal, tak mau menyerah.
Terkadang rasanya iri sekali melihat teman-teman yang cerdas. Tanpa belajar dan berusaha banyak nilai mereka bisa tinggi-tinggi. Aku teringat temanku yang bernama Fauziyah, kami biasa memanggilnya Pa'u. Matematikanya super jago, pramukanya juga. Meskipun tidur di kelas, ia tetap saja bisa menyelesaikan soal matematika yang disodorkan di papan tulis. Sedangkan aku? Aku harus jungkir balik dulu untuk memahami soal matematika, kimia dan fisika.
Bukan cuma harus jungkir balik, aku juga harus berhadapan dengan berbagai kegagalan. Dulu saat try out pertama kelulusan aliyah aku gagal. Akhirnya aku belajar lebih giat, dan Alhamdulillah aku lulus di try out kedua bersama dengan segelintir teman yang dapat dihitung jari.
Masih banyak kegagalan yang aku hadapi, termasuk kegagalan untuk berada di tempat ku menulis tulisan ini. Namun aku selalu menikmati prosesnya. Bukankah kegagalan dan kesalahan adalah guru terhebat?
Apapun yang kuraih, aku yakin itu bukan berasal dari diriku, ada kekuatan spiritual yang melatarbelakanginya. Dan saat ini sepertinya aku sedang jauh, hingga selalu merasakan hambatan dan kesulitan. Maafkan aku Tuhan :(
Sebagaimana kisah pendidikan, begitu pula hubungan. Bukankah kekuatan spiritual itu sangat dibutuhkan?
Suatu hari aku pernah nanya gini "Kak, kakak udah istikhoroh?" Dia cuma jawab "Istikharah itu cuma buat orang yang ragu, kalau ga ragu ya ga perlu istikharah. Aku sebel sama orang yang dikit2 nyuruh istikharah. Emang kamu udah istikharah? Terus jawabannya apa?"
Aku cuma bisa senyum membaca balasan chat tersebut. Sepertinya dia terlalu rasionalis menanggapi hal itu. Bukankah yang menanamkan keraguan dan keyakinan itu Allah? Bukankah setiap perkara, meskipun hanya satu selalu terdiri dari dua hal, baik dan buruk. Lalu kenapa merasa yakin dengan hati yang bisa dibolak-balikkan dengan mudah? Lalu kenapa merasa yakin bahwa satu pilihan yang sudah ada bernilai baik?
Aku akui, aku bukan orang pintar apalagi cerdas. Seringkali aku merasa kesulitan memahami materi pelajaran. Bahkan aku pernah sampai menangis karena tidak bisa mengerjakan soal matematika.
Saat MI dulu aku baru satu kali menyabet rangking pertama, posisiku selalu ada di rangking kedua, kalah dengan kawan jeniusku, Nurma namanya. Dia bahkan selalu berhasil membuatku envy, dia bisa melanjutkan pendidikannya ke Insan Cendikia dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Dua lembaga pendidikan yang juga aku impi-impikan.
Sedangkan aku? Setelah lulus MI aku harus melanjutkan pendidikan ke sebuah pondok pesantren. Paksaan dari kedua orangtuaku. Pernah aku marah karena nggak mau masuk pesantren, tapi ayahku malah mengancam "Mau bapak sekolahin ngga? kalau ngga mau pesantren yaudah ga usah sekolah"
Ancaman itu berhasil membuatku luluh, akhirnya aku masuk pesantren dengan "terpaksa". Sebetulnya akupun tahu ayahku juga pasti berat memasukkanku ke pesantren. Aku tahu betul cerita bahwa ayahku selalu menangis tiap malam dalam shalatnya, mendoakan anaknya yang manja ini di pesantren.
Bagaimana tidak, anak yang setiap hari diantar ke sekolah kini harus berada jauh darinya. Bahkan urusan makan saja masih disuapi meski sudah kelas enam MI. Sampai nenekku terheran dan bilang "Emang dia bisa masuk pesantren? Makan aja masih disuapin"
Tahun pertama di pesantren, pada semester pertama aku hanya bisa menempati posisi rangking kedua di kelas, tersaingi oleh teman sekelasku, Maimunah namanya. Ketika memasuki semester dua, entah mengapa aku senang berwudhu sebelum berangkat ke sekolah. Saat teman-teman asyik berdandan, aku malah melangkahkan kakiku ke kamar mandi, berwudhu. Hal itu menjadi kebiasaan, hingga aku lulus pesantren.
Saat naik kelas dua, aku sekamar dengan kawan seangkatan yang berasal dari Jampang, Sukabumi. Kawan itu bernama Resna, ia perempuan yang ceria, sederhana, rajin beribadah dan sangat baik hati. Resna berasal dari keluarga sederhana, ayahnya bekerja sebagai tukang sayur.
Berbeda dengan kami yang sering dijenguk orangtua, orangtua Resna jarang datang mengunjunginya. Kalaupun datang, itu pun hanya sebentar dan di tengah malam, sekitar pukul 01.00 WIB. Resna hanya diberi uang jajan sedikit, namun ia selalu merasa berkecukupan. Aku begitu kagum dengan kepribadian Resna, hatinya selalu merasa kaya.
Ada kebiasaan harian yang tidak pernah ditinggalkan Resna, yaitu shalat dhuha. Ketika kawan-kawan yang lain sibuk mengantri di kantin saat istirahat, Resna malah kembali ke kamar, berwudhu lalu shalat dhuha. Waktu istirahat dihabiskannya untuk bercumbu dengan tuhan.
Resna kemudian mengajakku untuk shalat dhuha, aku pun menyambut baik ajakannya itu. Aku pun mencoba membiasakan mengisi waktu istirahat dengan shalat dhuha, setiap hari, hingga saat ini. Bahkan shalat dhuha jadi terasa seperti shalat wajib, akan ada rasa yang mengganjal di hati jika meninggalkannya, rasa seperti berdosa.
Ada efek yang luar biasa setelah aku mendawamkan shalat dhuha dan berwudhu sebelum belajar. Di semester dua kelas 1 hingga aku lulus, nilaiku jadi naik, selalu di atas rata-rata. Aku selalu menyabet rangking pertama di kelas.
Di akhir tahun saat kelas 1 MTs dulu, aku hanya mampu menduduki posisi kedua santri berprestasi di angkatan. Ya, ada penilaian rata-rata tertinggi dari seluruh santri di angkatan, ketika itu ada sekitar 8 kelas.
Namun semenjak kelas dua, aku mampu meraih peringkat pertama di angkatan, selalu naik ke panggung untuk mendapat penghargaan, bahkan aku menjadi lulusan terbaik dengan nilai rata-rata yang cukup jauh dari teman-temanku. Hal yang terasa mustahil bagiku.
Sekali lagi, aku bukan orang yang pintar atau cerdas. Aku harus bersusah payah dulu untuk mendapatkan sesuatu, termasuk dalam belajar. Aku ingat betul aku sampai begadang semalaman untuk belajar nahwu. Keesokan harinya saat ujian, di saat teman-teman mulai menyerah dengan soal ujian nahwu, aku masih saja berkutat dengan soal, tak mau menyerah.
Terkadang rasanya iri sekali melihat teman-teman yang cerdas. Tanpa belajar dan berusaha banyak nilai mereka bisa tinggi-tinggi. Aku teringat temanku yang bernama Fauziyah, kami biasa memanggilnya Pa'u. Matematikanya super jago, pramukanya juga. Meskipun tidur di kelas, ia tetap saja bisa menyelesaikan soal matematika yang disodorkan di papan tulis. Sedangkan aku? Aku harus jungkir balik dulu untuk memahami soal matematika, kimia dan fisika.
Bukan cuma harus jungkir balik, aku juga harus berhadapan dengan berbagai kegagalan. Dulu saat try out pertama kelulusan aliyah aku gagal. Akhirnya aku belajar lebih giat, dan Alhamdulillah aku lulus di try out kedua bersama dengan segelintir teman yang dapat dihitung jari.
Masih banyak kegagalan yang aku hadapi, termasuk kegagalan untuk berada di tempat ku menulis tulisan ini. Namun aku selalu menikmati prosesnya. Bukankah kegagalan dan kesalahan adalah guru terhebat?
Apapun yang kuraih, aku yakin itu bukan berasal dari diriku, ada kekuatan spiritual yang melatarbelakanginya. Dan saat ini sepertinya aku sedang jauh, hingga selalu merasakan hambatan dan kesulitan. Maafkan aku Tuhan :(
Sebagaimana kisah pendidikan, begitu pula hubungan. Bukankah kekuatan spiritual itu sangat dibutuhkan?
Suatu hari aku pernah nanya gini "Kak, kakak udah istikhoroh?" Dia cuma jawab "Istikharah itu cuma buat orang yang ragu, kalau ga ragu ya ga perlu istikharah. Aku sebel sama orang yang dikit2 nyuruh istikharah. Emang kamu udah istikharah? Terus jawabannya apa?"
Aku cuma bisa senyum membaca balasan chat tersebut. Sepertinya dia terlalu rasionalis menanggapi hal itu. Bukankah yang menanamkan keraguan dan keyakinan itu Allah? Bukankah setiap perkara, meskipun hanya satu selalu terdiri dari dua hal, baik dan buruk. Lalu kenapa merasa yakin dengan hati yang bisa dibolak-balikkan dengan mudah? Lalu kenapa merasa yakin bahwa satu pilihan yang sudah ada bernilai baik?
Komentar
Posting Komentar