Aku sedang duduk khusyuk di atas sajadah biruku, menunggu Bu Nyai keluar dari pintu rumahnya, tiba-tiba terdengar suara dari arah kiriku “Fer,
request ya”.
Request apa? Tanyaku
Jangan lama-lama, ujarnya
Iya, insyaallah. Balasku
Tak lama kemudian, Ibu pun keluar dan kami shalat bersama
Ibu
Ini kali pertamaku shalat lebih depan dari Ibu, ibu berdiri
tepat di samping kiriku, kakiku terasa gemetar, udara terasa lebih panas dari biasanya.
Ah, aku selalu tidak pernah bisa biasa di hadapan ibu
Di rakaat kelima, saat membaca surah al-Ma'un, otakku terasa blank, rasanya ayat-ayat surah tersebut bagai puzzle yang berpencar. Buyar sudah konsentrasi, suaraku mulai serak sambil terus mencari memori ayat terakhir.
Tak lama kemudian, jamaah di samping kananku mulai mengingatkan, membuatku semakin gugup, bukan malah mengingat potongan ayat yang hilang, aku malah tambah lupa, bahkan ayat sebelumnya
Duh, itu kan hanya surah al-Ma'un, bagaimana bisa lupa, malu sekali rasanya huhu
Ini bukan kali pertamanya aku gugup di hadapan ibu, pernah suatu ketika aku piket rumah ibu. Saat itu ibu sedang duduk di kursi sambil menonton tv. Aku yang mendapat tugas menyapu terpaksa harus bulak balik di hadapan ibu, mengambil sapu lidi, mengambil sapu ijuk, membuang sampah dan lain-lain.
Saat melewati ibu, badanku benar-benar sudah menunduk, aku pun mengucapkan "Permisi bu", namun sungguh aneh, suaraku rasanya tercekat dan tak berbunyi sama sekali, hanya bisa terdengar oleh diriku.
Ibu akhirnya menegurku "Kamu fer, kalau lewat di depan itu bilang permisi kek, maaf kek, jangan nyelonong gitu aja"
"Nggeh bu, maaf", ucapku sambil menundukkan kepala
Teguran dari ibu terasa seperti pertir di pagi hari. Tiba-tiba aku merasa seperti santri yang tak punya adab dan sopan santun. Ibu, andai ibu tahu, aku sudah berusaha mengucapkan permisi, namun saking gugupnya suaraku mungkin sama sekali tidak terdengar oleh ibu.
Di waktu lain, aku bertugas mencuci piring di rumah ibu. Namun ada satu baskom yang terlewat belum kucuci lantaran baskom itu berada di luar rumah. Ibu langsung memanggilku lagi dan menyuruhku mencucinya.
Tentu saja Ibu sebenarnya bisa mencucinya sendiri, apalagi hanya satu baskom, tidak susah toh. Tapi itulah bentuk didikan Ibu, mengajarkan kita untuk teliti dan tidak menyepelekan hal sekecil apapun.
Bu Nyai memang punya kharisma tersendiri, beliau orang yang tegas, tertib, teliti dan cekatan. Tak salah bapak memilih sosok istri, ibu sangat pantas untuk dijadikan panutan.
Komentar
Posting Komentar