Masyarakat Metropolitan dan Budaya
Modern
Suatu hari aku mengobrol lewat chat dengan kawanku. Kami
membahas tentang tradisi opor ayam saat lebaran.
"Ane kurang tau sejarah opor, kan ana bukan orang Betawi" sebuah chat dari kawan di sebrang masuk ke whatsapp ku
Loh, emang opor dari Betawi? jawabku heran
Iya, balasnya
“Ane orang Betawi, tapi ana gatau kalo opor Budaya Betawi haha. Kirain di semua daerah selalu sedia opor, karena di daerah ana ga wajar kalau lebaran ga ada opor”.
“Loh, bukannya nte orang Sunda?”.
“Ana orang Betawi Sunda gitu, ga jelas. Hehe”. balasku
Dia lalu menjawab “Yeah, ciri khas orang metropolitan”.
Jawabannya sebenarnya adalah pukulan keras bagiku, aku jadi berfikir. “Apa iya orang metropolitan ngga berbudaya?”
-eh tiba-tiba jadi inget lagunya si Dul “Orang Betawi ga
berbudaye, katenye”-.
Budaya Betawi Vs Budaya Modern
Akhir-akhir ini aku tertarik mengkaji budaya betawi.
Sampai-sampai pernah berniat mengangkat budaya Betawi untuk tema skripsiku.
Asumsi awalku, gaya hidup modern mulai tumbuh dari masyarakat Betawi. Ya, di
antara semua daerah, Jakarta adalah kota yang pertumbuhan ekonomi maupun
infrastrukturnya paling pesat. Sedangkan mayoritas suku Betawi asli tinggal di
kawasan Jakarta, Bekasi dan Depok.
Miris memang, aku melihat kebudayaan Betawi justru tergerus
oleh zaman. Sangat sulit menemukan orang Betawi asli yang masih memegang teguh
kebudayaannya. Termasuk pemukiman masyarakat Betawi asli yang kini mulai
menghilang. Tempat yang dulunya pemukiman kini disulap menjadi gedung-gedung
tinggi perkantoran, apartemen, toko-toko, tempat perbelanjaan, jalan tol dan
perumahan-perumahan mewah.
Kalau kita menyusuri kawasan Jakarta pun banyak yang
masyarakatnya bukan orang Betawi asli, berbagai suku tumpah ruah di kawasan
Jakarta, dari mulai Jawa, Sunda, Sumatera, Padang, hingga Cina. Apalagi jika
mendatangi kawasan Jakarta seperti Glodok dan Tambora. Seakan-akan bukan berada
di Indonesia, ya tapi di China.
Begitu pula yang terjadi di daerahku, rumahku berada di
perbatasan Bekasi Jakarta. Sangat dekat dengan Cibubur. Jika kamu melewati
kawasan Cibubur, kamu akan sulit menemukan pemukiman warga, sepanjang jalan
berjajar toko-toko, mall dan tempat wisata kuliner. Kalaupun ada pemukiman,
maka pasti itu adalah perumahan.
Menurut saya kehidupan “gaul” juga pertama tumbuh dari suku
Betawi. Misalnya budaya panggilan “Gue Lo” yang dianggap anak-anak muda adalah
bahasa gaul. Sedangkan perkataan saya atau aku kamu terkesan norak dan kaku.
Padahal panggilan gua lu di masyarakat Betawi adalah hal
biasa. Orangtua sering bicara dengan bahasa “gua elu” ke anaknya. Pun denganku, nenekku sering bicara dengan bahasa “gua elu” kepadaku, aku pun terbiasa
bicara gua elu dengan kakak dan adikku.
Masuknya budaya Barat ke Indonesia menyumbangkan peran
penting terhadap tergerusnya budaya Betawi. Jangan-jangan lama kelamaan budaya
Betawi akan punah. Karena orang berpikiran segala hal yang berasal dari desa
adalah kuno, ndeso.
Eh ini real loh, bahkan terjadi di sekitar kita, kalau
kamu sadari.
Aku jadi teringat waktu semester satu di UIN. Ada satu orang
teman yang berasal dari Pati, di awal datang ke Ciputat bahasa Jawanya itu
medok sekali. Setiap kali dia bicara pasti teman-teman sekelas ketawa, mulai
membully. Akhirnya dia mulai minder bicara dengan logat Jawa, lama-kelamaan
mulai menghilangkannya.
Di semester akhir ini, logat-logat medoknya dia udah ga lagi
keliatan tuh, dia sudah terbiasa bicara bahasa Indonesia sehari-hari dan
cenderung menutupi kalau dia orang Jawa, kecuali kalau dia ketemu temannya yang
juga orang Jawa.
Tapi coba kita lihat lagi, di kawasan Jakarta yang merupakan
tempat lahirnya budaya Betawi, apakah orang-orangnya lekat dengan kebudayaan
Betawi?. Emm gimana ya gambaran budaya betawi, coba deh liat film si Dul Anak
Sekolahan, begitulah kira-kira. Gaya-gaya orang yang nada suaranya tinggi yang
ceplas ceplos, meskipun ga semua orang Betawi gitu sih.
Yang di atas pertanyaan aja, coba jawab sama kalian masing-masing, aku bingung juga mau gimana ngomentarinnya, hehe
Sebetulnya ini unek-unek diri sendiri sih yang ngerasa
bingung sama budaya sendiri, ya gimana ya, dibilang orang Sunda, bukan Sunda
tulen, dibilang orang Betawi juga bukan Betawi tulen. Terus aku ini siapa?
Di keluargaku sendiri ga terlalu menerapkan
kebudayaan Betawi, kalau nikahan paling cuma sekedar ada ikon pake roti buaya,
ritual-ritual lainnya seperti saling berbalas pantun atau ada silat-silat khas
betawi gitu ga pernah diterapkan.
Keluargaku juga ga menerapkan panggilan-panggilan khas
betawi, seperti ncing, ncang, nyai, mpo, abang dsb. Kita malah menerapkan
panggilan-panggilan sunda, kayak aa, teteh, bibi, mamang dan uwa.
Keluargaku juga tidak menerapkan bahasa daerah tertentu. Dulu
teman-teman SDku selalu bicara pakai Bahasa Sunda, ya tapi kalau bahasa Sundanya
orang Bekasi gitu, bukan Sunda alus. Sedangkan aku? Aku biasa berbahasa
Indonesia setiap hari. Paling menerapkan bahasa Sunda sedikit-sedikit, hanya
istilah-istilah tertentu misalnya ngalor, ngidul.
Biasanya nenekku dari jalur bapak juga bicara dengan
bahasa Sunda, sedangkan nenek kakek dari Mama selalu bicara dengan logat khas
Betawi, Kakekku juga selalu menggunakan ikat pinggang hijau besar khas orang
Betawi.
Ya, yang berusaha menerapkan kebudayaan hanya orang-orang tua.
Buktinya, ketika nenekku meninggal, aku sangat jarang mendengar bahasa Sunda diterapkan.
Oya itu baru bahasa loh ya, belum yang lain. Kue-kue
tradisional misalnya. Dulu menjelang lebaran, orang-orang di rumahku sibuk
mengaduk kuali besar berisi gula merah. Mereka saling bergantian mengaduk,
berjam-jam hingga larut malam. Setelah selesai jadilah dodol manis yang legit. Aku yang
masih kecil waktu itu langsung sigap mengambil dodol panas yang meleleh dari
kuali besar.
Ah aku lupa kapan terakhir kali itu, sudah lama sekali,
mungkin pas kelas 1 SD. Sekarang udah ga pernah liat lagi, ga pernah juga
nyobain dodol meleleh yang diambil langsung dari kuali besar.
Dulu makanan-makanan khas seperti wajik, dodol, sagon, geplak, rengginang,
renggining, kue cincin, tape uli, klepon, dll dengan cantik menghiasi meja-meja
tamu ketika lebaran. Ibu-ibu rajin membuat dapur mengepul dengan oven dan
penggorengan.
Sekarang? Kue-kue tradisional mulai ditinggalkan, anak-anak
sudah tak berminat, bahkan aku sendiri begitu, malas menyantap kue-kue yang
dibuat nenekku, lebih tertarik memakan kue-kue cokelat kalengan dari toko-toko
kue.
Lalu sekarang gimana? Keluargaku sendiri sudah ikut terkena
virus masyarakat perkotaan, mulai meninggalkan bahasa-bahasa daerah, meninggalkan
kue-kue tradisional. Lalu siapa yang salah? Harus bagaimana?
Ah mungkin kalian bisa bantu jawab. Bolehlah mengisi kolom
komentar di bawah
Komentar
Posting Komentar