Sejak dulu aku ga suka ikut-ikutan tren yang berkembang di sekitarku, entah kenapa menurutku norak aja gitu. Aku malah selalu berusaha jadi anti mainstream hehe. Meskipun beberapa kali juga pernah mencoba ikut tren sih, karena kadang ikut tren itu perlu. Loh gimana sih tadi bilang norak sekarang bilang perlu, labil emang nih ๐
Makin kesini makin banyak tren yang berkembang di masyarakat, mulai dari fashion, style, makanan, sampai challange.
Aku inget banget nih, dari zaman mondok dulu udah ada tren. Waktu masa-masa MTS ada tren kerudung sirob namanya, soalnya yang jualan namanya Teh Siti Robiah, jadi kita panggil Teh Sirob. Semenjak ada tren itu santri-santri jadi banyak yang beli kerudung ke Teh Sirob. Bagi Teh Sirob tentu aja hal itu menguntungkan. Tapi di sisi lain, santri-santri jadi ikut terbebani untuk ikut tren. Beli kerudung yang sebenernya bukan karena didasari oleh kebutuhan, tapi karena ikut tren, meskipun beberapa orang juga pasti beli kerudung itu karena alasan butuh sih.
Selain tren kerudung Teh Sirob, ada beberapa tren kerudung lagi, tapi aku lupa namanya apa. Pokoknya trennya selalu ganti-ganti. Semenjak kemunculan tren kerudung, akhirnya pondok ngambil alih model jenis kerudung. Semua santri diwajibkan pakai kerudung yang berlogo dari pesantren, biar semuanya sama.
Satu sisi itu jadi lahan bisnis pondok, tapi di sisi lain itu bisa jadi aspek kesetaraan bagi seluruh santri.
Pas aku kelas 2 Aliyah, ada tren kaos corak gitu. Apa ya namanya, pokoknya banyak coraknya gitu mirp batik. Banyak temen-temen yang beli kaos model itu. Tapi aku sama sekali nggak berminat buat beli. Pas pulang ke rumah, ternyata tetehku udah punya kaos model begitu. Rupanya kaos itu juga jadi tren di kalangan mahasiswa.
Masih di kelas yang sama, waktu itu sekitar tahun 2011 atau 2012. Ada tren handphone Blackberry. Zaman itu masih sedikit sekali temen-temen yang punya handphone pribadi. Aku juga masih pakai handphone bapak (kalau liburan) sampai lulus pesantren. Temen yang punya handphone BB langsung jadi sorotan dan dianggap orang berduit. Karena ada tren itu, temen-temen jadi terbebani untuk punya hp Blackberry.
Lalu bagaimana denganku?
Begitu pula denganku. Setelah lulus dari pesantren pada 2013 lalu, aku langsung minta beliin handphond Blackberry supaya bisa ikut tren kayak temen-temen. Sejak 2011-2013 Blackberry Messenger (BBM) emang lagi hits-hitsnya. Karena ia mampu menggantikan posisi SMS yang masih berupa aplikasi berbayar. Dengan paket BBM, aku ingat sekali waktu itu hanya perlu beli paket 30 ribu untuk satu bulan. Sungguh harga yang menggiurkan untuk kaum milenial yang lagi alay-alaynya.
Waktu itu posisiku sebagai guru pengabdian di pondokku, bersama 11 teman-teman lainnya, kami tinggal di satu kamar. Aku ingat betul mayoritas dari kita pakai BB, kayaknya cuma ada dua teman yang nggak pake BB, Bella sama Nurha. Bella lebih memilih pakai android ketimbang BB, tapi sebelumnya sempet pakai BB lalu berpaling. Nurha kalau nggak salah waktu itu masih pakai Nokia.
Saat itu juga udah ada aplikasi pesan WhatsApp dan aku juga udah pake, cuma fitur-fitur WhatsApp nggak selengkap dan seasyik di BBM, WhatsApp cuma bisa dipakai buat kirim pesan berupa teks dan gambar aja ketika itu.
Baru sekitar enam bulan pakai BB, tiba-tiba BBM dijual ke android. Pamor BB semakin turun semenjak itu. Ya buat apa pake BB kan kalau BBM-an bisa di android, apalagi android lebih canggih dengan layar sentuhnya, serta bisa menampung beragam aplikasi lainnya yang lebih menarik dan unik. Meskipun BB juga ngeluarin versi touch screen, tapi tetep aja dia nggak bisa mengalahkan android.
Jadilah ketika itu pakai BB udah ketinggalan zaman, semua orang berpaling ke android, mulai dari Samsung, Redmi, Oppo, Vivo dan beragam handphone android keluaran China lainnya. Semenjak itu, aku mulai bodo amat memandang tren, aku masih tetap setia dengan BB ku sampai sekitar tahun 2016.
Hingga suatu ketika, aku kesulitan untuk mempunyai koneksi internet di laptop. Aku hanya minta dibelikan bold untuk mengakses wifi karena menggunakan BB agak susah untuk teatring dan entah kenapa paketku jadi cepet banget abis. Tapi tetehku menyaranku supaya beli android aja, karena untuk internetan bisa pakai teatring dari hp. Tapi sebenernya aku masih sayang sama BBku dan niat buat nggak ganti Hp kecuali karena rusak. Tapi entah karena dorongan apa aku akhirnya lebih memilih untuk beli hp android (dibeliin deng bukan beli sendiri hehe). BBku masih ada sampai sekarang dan belum rusak, hanya cargernya aja yang sudah rusak.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kemunculan tren jadi semakin sering. Bukan hanya dari lingkungan sekitar, tapi juga dari dunia maya. Trennya juga mucul dari beragam aspek.
Sekitar tahun 2017 ada tren kerudung kotak-kotak kecil gitu, ada juga tren kemeja kotak-kotak, tren outer pendek, tren outer panjang dll. Aku sempet ikutin juga.
Selain dari fashion, ada juga tren yang berupa challenge. Beberapa bulan terakhir viral Kiki challange, tantangan untuk menari dengan diiringi lagu "In My Feelings Challenge", tarian dilakukan di luar mobil yang sedang berjalan dan pintunya terbuka. Sedangkan sang penari direkam dari dalam mobil, sambil menari dan menyanyi ia mengikuti mobil yang berjalan itu. Challenge itu mulai ramai di media sosial, bahkan beberapa kawanku pun mengikuti challenge tersebut.
Seminggu terakhir ini juga muncul challenge 10yearschallenge. Tantangan untuk memosting foto dulu-sekarang dengan rentang waktu 10 tahun. Bahkan beranda media sosialku dipenuhi dengan postingan kawan-kawan yang mengikuti tren tersebut.
Belakangan ini juga muncul tren yang cukup membahayakan, yaitu tren truk oleng. Tantangan ini ditujukan kepada pengendara truk yang diminta untuk menggerakkan truknya dengan manuver zig zag. Sayangnya challenge ini justru memakan korban.
Dalam ilmu sosial, ada teori yang menjelaskan perilaku ini, perilaku kecendrungan seseorang untuk mengikuti tren yang berkembang di masyarakat, yaitu teori Sosial Learning yang digagas Neal E Miller dan John Dollard. Ada alasan mengapa seseorang berusaha menyocokkan perilakunya sedekat mungkin dengan perilaku orang lain (copying). Peniruan ini terjadi karena ada reinforcement (peneguhan) dan perangsang yang telah ditujukan berulang kali sebagai pengaruh yang kuat dalam pilihan perilaku dan banyak situasi (setting).
Kemunculan tren yang dilakukan banyak orang secara berulang-ulang membuat kita tertarik untuk mengikutinya, tujuannya tentu saja agar dapat dianggap oleh orang lain. Dengan mengikuti tren, kita dapat menunjukkan esistensi diri di tengah masyarakat. Mengikuti tren memang tidak buruk, tapi masalahnya ada pula tren dan challenge yang berbahaya untuk diikuti. Tapi banyak orang yang bela-belain tetep ikut supaya dianggap hebat oleh orang lain.
Ada beberapa alasan bagiku untuk nggak ikut-ikut tren. Entah mengapa mindset di pikiranku "Kullu syai'in idzaa katsuro rokhuso illal adab". Misalnya pakaian nih, kalau kebanyakan pakai model yang sama aku jadi ga pede, malah maunya yang beda sendiri gitu. Jangankan pakaian deh, status whatsApp aja, kadang ada momen tertentu yang bikin semua status temenku jadi sama. Aku malah lebih sering menjauhi status yang sama kalau banyak banget kontakku yang pake itu. Abisnya gimana ya, kalau kebanyakan gitupun aku ga bakal liat atau baca gambarnya, cukup dari satu temen aja dan itu udah cukup.
Bagiku, jadi diri sendiri adalah yang terbaik, ga usah gatel mata sama tren yang berkembang di masyarakat. Ikut-ikutan tren ga bakal ada habisnya, apalagi kalau barang elektronik ya. Masalahnya barang-barang yang jadi tren bakal cepet basinya, jadi cepet noraknya.
Kadang banyak juga tren yang merugikan diri sendiri, misalnya ikut challenge makan ramen yang pedes banget, eh terus malah sakit perut demi ikutan challenge itu, atau ikut 10yearschallenge tapi foto masa lalu yang dipost adalah foto tanpa hijab, sayang aja gitu. Kalau aku sendiri nggak pede mosting foto tanpa jilbab ke publik, meskipun itu foto pas zaman anak-anak. Lebih parah lagi challenge yang membahayakan diri kayak challenge truk oleng itu tuh, huhu.
So, cukup jadi diri sendiri aja, ga terlalu ikutin arus. Tapi boleh ikut tren juga kok, tren ga selalu norak sih, judul begitu buat clickbait aja haha maafkeun.
Makin kesini makin banyak tren yang berkembang di masyarakat, mulai dari fashion, style, makanan, sampai challange.
Aku inget banget nih, dari zaman mondok dulu udah ada tren. Waktu masa-masa MTS ada tren kerudung sirob namanya, soalnya yang jualan namanya Teh Siti Robiah, jadi kita panggil Teh Sirob. Semenjak ada tren itu santri-santri jadi banyak yang beli kerudung ke Teh Sirob. Bagi Teh Sirob tentu aja hal itu menguntungkan. Tapi di sisi lain, santri-santri jadi ikut terbebani untuk ikut tren. Beli kerudung yang sebenernya bukan karena didasari oleh kebutuhan, tapi karena ikut tren, meskipun beberapa orang juga pasti beli kerudung itu karena alasan butuh sih.
Selain tren kerudung Teh Sirob, ada beberapa tren kerudung lagi, tapi aku lupa namanya apa. Pokoknya trennya selalu ganti-ganti. Semenjak kemunculan tren kerudung, akhirnya pondok ngambil alih model jenis kerudung. Semua santri diwajibkan pakai kerudung yang berlogo dari pesantren, biar semuanya sama.
Satu sisi itu jadi lahan bisnis pondok, tapi di sisi lain itu bisa jadi aspek kesetaraan bagi seluruh santri.
Pas aku kelas 2 Aliyah, ada tren kaos corak gitu. Apa ya namanya, pokoknya banyak coraknya gitu mirp batik. Banyak temen-temen yang beli kaos model itu. Tapi aku sama sekali nggak berminat buat beli. Pas pulang ke rumah, ternyata tetehku udah punya kaos model begitu. Rupanya kaos itu juga jadi tren di kalangan mahasiswa.
Masih di kelas yang sama, waktu itu sekitar tahun 2011 atau 2012. Ada tren handphone Blackberry. Zaman itu masih sedikit sekali temen-temen yang punya handphone pribadi. Aku juga masih pakai handphone bapak (kalau liburan) sampai lulus pesantren. Temen yang punya handphone BB langsung jadi sorotan dan dianggap orang berduit. Karena ada tren itu, temen-temen jadi terbebani untuk punya hp Blackberry.
Lalu bagaimana denganku?
Begitu pula denganku. Setelah lulus dari pesantren pada 2013 lalu, aku langsung minta beliin handphond Blackberry supaya bisa ikut tren kayak temen-temen. Sejak 2011-2013 Blackberry Messenger (BBM) emang lagi hits-hitsnya. Karena ia mampu menggantikan posisi SMS yang masih berupa aplikasi berbayar. Dengan paket BBM, aku ingat sekali waktu itu hanya perlu beli paket 30 ribu untuk satu bulan. Sungguh harga yang menggiurkan untuk kaum milenial yang lagi alay-alaynya.
Waktu itu posisiku sebagai guru pengabdian di pondokku, bersama 11 teman-teman lainnya, kami tinggal di satu kamar. Aku ingat betul mayoritas dari kita pakai BB, kayaknya cuma ada dua teman yang nggak pake BB, Bella sama Nurha. Bella lebih memilih pakai android ketimbang BB, tapi sebelumnya sempet pakai BB lalu berpaling. Nurha kalau nggak salah waktu itu masih pakai Nokia.
Saat itu juga udah ada aplikasi pesan WhatsApp dan aku juga udah pake, cuma fitur-fitur WhatsApp nggak selengkap dan seasyik di BBM, WhatsApp cuma bisa dipakai buat kirim pesan berupa teks dan gambar aja ketika itu.
Baru sekitar enam bulan pakai BB, tiba-tiba BBM dijual ke android. Pamor BB semakin turun semenjak itu. Ya buat apa pake BB kan kalau BBM-an bisa di android, apalagi android lebih canggih dengan layar sentuhnya, serta bisa menampung beragam aplikasi lainnya yang lebih menarik dan unik. Meskipun BB juga ngeluarin versi touch screen, tapi tetep aja dia nggak bisa mengalahkan android.
Jadilah ketika itu pakai BB udah ketinggalan zaman, semua orang berpaling ke android, mulai dari Samsung, Redmi, Oppo, Vivo dan beragam handphone android keluaran China lainnya. Semenjak itu, aku mulai bodo amat memandang tren, aku masih tetap setia dengan BB ku sampai sekitar tahun 2016.
Hingga suatu ketika, aku kesulitan untuk mempunyai koneksi internet di laptop. Aku hanya minta dibelikan bold untuk mengakses wifi karena menggunakan BB agak susah untuk teatring dan entah kenapa paketku jadi cepet banget abis. Tapi tetehku menyaranku supaya beli android aja, karena untuk internetan bisa pakai teatring dari hp. Tapi sebenernya aku masih sayang sama BBku dan niat buat nggak ganti Hp kecuali karena rusak. Tapi entah karena dorongan apa aku akhirnya lebih memilih untuk beli hp android (dibeliin deng bukan beli sendiri hehe). BBku masih ada sampai sekarang dan belum rusak, hanya cargernya aja yang sudah rusak.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kemunculan tren jadi semakin sering. Bukan hanya dari lingkungan sekitar, tapi juga dari dunia maya. Trennya juga mucul dari beragam aspek.
Sekitar tahun 2017 ada tren kerudung kotak-kotak kecil gitu, ada juga tren kemeja kotak-kotak, tren outer pendek, tren outer panjang dll. Aku sempet ikutin juga.
Selain dari fashion, ada juga tren yang berupa challenge. Beberapa bulan terakhir viral Kiki challange, tantangan untuk menari dengan diiringi lagu "In My Feelings Challenge", tarian dilakukan di luar mobil yang sedang berjalan dan pintunya terbuka. Sedangkan sang penari direkam dari dalam mobil, sambil menari dan menyanyi ia mengikuti mobil yang berjalan itu. Challenge itu mulai ramai di media sosial, bahkan beberapa kawanku pun mengikuti challenge tersebut.
Seminggu terakhir ini juga muncul challenge 10yearschallenge. Tantangan untuk memosting foto dulu-sekarang dengan rentang waktu 10 tahun. Bahkan beranda media sosialku dipenuhi dengan postingan kawan-kawan yang mengikuti tren tersebut.
Belakangan ini juga muncul tren yang cukup membahayakan, yaitu tren truk oleng. Tantangan ini ditujukan kepada pengendara truk yang diminta untuk menggerakkan truknya dengan manuver zig zag. Sayangnya challenge ini justru memakan korban.
Dalam ilmu sosial, ada teori yang menjelaskan perilaku ini, perilaku kecendrungan seseorang untuk mengikuti tren yang berkembang di masyarakat, yaitu teori Sosial Learning yang digagas Neal E Miller dan John Dollard. Ada alasan mengapa seseorang berusaha menyocokkan perilakunya sedekat mungkin dengan perilaku orang lain (copying). Peniruan ini terjadi karena ada reinforcement (peneguhan) dan perangsang yang telah ditujukan berulang kali sebagai pengaruh yang kuat dalam pilihan perilaku dan banyak situasi (setting).
Kemunculan tren yang dilakukan banyak orang secara berulang-ulang membuat kita tertarik untuk mengikutinya, tujuannya tentu saja agar dapat dianggap oleh orang lain. Dengan mengikuti tren, kita dapat menunjukkan esistensi diri di tengah masyarakat. Mengikuti tren memang tidak buruk, tapi masalahnya ada pula tren dan challenge yang berbahaya untuk diikuti. Tapi banyak orang yang bela-belain tetep ikut supaya dianggap hebat oleh orang lain.
Ada beberapa alasan bagiku untuk nggak ikut-ikut tren. Entah mengapa mindset di pikiranku "Kullu syai'in idzaa katsuro rokhuso illal adab". Misalnya pakaian nih, kalau kebanyakan pakai model yang sama aku jadi ga pede, malah maunya yang beda sendiri gitu. Jangankan pakaian deh, status whatsApp aja, kadang ada momen tertentu yang bikin semua status temenku jadi sama. Aku malah lebih sering menjauhi status yang sama kalau banyak banget kontakku yang pake itu. Abisnya gimana ya, kalau kebanyakan gitupun aku ga bakal liat atau baca gambarnya, cukup dari satu temen aja dan itu udah cukup.
Bagiku, jadi diri sendiri adalah yang terbaik, ga usah gatel mata sama tren yang berkembang di masyarakat. Ikut-ikutan tren ga bakal ada habisnya, apalagi kalau barang elektronik ya. Masalahnya barang-barang yang jadi tren bakal cepet basinya, jadi cepet noraknya.
Kadang banyak juga tren yang merugikan diri sendiri, misalnya ikut challenge makan ramen yang pedes banget, eh terus malah sakit perut demi ikutan challenge itu, atau ikut 10yearschallenge tapi foto masa lalu yang dipost adalah foto tanpa hijab, sayang aja gitu. Kalau aku sendiri nggak pede mosting foto tanpa jilbab ke publik, meskipun itu foto pas zaman anak-anak. Lebih parah lagi challenge yang membahayakan diri kayak challenge truk oleng itu tuh, huhu.
So, cukup jadi diri sendiri aja, ga terlalu ikutin arus. Tapi boleh ikut tren juga kok, tren ga selalu norak sih, judul begitu buat clickbait aja haha maafkeun.
Komentar
Posting Komentar