Pandanganku tertuju pada tumpukan skripsi yang mulai
menggunung di sudut pojok perpustakaan. Aku hanya bisa menelan ludah, miris rasanya
melihat tumpukan skripsi tersebut, mengingat perjuangan yang harus ditempuh
untuk menghasilkan sebuah penelitian ilmiah.
Sepertinya itu skripsi lama, entah milik alumni tahun
berapa. Posisinya mulai tergantikan oleh skripsi terbaru yang kertasnya masih
bau percetakan. Tidak semua skripsi lama akan bernasib seperti itu, beberapa
penelitian yang dinilai masih menarik akan tetap memiliki tempat di rak buku
perpus.
Teringat beberapa waktu lalu ketika seminar proposal, rata-rata
teman-temanku mengambil penelitian dengan jenis sama seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya diubah objek dan subjeknya saja. Ku pandang wajah para penguji, mereka tampak jengah dengan judul yang itu-itu saja, kasus yang sudah ketahuan hasil akhirnya, mengulang-ngulang, setiap tahun.
Di sidang skripsi teman-temanku, perkataan yang tak jauh berbeda pun terdengar lagi, "penelitianmu ini terlalu biasa", "penelitian kamu ini sebenernya sampah" dan lain sebagainya. Aku hanya melongo mendengar ucapan itu, perjuangan berbulan-bulan untuk menyelesaikan tugas akhir hanya dinilai "sampah" oleh dosen.
Di sidang skripsi teman-temanku, perkataan yang tak jauh berbeda pun terdengar lagi, "penelitianmu ini terlalu biasa", "penelitian kamu ini sebenernya sampah" dan lain sebagainya. Aku hanya melongo mendengar ucapan itu, perjuangan berbulan-bulan untuk menyelesaikan tugas akhir hanya dinilai "sampah" oleh dosen.
Ini seminar proposalku yang kedua, setelah sebelumnya gagal karena kasus yang sama, terlalu banyak penelitian semacam itu. Jadilah berbulan-bulan aku memutar otak mencari judul penelitian baru. Setelah gagal di seminar proposal pertama, sebenarnya aku sudah menyiapkan dua judul, belum juga aku ajukan, judul itu langsung ditolak mentah-mentah oleh dosen pembimbing akademik.
Sebetulnya idenya cukup bagus, hanya saja "Ini bukan ranah kamu, ini ranah KPI".
Ya begitulah, lapangan penelitianku terlalu sempit, hanya berkecimpung di permasalahan pemberitaan. Sedangkan aku kurang tertarik dengan berita karena sifatnya yang temporal dan akan basi pada waktunya.
Setelah putar otak, baca jurnal ini itu, baca buku ini itu, barulah terfikirkan sebuah penelitian baru, aku tertarik untuk meneliti budaya netizen dalam menanggapi sebuah berita. Berhubung dahulu komunikasi massa yang berjalan hanya satu arah, saat ini netizen jadi lebih punya "kuasa" lebih, media tidak lagi bersifat powerfull. Yah gitu deh pokoknya, nanti malah panjang kalau bahas teori di sini hehe.
Untuk tembus mengajukan seminar proposal, proposalku harus melewati dosen Pembimbing Akademik (PA) dulu sebelum masuk ke ruang sidang. 3 minggu lamanya proposalku diobrak-abrik, penuh perjuangan juga. Harus ngejar dosen PA ke mega mall, harus nyari percetakan karena outline yang kurang, drama di potocopyan dan lain-lainnya.
Setelah mendapat persetujuan dosen PA, hari itu juga aku langsung daftar semprop, padahal masih ada materi yang perlu ditambah, dalam hati cuma bilang "Udah ah, biar cepet, sambil nunggu jadwal semprop nanti sambil revisi".
Karena terpotong Idul Adha, jadilah proposalku diendapkan selama dua minggu, setelah itu baru aku dipanggil untuk semprop. Deg-degan rasanya harus masuk ruang sidang untuk kedua kalinya. Di semprop pertama dosen pengujinya berhasil membuatku tak bergeming, habis digerus pertanyaan yang tak ada jawabannya di otakku.
Berkali-kali aku melirik pintu ruang sidang, menerka-nerka siapa yang kira-kira akan menguji. Alhamdulillah waktu itu pengujinya ga begitu serem dan alhamdulillah sempropnya berjalan lancar dan tidak mendapat banyak kritikan dan revisi.
Perjuangan masih panjang, belum ada apa-apanya, setelah semprop aku harus merevisi proposalku dulu sebelum akhirnya bisa mengajukan dosen pembimbing skripsi. Aku bertemu dosen penguji dua kali, mengajukan revisiku, sekitar 20 hari waktu untuk memproses revisi, hingga akhirnya aku mendapat dosen pembimbing.
Setelah mendapat dosen pembimbing aku tahu permasalahan lain akan bermunculan, dospemku super sibuk. Dospem yang produktifnya masyaAllah, karyanya sudah bertebaran di mana-mana, beliau juga bukan hanya mengajar di UIN, tapi juga di UNPAD dan beberapa universitas lain. Pertama kali kuhubungi tepatlah sudah dugaanku, pasti beliau sedang punya urusan. "Saya sedang di Makassar", balasnya
Aku baru bisa bertemu dengan beliau tiga hari lagi, itu pun bukan di kampus, tapi di daerah Jakarta Pusat. Pertemuan pertama juga penuh drama, aku harus menunggu sekitar 3 jam, juga pindah dari tempat yang dijanjikan. Setelah bertemu, ternyata bimbingannya hanya 4 menit, tiga jam yang terbayar hanya dengan 4 menit hmm dan aku jadi terlambat untuk datang ke janji lainnya.
Sampai segini dulu ceritanya, perjalanan masih panjang .. Fighting
Sebetulnya idenya cukup bagus, hanya saja "Ini bukan ranah kamu, ini ranah KPI".
Ya begitulah, lapangan penelitianku terlalu sempit, hanya berkecimpung di permasalahan pemberitaan. Sedangkan aku kurang tertarik dengan berita karena sifatnya yang temporal dan akan basi pada waktunya.
Setelah putar otak, baca jurnal ini itu, baca buku ini itu, barulah terfikirkan sebuah penelitian baru, aku tertarik untuk meneliti budaya netizen dalam menanggapi sebuah berita. Berhubung dahulu komunikasi massa yang berjalan hanya satu arah, saat ini netizen jadi lebih punya "kuasa" lebih, media tidak lagi bersifat powerfull. Yah gitu deh pokoknya, nanti malah panjang kalau bahas teori di sini hehe.
Untuk tembus mengajukan seminar proposal, proposalku harus melewati dosen Pembimbing Akademik (PA) dulu sebelum masuk ke ruang sidang. 3 minggu lamanya proposalku diobrak-abrik, penuh perjuangan juga. Harus ngejar dosen PA ke mega mall, harus nyari percetakan karena outline yang kurang, drama di potocopyan dan lain-lainnya.
Setelah mendapat persetujuan dosen PA, hari itu juga aku langsung daftar semprop, padahal masih ada materi yang perlu ditambah, dalam hati cuma bilang "Udah ah, biar cepet, sambil nunggu jadwal semprop nanti sambil revisi".
Karena terpotong Idul Adha, jadilah proposalku diendapkan selama dua minggu, setelah itu baru aku dipanggil untuk semprop. Deg-degan rasanya harus masuk ruang sidang untuk kedua kalinya. Di semprop pertama dosen pengujinya berhasil membuatku tak bergeming, habis digerus pertanyaan yang tak ada jawabannya di otakku.
Berkali-kali aku melirik pintu ruang sidang, menerka-nerka siapa yang kira-kira akan menguji. Alhamdulillah waktu itu pengujinya ga begitu serem dan alhamdulillah sempropnya berjalan lancar dan tidak mendapat banyak kritikan dan revisi.
Perjuangan masih panjang, belum ada apa-apanya, setelah semprop aku harus merevisi proposalku dulu sebelum akhirnya bisa mengajukan dosen pembimbing skripsi. Aku bertemu dosen penguji dua kali, mengajukan revisiku, sekitar 20 hari waktu untuk memproses revisi, hingga akhirnya aku mendapat dosen pembimbing.
Setelah mendapat dosen pembimbing aku tahu permasalahan lain akan bermunculan, dospemku super sibuk. Dospem yang produktifnya masyaAllah, karyanya sudah bertebaran di mana-mana, beliau juga bukan hanya mengajar di UIN, tapi juga di UNPAD dan beberapa universitas lain. Pertama kali kuhubungi tepatlah sudah dugaanku, pasti beliau sedang punya urusan. "Saya sedang di Makassar", balasnya
Aku baru bisa bertemu dengan beliau tiga hari lagi, itu pun bukan di kampus, tapi di daerah Jakarta Pusat. Pertemuan pertama juga penuh drama, aku harus menunggu sekitar 3 jam, juga pindah dari tempat yang dijanjikan. Setelah bertemu, ternyata bimbingannya hanya 4 menit, tiga jam yang terbayar hanya dengan 4 menit hmm dan aku jadi terlambat untuk datang ke janji lainnya.
Sampai segini dulu ceritanya, perjalanan masih panjang .. Fighting
Komentar
Posting Komentar