Semester
lima lalu saya mendapat tugas UAS foto story di mata kuliah jurnalistik foto.
Ketika itu saya mencoba mengangkat judul “Kopaja”. Mengisahkan bagaimana kopaja
bertahan di antara berbagai macam transportasi lain yang jauh lebih oke.
Kopaja punya masa lalu yang kurang baik, ia mengantongi beberapa
riwayat kecelakaan. Bagaimana tidak, masa berlaku kendaraan banyak yang sudah
kadaluarsa, berbagai fasilitas sudah tidak layak pakai, banyak supir yang
menyetir ugal-ugalan, serta mengangkut muatan yang bejubel, sungguh tak
berperikemanusiaan dan perikeadilan.
Kini bukan hanya masa lalunya saja yang kelam, masa depan kopaja
pun mulai tidak jelas, di ambang kepunahan, sudah di ujung tanduk. Sejak Ahok
menjabat sebagai Gubernur DKI, Ahok sudah berniat untuk menghapuskan kopaja
dari bumi Jekardah, ya, perlahan tapi pasti, dengan memperbanyak jumlah
transjakarta, menambah rute serta jam operasinya.
Ahok pun mulai mengajak kopaja untuk bergabung dengan transjakarta,
yang tidak mau gabung ya akan punah diterpa seleksi alam. Beberapa kopaja sudah
terlihat membiru, mengganti pakaian hijaunya, bertransformasi menjadi
transjakarta mini. Sisanya masih percaya diri dengan eksistensinya.
Hari demi hari penumpang kopaja mulai menurun, tidak ada lagi
penampakan kopaja yang diisi dengan puluhan orang yang berdesak-desakan. Kini jika
seluruh kursi kopaja terisi penuh saja sudah Alhamdulillah. Seringnya saya
hanya melihat empat lima orang yang memenuhi kopaja tersebut.
Nasib buruk itu sepertinya bukan hanya menimpa kopaja, beberapa
transportasi sejenis seperti koantas bima dan metro mini juga mengalami hal
yang sama. Perubahan besar-besaran saya lihat sendiri pada koantas bima.
Ketika
semester satu hingga tiga dulu, saya selalu rutin naik koantas bima untuk ke
rumah – Ciputat. Bukan karena suka menaikinya, tapi karena tidak ada transportasi
lain, jadi saya pun terpaksa menaikinya. Berdesak-desakan dengan penumpang
lain, jangankan berharap duduk, bisa berdiri dengan layak saja saya sudah
bersyukur.
Berbagai rentetan kasus di koantas bima juga sudah menjadi rahasia umum, seperti pencopetan, pencurian, pelecehan terhadap perempuan dll. Dahulu ongkos koantas bima dari Kp Rambutan Ciputat hanya Rp5.000 dan ongkos Ciputat – Kp Rambutan hanya Rp3.500. Sekarang harganya sekitar Rp6.000 dan Rp5.000.
Berbagai rentetan kasus di koantas bima juga sudah menjadi rahasia umum, seperti pencopetan, pencurian, pelecehan terhadap perempuan dll. Dahulu ongkos koantas bima dari Kp Rambutan Ciputat hanya Rp5.000 dan ongkos Ciputat – Kp Rambutan hanya Rp3.500. Sekarang harganya sekitar Rp6.000 dan Rp5.000.
Kini setelah tersedia transjakarta rute Ciputat - Kp Rambutan, saya selalu rutin naik transjakarta. Karena naik transjakarta lebih nyaman, ber-ac, lebih aman, serta lebih murah, cukup dengan ongkos Rp3.500 kita bisa menaikinya.
Setelah transjakarta muncul, pengguna koantas bima turun drastis. Saya tidak pernah melihat lagi penumpang yang bejubel berebut kursi. Bahkan kalaupun saya terpaksa harus naik koantas, saya pasti selalu mendapat tempat duduk, jarang sekali ada penumpang yang berdiri.
Ternyata tantangan kopaja dan kawan-kawan bukan hanya berasal dari transjakarta, tantangan terbesar justru datang dari ojek online. Pengguna kopaja beramai-ramai beralih menggunakan ojek online. Jika dulu kopaja bisa hidup damai bersama angkot, taksi, kereta dan transjakarta, kini eksistensi kopaja mulai terusik dengan kemunculan ojek online.
Saat itu saya menyusuri berbagai terminal, mulai dari terminal Kampung Rambutan, Blok M, hingga Kampung Melayu. Saya mulai mengisi memori kamera dengan gambar-gambar kopaja dari berbagai angel dan teknik. Tidak lupa saya pun mengumpulkan data, mewawancarai supir-supir kopaja.
Ketika berada di kampung melayu, saya masuk ke kopaja yang sedang ngetem, di dalamnya ada seorang supir, juga seorang ibu dengan anaknya. Setiap hari si anak selalu bermain di kopaja tersebut. Saya pun mulai melontarkan beberapa pertanyaan.
Supir itu mulai meluapkan kekesalannya, ia terus mengumpat ojek online, mendemo agar ojek online
dihapuskan dari muka bumi. Ia menyatakan, semenjak ada ojek online penghasilannya turun drastis, dia juga mengatakan bahwa ojek online lah penyebab kemacetan di jalan. Maka tidak aneh jika banyak konflik antara supir transportasi konvensional dan ojek online, tidak jarang sampai terjadi bentrokan fisik.
Menghapuskan ojek online adalah hal yang mustahil, menghapuskannya sama saja dengan melawan samudra. Ya, samudra teknologi yang sudah berkembang sangat pesat.
Menghapuskan ojek online adalah hal yang mustahil, menghapuskannya sama saja dengan melawan samudra. Ya, samudra teknologi yang sudah berkembang sangat pesat.
Sebagai pendengar keluh kesah abang supir, sekaligus pengguna ojek online, saya mencoba memosisikan diri di tengah-tengah. Sebetulnya saya pun merasa iba dengan supir kopaja tersebut. Tapi begitulah hidup dari masa ke masa. Orang yang tak mampu bersaing akan tersingkirkan.
Keberadaan ojek online menurut saya sangat bermanfaat, sungguh membantu, apalagi bagi mahasiswi yang tidak punya kendaraan pribadi seperti saya. Selain bermanfaat bagi penumpang, adanya ojek online juga membantu membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
Bukankah pengangguran menjadi salah satu masalah yang dihadapi Indonesia?
Keberadaan ojek online menurut saya sangat bermanfaat, sungguh membantu, apalagi bagi mahasiswi yang tidak punya kendaraan pribadi seperti saya. Selain bermanfaat bagi penumpang, adanya ojek online juga membantu membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
Bukankah pengangguran menjadi salah satu masalah yang dihadapi Indonesia?
Komentar
Posting Komentar