Dentuman beduk dan takbir ramai terdengar di langit-langit malam, esok hari raya Idul Fitri ke-23 bagiku. Semakin lama momen Idul Fitri semakin terasa seperti plat mobil Jakarta, B aja. Entah karena usiaku yang semakin bertambah atau karena esensi Idul Fitri yang mulai memudar.
Ingat masa kecil dulu, tak sabar rasanya menunggu hari raya Idul Fitri. Aku selalu bangun pagi bergembira menyambut hari raya. Saat membuka mata, aku langsung bangun, berdiri di atas kasur, melompat-lompat bahagia sambil mengucap "Yeay, hari ini lebaran".
Entah mengapa momen lebaran saat kecil terasa begitu membahagiakan, senang memakai baju baru, senang makan kue-kue yang hanya tersedia saat lebaran, senang bertemu sanak saudara, senang bermain petasan dan kembang api, juga senang mendapat angpau dari orang-orang. Ah bahagia di masa kecil memang sesederhana itu.
Kini momen Idul Fitri terasa biasa saja. Bahagia? Ya, tentu saja bahagia dapat kembali bertemu hari raya yang hanya ada satu tahun sekali. Hanya saja kebahagiaan itu bukan lagi berbentuk materi. Bukan lagi bahagia karena baju baru, kue-kue dan angpau. Entahlah bagaimana menggambarkannya, ada perasaan campur aduk yang sulit disampaikan. Ah biar itu hanya aku dan tuhan yang tahu. Harapanku, semoga Ramadhan kemarin mampu menjadi latihan bagi diri dalam menghadapi hawa nafsu, semoga amal ibadah yang sedikit ini diterima oleh Allah Swt.
Momen Idul Fitri terasa semakin "biasa aja" semenjak kepergian nenek dan kakekku beberapa tahun silam. Biasanya kami berkumpul di rumah nenek, menyambut tamu yang bejubel hingga sore hari. Berkumpul dengan sanak saudara dari berbagai penjuru.
Semenjak kepergian nenek dan kakek, rute silaturahim semakin pendek. Kini saudara-saudara berkumpul di rumahku, karena ayahku adalah anak tertua. Setelah sanak saudara pulang, rumah kami kembali sepi. Entah mengapa ada perasaan sedih yang menyeruak.
Sebetulnya saat ini aku berada di titik jenuh. Jenuh dengan kehidupan di dunia maya, jenuh melihat prilaku orang-orang. Saat ini doa-doa disampaikan melalui media sosial, kesedihan mengakhiri Ramadhan ditunjukkan di media sosial, kebahagiaan menyambut Idul Fitri ditunjukkan melalui media sosial. Membuatku semakin bingung membedakan wajah syukur, ikhlas dan riya.
Kini, keramaian Idul Fitri berpindah ke media sosial, sedangkan kehangatan kumpul keluarga dan teman tak seperti dulu lagi. Idul Fitri mulai dijadikan ajang berbagus-bagus pakaian, bercantik-cantik penampilan, beramai-ramai upload kebahagiaan di media sosial.
E-flyer lebaran dari berbagai organisasi dan instansi dengan serempak menghiasai status media sosial teman-temanku. Membuatku tak menikmati lagi esensi doa, harapan dan permohonan maafnya, lebih terlihat seperti formalitas belaka.
Kejenuhan ini ternyata berefek hingga ke pekerjaanku. Inspirasi hilang entah kemana, tak ada inspirasi sama sekali yang lewat di fikiran, padahal aku punya tugas desain ucapan hari raya untuk besok, hingga larut malam aku belum juga mampu menyelesaikannya. Ah perkara desain ini memang sangat menggantungkan mood.
Sepertinya aku benar-benar berada di titik jenuh, aku hanya ingin menyampaikan permohonan maaf yang tulus, bukan dari pantun-pantun dan kata mutiara yang membuatku pegal membacanya, bukan pula melalui desain pamflet lebaran yang dipasang di status.
Bolehkah aku mengucapkannya langsung? Menjabat tangan dengan ketulusan hati? Menyunggingkan senyuman perdamaian, kemudian kuperhatikan mata-mata yang memaafkan dengan segala kelapangan hati.
Maafkan segala kesalahan diri ini
Selamat Hari Raya Idul Fitri
Semoga amal ibadah kita diterima Allah Swt
Semoga kita kembali dipertemukan dengan Ramadhan
Ingat masa kecil dulu, tak sabar rasanya menunggu hari raya Idul Fitri. Aku selalu bangun pagi bergembira menyambut hari raya. Saat membuka mata, aku langsung bangun, berdiri di atas kasur, melompat-lompat bahagia sambil mengucap "Yeay, hari ini lebaran".
Entah mengapa momen lebaran saat kecil terasa begitu membahagiakan, senang memakai baju baru, senang makan kue-kue yang hanya tersedia saat lebaran, senang bertemu sanak saudara, senang bermain petasan dan kembang api, juga senang mendapat angpau dari orang-orang. Ah bahagia di masa kecil memang sesederhana itu.
Kini momen Idul Fitri terasa biasa saja. Bahagia? Ya, tentu saja bahagia dapat kembali bertemu hari raya yang hanya ada satu tahun sekali. Hanya saja kebahagiaan itu bukan lagi berbentuk materi. Bukan lagi bahagia karena baju baru, kue-kue dan angpau. Entahlah bagaimana menggambarkannya, ada perasaan campur aduk yang sulit disampaikan. Ah biar itu hanya aku dan tuhan yang tahu. Harapanku, semoga Ramadhan kemarin mampu menjadi latihan bagi diri dalam menghadapi hawa nafsu, semoga amal ibadah yang sedikit ini diterima oleh Allah Swt.
Momen Idul Fitri terasa semakin "biasa aja" semenjak kepergian nenek dan kakekku beberapa tahun silam. Biasanya kami berkumpul di rumah nenek, menyambut tamu yang bejubel hingga sore hari. Berkumpul dengan sanak saudara dari berbagai penjuru.
Semenjak kepergian nenek dan kakek, rute silaturahim semakin pendek. Kini saudara-saudara berkumpul di rumahku, karena ayahku adalah anak tertua. Setelah sanak saudara pulang, rumah kami kembali sepi. Entah mengapa ada perasaan sedih yang menyeruak.
Sebetulnya saat ini aku berada di titik jenuh. Jenuh dengan kehidupan di dunia maya, jenuh melihat prilaku orang-orang. Saat ini doa-doa disampaikan melalui media sosial, kesedihan mengakhiri Ramadhan ditunjukkan di media sosial, kebahagiaan menyambut Idul Fitri ditunjukkan melalui media sosial. Membuatku semakin bingung membedakan wajah syukur, ikhlas dan riya.
Kini, keramaian Idul Fitri berpindah ke media sosial, sedangkan kehangatan kumpul keluarga dan teman tak seperti dulu lagi. Idul Fitri mulai dijadikan ajang berbagus-bagus pakaian, bercantik-cantik penampilan, beramai-ramai upload kebahagiaan di media sosial.
E-flyer lebaran dari berbagai organisasi dan instansi dengan serempak menghiasai status media sosial teman-temanku. Membuatku tak menikmati lagi esensi doa, harapan dan permohonan maafnya, lebih terlihat seperti formalitas belaka.
Kejenuhan ini ternyata berefek hingga ke pekerjaanku. Inspirasi hilang entah kemana, tak ada inspirasi sama sekali yang lewat di fikiran, padahal aku punya tugas desain ucapan hari raya untuk besok, hingga larut malam aku belum juga mampu menyelesaikannya. Ah perkara desain ini memang sangat menggantungkan mood.
Sepertinya aku benar-benar berada di titik jenuh, aku hanya ingin menyampaikan permohonan maaf yang tulus, bukan dari pantun-pantun dan kata mutiara yang membuatku pegal membacanya, bukan pula melalui desain pamflet lebaran yang dipasang di status.
Bolehkah aku mengucapkannya langsung? Menjabat tangan dengan ketulusan hati? Menyunggingkan senyuman perdamaian, kemudian kuperhatikan mata-mata yang memaafkan dengan segala kelapangan hati.
Maafkan segala kesalahan diri ini
Selamat Hari Raya Idul Fitri
Semoga amal ibadah kita diterima Allah Swt
Semoga kita kembali dipertemukan dengan Ramadhan
Komentar
Posting Komentar