Tiada satupun negara yang mampu terbebas dari efek globalisasi, dunia telah berubah sebagaimana yang diprediksikan Mc Luhan sebagai desa global (global village). Hal yang menarik adalah, perkembangan globalisasi justru dimulai dari kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, bukan dari bidang ekonomi atau politik.
Teori desa global awalnya menuai berbagai macam kritik. Namun kini ungkapan Mc Luhan puluhan tahun silam ternyata bukan hanya ramalan belaka, terlebih dengan kehadiran internet. Pergeseran teknologi dari tradisional ke digital membawa perubahan besar terhadap cara berkomunikasi.
Media massa lama bukan hanya satu-satunya sumber informasi, saat ini khalayak pun bisa menempati posisi itu. Terlebih dengan keberadaan media sosial sebagai salah satu bentuk dari media baru. Setiap orang dengan mudah dapat membagi status, mengunggah foto dan video serta berkomentar selayaknya berada dalam lingkungan sosial.
Perkembangan sarana informasi ini bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Satu sisi dapat menjadi sarana untuk menebarkan manfaat dan kebaikan, namun di sisi lainnya bisa menjadi sarana kejahatan, salah satunya terorisme dan radikalisme.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Radikalisme sangat lekat kaitannya dengan terorisme dan biasanya disebarkan oleh para teroris.
Tujuan terorisme radikalisme adalah mendirikan Khilafah Islamiyah berdasarkan syariat Islam. Mereka melakukan berbagai cara yang dianggapnya sebagai jihad untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka mengklaim bahwa kelompoknya lah yang paling benar dan paling memahami syariat Islam.
Jika dahulu penyebaran radikalisme dilakukan secara langsung, kini penyebaran paham ini dengan mudah masuk ke jalur daring, menjangkau lebih banyak objek, terlebih para generasi milenial yang setiap hari selalu bergantung pada media sosial.
Penyebaran paham radikal di internet rupanya cukup ampuh, terbukti puluhan masyarakat Indonesia berhasil dipengaruhi oleh kelompok Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), salah satunya adalah Nur Shadrina, seorang mantan simpatisan ISIS yang berhasil kembali ke tanah air. Ia bersama keluarganya nekat pindah ke Syiria dengan niat hijrah setelah melihat website ISIS.
Selain website, media sosial juga turut mengambil peran penyebaran radikalisme. Di media sosial seringkali kita temukan video, tulisan, gambar atau meme yang merujuk pada ujaran kebencian dan radikalisme. Sayangnya pengguna media yang awam terhadap kebenaran informasi seringakali terpengaruh dan justru ikut menyebarkan kabar tersebut.
Dalam berita yang dimuat tirto.id pada 4 Desember 2017, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyatakan, Facebook masih menjadi media yang potensial untuk menyebarkan radikalisme. Temuan itu didapatkan setelah mereka mengadakan riset dalam rentang waktu September-November 2017.
Salah satu peneliti BSBPS, Subkhi Ridho menerangkan, dari total 262 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 132 juta orang yang merupakan pengguna internet dan 106 juta merupakan pengguna media sosial. Dari angka itu, sekitar 60 persen (108 orang/komunitas) merupakan produsen radikalisme dari Facebook, 36 (64 orang/komunitas) persen hanya sebagai penyebar radikalisme. Sementara konsumen sekitar 4 persen (8 orang/komunitas).
Di Twitter, angka produsen penyebar pandangan radikalisme sebesar 39 persen (79 orang/komunitas), distributor sekaligus produsen radikalisme sekitar 22 persen (43 orang/komunitas), distributor 29 persen (58 orang/komunitas). Sementara konsumen sebesar 10 persen (20 orang/komunitas). Di sisi lain, untuk Instagram, produsen radikalisme sebesar 44 persen (30 user atau akun), 53 persen (25 akun atau orang) berperan sebagai distributor dan konsumen sebatas 3 persen (2 akun/orang). Pencarian tersebut diperoleh berdasarkan penelusuran penyampai pesan radikal di jagad media sosial.
Media sosial bukan hanya menjadi wadah bagi produsen radikalisme, tetapi juga mampu menjadi penghubung penyebaran radikalisme dari website. Untuk menjaring lebih banyak pembaca, para produsen radikalisme membagikan link website melalui media sosial.
Di Indonesia, perang melawan terorisme radikalisme telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Diawali dengan gerakan yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dengan tujuan mendirikan negara Islam Indonesia. Kini, pemerintah terus berusaha menanggulangi radikalisme dengan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selama 2015, terdapat 22 situs Islam yang diblokir karena menyebarkan radikalisme, beberapa diantaranya bahkan tidak asing bagi kita, seperti website Arrahma.com, Dakwatuna.com, Hidayatullah.com, kiblat.net, Eramuslim.com, dan Muslimdaily.com.
Untuk mencegah radikalisme, masyarakat harus diberikan pemahaman literasi media. Literasi media merupakan kemampuan khalayak yang melek terhadap media dan pesan media dalam konteks komunikasi massa. Khalayak harus mampu mengembangkan kemampuannya dalam membaca pesan-pesan media.
Masyarakat Indonesia harus mengetahui bahwa kekerasan bukan jalan yang tepat untuk mencapai tujuan syariat Islam, sejarah mencatat masuknya Islam ke Indonesia pun tidak berdasarkan pertumpahan darah. Para wali menyebarkan Islam dengan pendekatan kultural yang sarat akan kedamaian. Oleh karena itu agama Islam bisa menyebar luas di seluruh penjuru nusantara.
Gerakan mencegah radikalisasme bukan hanya tugas BNPT, melainkan tugas kita semua sebagai warga negara Indonesia, karena radikalisasi dan terorisme dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika media sosial menjadi senjata untuk menyebarkan radikalisme, tentu saja media sosial juga dapat menjadi wadah deradikalisasi yang ampuh. Apalagi media sosial menempati tempat yang sangat strategis di masa kini.
Pengguna media sosial bersama-sama perlu menggalakkan perdamaian dan toleransi. Adapun media sosial dengan pengguna terbanyak menurut survei Asosiasi Jasa Internet Indonesia (AJII) pada 2016 adalah Youtube, urutan kedua ditempati facebook, lalu instagram, twitter dan whatsapp. Generasi Y atau Z tentu saja tidak asing lagi dengan media sosial tersebut. Mereka perlu diberikan pengertian mengenai literasi media serta mengenal akun-akun penyebar paham radikal. Mereka juga harus diberikan pemahaman agama yang mendalam serta sikap empati dan kasih sayang kepada sesama manusia, agar tidak terpengaruh dengan paham-paham radikalisme.
Upaya yang dapat dilakukan adalah membuat akun-akun media sosial yang menyuarakan paham moderat, damai dan mencerahkan. Sehingga bisa menjadi kiblat bagi para pengguna media sosial. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah mengajak para pengguna media sosial, terutama para tokoh masyarakat dan “artis media sosial” yang memiliki banyak pengikut untuk menyebarkan ajaran-ajaran kebaikan, damai dan toleran.
Selanjutnya, para pengguna media sosial juga harus mampu mengecek informasi yang tersebar di media sosial. Tanyakan kepada guru atau kawan mengenai kebenarannya, jangan sampai terhasut oleh paham-paham radikal. Jadilah pengguna media sosial yang bijak, bersama-sama mencegah radikalisme, menebar perdamaian melalui media sosial.
Referensi
Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa oleh Apriadi Tamburaka, Rajawali Press
Dinamika Baru Jejaring Teroris di Indonesia dan Keterkaitannya dengan Radikalisme Transnasional, penulis Ansyaad Mbai, AS Production Indonesia, 2014
Tirto.id
KBBI
Teori desa global awalnya menuai berbagai macam kritik. Namun kini ungkapan Mc Luhan puluhan tahun silam ternyata bukan hanya ramalan belaka, terlebih dengan kehadiran internet. Pergeseran teknologi dari tradisional ke digital membawa perubahan besar terhadap cara berkomunikasi.
Media massa lama bukan hanya satu-satunya sumber informasi, saat ini khalayak pun bisa menempati posisi itu. Terlebih dengan keberadaan media sosial sebagai salah satu bentuk dari media baru. Setiap orang dengan mudah dapat membagi status, mengunggah foto dan video serta berkomentar selayaknya berada dalam lingkungan sosial.
Perkembangan sarana informasi ini bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Satu sisi dapat menjadi sarana untuk menebarkan manfaat dan kebaikan, namun di sisi lainnya bisa menjadi sarana kejahatan, salah satunya terorisme dan radikalisme.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Radikalisme sangat lekat kaitannya dengan terorisme dan biasanya disebarkan oleh para teroris.
Tujuan terorisme radikalisme adalah mendirikan Khilafah Islamiyah berdasarkan syariat Islam. Mereka melakukan berbagai cara yang dianggapnya sebagai jihad untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka mengklaim bahwa kelompoknya lah yang paling benar dan paling memahami syariat Islam.
Jika dahulu penyebaran radikalisme dilakukan secara langsung, kini penyebaran paham ini dengan mudah masuk ke jalur daring, menjangkau lebih banyak objek, terlebih para generasi milenial yang setiap hari selalu bergantung pada media sosial.
Penyebaran paham radikal di internet rupanya cukup ampuh, terbukti puluhan masyarakat Indonesia berhasil dipengaruhi oleh kelompok Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), salah satunya adalah Nur Shadrina, seorang mantan simpatisan ISIS yang berhasil kembali ke tanah air. Ia bersama keluarganya nekat pindah ke Syiria dengan niat hijrah setelah melihat website ISIS.
Selain website, media sosial juga turut mengambil peran penyebaran radikalisme. Di media sosial seringkali kita temukan video, tulisan, gambar atau meme yang merujuk pada ujaran kebencian dan radikalisme. Sayangnya pengguna media yang awam terhadap kebenaran informasi seringakali terpengaruh dan justru ikut menyebarkan kabar tersebut.
Dalam berita yang dimuat tirto.id pada 4 Desember 2017, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyatakan, Facebook masih menjadi media yang potensial untuk menyebarkan radikalisme. Temuan itu didapatkan setelah mereka mengadakan riset dalam rentang waktu September-November 2017.
Salah satu peneliti BSBPS, Subkhi Ridho menerangkan, dari total 262 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 132 juta orang yang merupakan pengguna internet dan 106 juta merupakan pengguna media sosial. Dari angka itu, sekitar 60 persen (108 orang/komunitas) merupakan produsen radikalisme dari Facebook, 36 (64 orang/komunitas) persen hanya sebagai penyebar radikalisme. Sementara konsumen sekitar 4 persen (8 orang/komunitas).
Di Twitter, angka produsen penyebar pandangan radikalisme sebesar 39 persen (79 orang/komunitas), distributor sekaligus produsen radikalisme sekitar 22 persen (43 orang/komunitas), distributor 29 persen (58 orang/komunitas). Sementara konsumen sebesar 10 persen (20 orang/komunitas). Di sisi lain, untuk Instagram, produsen radikalisme sebesar 44 persen (30 user atau akun), 53 persen (25 akun atau orang) berperan sebagai distributor dan konsumen sebatas 3 persen (2 akun/orang). Pencarian tersebut diperoleh berdasarkan penelusuran penyampai pesan radikal di jagad media sosial.
Media sosial bukan hanya menjadi wadah bagi produsen radikalisme, tetapi juga mampu menjadi penghubung penyebaran radikalisme dari website. Untuk menjaring lebih banyak pembaca, para produsen radikalisme membagikan link website melalui media sosial.
Di Indonesia, perang melawan terorisme radikalisme telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Diawali dengan gerakan yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dengan tujuan mendirikan negara Islam Indonesia. Kini, pemerintah terus berusaha menanggulangi radikalisme dengan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selama 2015, terdapat 22 situs Islam yang diblokir karena menyebarkan radikalisme, beberapa diantaranya bahkan tidak asing bagi kita, seperti website Arrahma.com, Dakwatuna.com, Hidayatullah.com, kiblat.net, Eramuslim.com, dan Muslimdaily.com.
Untuk mencegah radikalisme, masyarakat harus diberikan pemahaman literasi media. Literasi media merupakan kemampuan khalayak yang melek terhadap media dan pesan media dalam konteks komunikasi massa. Khalayak harus mampu mengembangkan kemampuannya dalam membaca pesan-pesan media.
Masyarakat Indonesia harus mengetahui bahwa kekerasan bukan jalan yang tepat untuk mencapai tujuan syariat Islam, sejarah mencatat masuknya Islam ke Indonesia pun tidak berdasarkan pertumpahan darah. Para wali menyebarkan Islam dengan pendekatan kultural yang sarat akan kedamaian. Oleh karena itu agama Islam bisa menyebar luas di seluruh penjuru nusantara.
Gerakan mencegah radikalisasme bukan hanya tugas BNPT, melainkan tugas kita semua sebagai warga negara Indonesia, karena radikalisasi dan terorisme dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika media sosial menjadi senjata untuk menyebarkan radikalisme, tentu saja media sosial juga dapat menjadi wadah deradikalisasi yang ampuh. Apalagi media sosial menempati tempat yang sangat strategis di masa kini.
Pengguna media sosial bersama-sama perlu menggalakkan perdamaian dan toleransi. Adapun media sosial dengan pengguna terbanyak menurut survei Asosiasi Jasa Internet Indonesia (AJII) pada 2016 adalah Youtube, urutan kedua ditempati facebook, lalu instagram, twitter dan whatsapp. Generasi Y atau Z tentu saja tidak asing lagi dengan media sosial tersebut. Mereka perlu diberikan pengertian mengenai literasi media serta mengenal akun-akun penyebar paham radikal. Mereka juga harus diberikan pemahaman agama yang mendalam serta sikap empati dan kasih sayang kepada sesama manusia, agar tidak terpengaruh dengan paham-paham radikalisme.
Upaya yang dapat dilakukan adalah membuat akun-akun media sosial yang menyuarakan paham moderat, damai dan mencerahkan. Sehingga bisa menjadi kiblat bagi para pengguna media sosial. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah mengajak para pengguna media sosial, terutama para tokoh masyarakat dan “artis media sosial” yang memiliki banyak pengikut untuk menyebarkan ajaran-ajaran kebaikan, damai dan toleran.
Selanjutnya, para pengguna media sosial juga harus mampu mengecek informasi yang tersebar di media sosial. Tanyakan kepada guru atau kawan mengenai kebenarannya, jangan sampai terhasut oleh paham-paham radikal. Jadilah pengguna media sosial yang bijak, bersama-sama mencegah radikalisme, menebar perdamaian melalui media sosial.
Referensi
Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa oleh Apriadi Tamburaka, Rajawali Press
Dinamika Baru Jejaring Teroris di Indonesia dan Keterkaitannya dengan Radikalisme Transnasional, penulis Ansyaad Mbai, AS Production Indonesia, 2014
Tirto.id
KBBI
Komentar
Posting Komentar