Komunikasi telah mencapai tingkat sangat maju, kini seorang
komunikator mampu berbicara dengan jutaan orang secara serempak melalui media
massa, ditambah lagi dengan kemunculan media baru yang ikut memperkaya ragam
media massa. Berbeda dengan media cetak dan elektronik yang hanya dipegang oleh
perusahaan media, media daring atau yang lebih dikenal dengan media online
mampu dijamah semua orang, baik yang berbentuk website, blog, maupun media
sosial.
Melalui media daring, setiap orang bisa menuangkan aspirasinya ke
khalayak dengan cepat dan mudah. Bahkan kita dapat menyebarkan dan menerima
informasi hanya melalui sentuhan jari. Dengan satu kali klik, informasi
langsung tersebar dan bisa dibaca jutaan manusia di berbagai penjuru dunia.
Kemudahan dan kebebasan akses informasi ini tentunya tidak bisa
terlepas dari dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, kita bisa
berkomunikasi dan menerima informasi dengan cepat, murah dan mudah, di mana pun
dan kapan pun. Namun di samping kemudahan akses informasi tersebut, sebagian
orang justru menggunakan kesempatan itu untuk menyebarkan kabar bohong atau
hoax.
Permasalahan hoax sedang ramai menghiasi media daring Indonesia,
apalagi ditambah dengan bumbu pemilihan kepala daerah (pilkada) 2017 yang
membuat kabar bohong semakin naik daun. Munculnya hoax di media didasari oleh
tujuan tertentu, baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Sayangnya, banyak
masyarakat yang masih “polos” dalam merespon berita di media. Mereka menelan berita itu bulat-bulat tanpa
mengkroscek kebenarannya.
Untuk menyebarkan hoax, para preman informasi hanya butuh
segelintir orang saja, dari 100 % pengguna media sosial, 10% adalah pembuat
hoax, sedangkan yang peranan terbesar yang berjumlah 90% berasal dari pengguna
media sosial yang ikut menyebarkan hoax tersebut. Teori ini dikenal juga dengan
teori 10 to 90
Penyebaran kabar bohong masih sulit diatasi meskipun pemerintah
telah mengaturnya dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), baik yang berisi etika penyebaran informasi maupun hukuman
bagi penyebar kabar bohong. Namun, terlepas dari peraturan pemerintah tentang
etika di media massa, ribuan tahun lalu Allah Swt dan
Rasul-Nya telah mengajarkan etika dalam menyebarkan dan menerima informasi.
Lalu, bagaimana cara mencerna dan memberi informasi dengan baik?
1.
Tabayyun (Konfirmasi)
Tabayyun secara bahasa bermakna menjelaskan, menerangkan. Dalam hal ini tabayyun
berarti mencari kejelasan dan meneliti suatu berita hingga jelas bahwa berita
itu benar. Ketika mendapatkan informasi,
janganlah langsung percaya dan hendaklah memikirkan matang-matang untuk
menyebarkannya. Allah Swt memerintahkan kita untuk selalu mengkonfirmasi setiap
berita yang kita dapat, sebagaimana firman-Nya :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات ٦)
Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu (QS. Al-Hujurat:2)
2.
Berhati-hati
dalam menyebarkan informasi
Jika ingin
menyebarkan suatu informasi, hendaklah memperhatikan dan meneliti apakah
informasi itu benar atau dusta dan mengandung prasangka,
menimbulkan kemaslahatan atau kemudaratan. Jangan sampai kita menjadi pendusta karena
informasi yang kita dengar.
قَالَ
رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : كَفَي بِالمَرْإِ كَذِبًا
أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Rasulullah Saw bersabda “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika
ia menceritakan setiap yang dia dengar” (HR Muslim)
Jika informasi
itu benar dan baik tentu saja akan membawa kebaikan bagi orang yang
menyebarkannya. Namun sebaliknya jika yang disebarkan adalah keburukan maka
yang didapatkannya adalah keburukan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ
اللّهِ صَلّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " مَنْ دَعَا إِلَى الهُدَى، كَانَ
لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ
أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَ مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ لَهُ عَلَيْهِ مِنَ
الاِثْمِ مِثْلَ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ
شَيْئًا" (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda “Barangsiapa yang
mengajak kepada suatu petunjuk, maka dia memperoleh pahala seperti pahala orang
yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala-pahala mereka. Dan
barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka dia memperoleh dosa semisal
dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka” (HR
Bukhari)
3.
Bicara
yang baik atau diam.
Banyak orang
yang dijerat hukum karena ucapan dan tulisannya di media sosial. Seorang mukmin
hendaklah menjaga lisannya dari, jika takut berkata buruk, diam lebih baik diam.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمِ الآخِرِ
فَاليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
berkata yang baik atau diam” (HR
Bukhori, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
Meskipun interaksi di media massa tidak berlangsung secara tatap
muka, namun etika komunikasi dan informasi tidaklah berbeda, yaitu dengan
memberikan informasi jujur dan bukan bohong (hoax), tidak menghina, tidak
menebar kebencian dan tidak mengadu domba. Masyarakat juga dituntut untuk
mencerna informasi dengan baik, karena yang kita butuhkan bukan hanya ponsel
pintar, tetapi juga pintar mencerna informasi.
Setiap orang bisa berperan menghapuskan hoax, yaitu dengan
mengkroscek dan tidak ikut menyebarkannya, dengan begitu kabar-kabar dusta itu tidak
akan berpindah dari satu orang ke orang lain. Jangan diam, bertindaklah. Jika
kita diam menghadapi hoax, artinya kita telah memberikan kontribusi besar untuk
pertumbuhan kabar bohong di dunia.
Komentar
Posting Komentar