Langsung ke konten utama

Tantangan Pesantren di Era Generasi Post-Milenial

Tantangan Pesantren di Era Generasi Post-Milenial
            Belumlah usai era generasi milenial, dunia akan dihadapkan oleh era baru yang dihuni oleh para generasi post-milenial. Sebutan bagi mereka yang lahir di atas tahun 1995. Generasi yang hidup dalam kemajuan informasi dan teknologi ini tentu saja memiliki pola hidup berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.
            Perubahan besar-besaran akan terjadi di berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali dunia pendidikan. Dalam hal ini, pesantren pun akan mengalami tantangan baru untuk bisa tetap berdiri di tengah-tengah generasi post-milenial.
Post-milenial merupakan generasi yang kritis dan ensiklopedik. Bagaikan ensiklopedia, mereka mengetahui banyak hal karena informasi dengan sangat mudah didapatkan. Meskipun demikian, mereka tidak menguasai suatu bidang khusus. Generasi yang sudah terkoneksi dengan internet dan media sosial sejak lahir ini cenderung mampu melakukan banyak hal (multitasking), tetapi di lain sisi mereka juga kurang fokus.
Karakteristik generasi post-milenial ini menjadi tantangan sendiri bagi pesantren. Berbeda dengan para santri zaman old yang betah mondok selama belasan bahkan puluhan tahun, generasi post-milenial cenderung memilih pendidikan di sekolah dan daerah yang berbeda-beda, karena mereka lebih terbuka kepada hal baru. Mereka ingin mendapat jaringan lebih luas dan pengalaman lebih banyak.
Namun sayang, berlama-lama mondok dan istiqomah yang diyakini mampu menembus kematangan dan keberkahan ilmu tidak lagi diminati oleh generasi Z ini. Dengan metode “melahap semua ilmu agama” yang diterapkan, pesantren akan kesulitan melahirkan para santri generasi post-milenial yang mampu menjadi pakar suatu bidang ilmu dengan rentang waktu mondok yang singkat.
Lalu, apa yang dapat dilakukan pesantren? Haruskah pesantren bertransformasi?
Direktur Pendidikan Ma’had Al Shighor Cirebon, Gus Ramzi Ahmad mengatakan, pesantren harus mampu bertransformasi menyesuaikan diri dengan zaman. Namun tentu saja nilai-nilai kepesantrenan tidak boleh dihilangkan.
Solusi bagi permasalahan ini adalah memunculkan pesantren yang berkonsentrasi di suatu bidang khusus. Jadi, meskipun santri post-milenial tidak mondok dalam kurun waktu lama, mereka bisa tetap mendalami satu bidang ilmu. Salah satu pesantren yang telah menerapkan ini adalah Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat. Pesantren yang didirikan oleh almagfurlah KH Ali Musthafa Ya’qub ini memfokuskan pengajaran dalam bidang hadis dan ilmu hadis.
Gus Ramzi Ahmad yang juga merupakan penasihat Arus Informasi Santri (AIS)  Nusantara menyampaikan solusi bagi tantangan yang dihadapi pesantren. Ada tiga hal yang bisa dilakukan pesantren, yaitu:
1.      Mentoring and coaching.
Santri yang masuk ke pesantren akan dikelompokkan dan dibimbing oleh ustadz-ustadz khusus. Metode kelompok yang lebih kecil dengan sistem mentoring akan lebih efektif dibandingkan metode ceramah di hadapan banyak santri. Dahulu, ceramah yang disampaikan kiai di hadapan ribuan santri mampu meresap ke hati dan fikiran pendengar. Namun metode ceramah di hadapan massa dengan jumlah banyak tidak lagi relevan bagi generasi post-milenial, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki fokus yang baik.
2.      Memunculkan ustad-ustadz ke media massa.
Generasi yang refleks terhadap media ini selalu ingin hal yang instan. Mereka ingin mendapatkan berbagai jawaban dengan cepat. Maka dari itu, ketika generasi Z ini menemukan sebuah permasalahan, dengan seketika mereka menanyakannya kepada internet. Dengan memunculkan para ustadz ke media massa, santri post-milenial ini akan lebih mudah mendapatkan informasi dan menghindari santri menerima paham yang salah di dunia maya.
3.      Mempromosikan pesantren ke media sosial.
             Pesantren harus dikenalkan kepada para generasi post-milenial melalui media sosial, karena generasi ini selalu bersentuhan dengan media sosial.  Dengan mempromosikan pesantren ke dunia maya, diharapkan orang-orang yang awam terhadap dunia kepesantrenan menjadi tahu dan tertarik untuk menjadi santri.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

As-Sam'iyyat

As-Sam’iyyaat Temen-temen pernah denger istilah As-sam’iyyat? Mungkin sebagian dari kita udah nggak asing lagi dengan istilah ini, As-Sam’iyyat merupakan perkara yang tidak dapat digambarkan dengan pancaindera manusia dan hanya dapat diketahui melalui al-quran dan al-hadis. Adapun perkara-perkara yang termasuk as-sam’iyyat adalah alam kubur, hari kiamat, malaikat, jembatan sirath, padang mahsyar, surga dan neraka. Bahkan, jin, dan setan juga merupakan perkara as-sam’iyyat karena kita tidak dapat melihatnya dengan kasat mata kecuali dengan kekuasaan Allah. Kita sebagai umat muslim wajib untuk meyakini akan adanya as-sam’iyyat walaupun hal tersebut hanya dapat kita dengar dari al-quran dan hadits. Dalil kewajiban beriman dengan perkara sam’iyat seperti yang Allah firmankan di dalam Al-quran : الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebah

Ibnu Qutaibah dan Ilmu Musykil al-Qur’an: Dialektika antara Akal dan Teks

Pendahuluan Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang membuat a l-Qur’an, tentu saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al -Nisa ayat 82: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur ’ an? Kalau kiranya al- Qur ’ an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat i pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. Al-Nisa’: 82) Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an ( musykil al-qur’an ), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan dalam pembahasan ilmu hadis ( mukhtalaf al-hadits ). Hal ini dikarenakan a l-Qur’an adalah haq , tidak ada pertentangan di dalamnya, berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian, tidak semua ayat a l-Qur’an dapat dipahami secara lang

Sunnah-Sunnah Sholat Menurut para Imam Madzhab

Shalat merupakan  kewajiban seorang muslim kepada Tuhannya, Allah. Ibadah inilah yang paling pertama akan dihisab di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: إِنَّ أَوَّلَ مَايُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاة “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah sholatnya.” Nah, sudahkah kita memahami betul perkara-perkara sholat? Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu yang pernah saya pelajari ketika belajar di TMI Pesantren Modern Daarul Uluum Lido dalam kitab “Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah” (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hanbali) karya Abdurrahman Al-Jaziri. Terkadang kita menyepelekan dan mengabaikan perkara-perkara sunnah dalam sholat, memang kita tidak berdosa jika meninggalkan perkara sunnah, namun hal ini tentu akan merugikan kita. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sunnah-sunnah shalat, Allah SWT tidak membe