Langsung ke konten utama

Islam antara Perang dan Damai


Pada hakikatnya, semua agama mendambakan perdamaian, begitu pula dengan islam. Namun tak bisa dimungkiri, catatan sejarah islam justru tidak terlepas dari peperangan.
Oleh karena itu, banyak orang yang salah memahami islam. Mereka menyangka agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ini disebarkan dengan pedang. Padahal, peperangan dalam islam hanyalah sebagian kecil dari perjalanan panjang dakwah Nabi Saw.
Bertahun-tahun Nabi dan para sahabat mengalami kekerasan dari kaum kafir Makkah. Tak sedikit pun umat muslim membalasnya, hingga akhirnya Allah Swt memerintahkan Nabi Saw untuk berhijrah.
Kebolehan berperang sendiri baru diturunkan usai Nabi Saw hijrah ke Madinah, yakni pada tahun kedua hijriah. Allah Swt berfirman:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا
 “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya…” (QS Al-Hajj:39)

Di antara musuh-musuh yang diperangi ada yang merupakan teman, kerabat, bahkan keluarga. Umat muslim pun dengan terpaksa berperang karena mereka didzholimi, pada hakikatnya mereka menghendaki peperangan. Allah SWT berfirman:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah suatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 216)
Peperangan dalam islam bukan disebabkan oleh perbedaan agama, melainkan oleh faktor-faktor lain. Misalnya perang badr yang terjadi antara kaum muslimin dan musyrikin Makkah. Perang yang berkecamuk pada tahun kedua hijriah ini terjadi disebabkan harta kaum muslimin yang hijrah ke Madinah dijarah oleh kaum musyrikin Makkah.
Maka ketika beberapa pedagang musyrikin Makkah pergi berdangang ke Syam, kaum muslimin hendak meminta kembali harta mereka. Namun, mereka menolak dan justru mengabarkan kaum musyrikin di Makkah bahwa mereka berada dalam bahaya.
Akhirnya kaum musyrikin Makkah mengirim kurang lebih seribu tentara untuk memerangi kaum muslimin. Perang pun akhirnya terjadi di Badr, suatu tempat di selatan Madinah.
Dalam sejarah, islam juga pernah memerangi muslim. Sebagaimana yang terjadi pada masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Usai wafatnya Rasulullah Saw, banyak umat muslim yang membangkang dengan tidak mau membayar zakat. Maka Abu Bakar yang merupakan khalifah saat itu memerintahkan kaum muslimin untuk memerangi para pembangkang zakat tersebut.
Quraish Shihab, pengarang Tafsir Al-Mishbah, mengatakan bahwa tujuan berperang bukan untuk memusuhi, bukan pula untuk membunuh, tetapi untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari itu, yakni menjunjung tinggi hak setiap individu.
Islam membagi non-muslim menjadi tiga kategori, yaitu kafir harbi, kafir musta’man dan kafir dzimmi. Kafir harbi adalah non-muslim yang memerangi kaum muslimin, kafir musta’man adalah non-muslim yang menetap dan tinggal di negara Islam untuk beberapa waktu. Dia bukan warga negara muslim, mereka tinggal untuk suatu urusan tertentu seperti bisnis atau belajar.
Sedangkan kafir dzimmi adalah non-muslim yang tinggal bersama orang-orang muslim sebagai penduduk di negara muslim. Di antara tiga kategori non-muslim ini, islam hanya memperbolehkan memerangi kafir harbi saja.
Meskipun diperbolehkan memerangi kafir harbi, peperangan dalam islam juga memiliki rambu-rambu. Kaum muslimin dilarang membunuh anak kecil, orang tua dan wanita. Islam juga melarang menghancurkan rumah-rumah dan tempat ibadah.
Nabi Saw dan para sahabat tidak berperang dengan tujuan membunuh, melainkan memusnahkan kejahatan dan kemusyrikan yang ada dalam diri musuh. Oleh karena itu, ketika musuh menyerah ia harus dilindungi.
Sebagaimana kisah Usamah bin Zaid. Suatu hari Rasulullah Saw mengutus pasukan untuk memerangi kafir Huraqah, bagian dari suku Juhainah. Saat perang berkecamuk, Usamah bin Zaid dan seorang sahabat Anshar mengejar seorang anggota Bani Huraqah yang melarikan diri.
Ketika mereka berhasil mengepungnya, tiba-tiba musuh itu mengucapkan “Laa Ilaaha Illa Allah”. Orang Anshar itu tetap menahannya, kemudian Usamah menusukkan tombaknya ke musuhnya hingga tewas.
Kabar itu sampai ke Madinah, Rasulullah Saw lalu bertanya kepada Usamah “Wahai Usamah, apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaaha Illa Allah”?
Usamah menjawab “Wahai Rasulullah, ia mengucapkannya sekedar untuk melindunginya”. Namun Rasulullah Saw terus saja menanyakan hal itu, Usamah sangat menyesal hingga ia berangan-angan belum menjadi muslim ketika itu.
Islam juga memperlakukan tawanan dengan baik, mereka tidak diperlakukan semena-mena, tidak pula dianiaya. Para tawanan dapat menebus dirinya dengan membayar atau dengan mengajarkan baca tulis kepada umat muslim.
Maka sangat salah jika ada seorang muslim yang berdakwah hanya dengan perang. Apalagi mengaku berjihad dengan membunuh warga sipil, orang tua, wanita dan anak-anak, serta menghancurkan rumah ibadah. Peperangan yang terjadi dalam islam bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mencapai tujuan islam yang sesungguhnya, yakni perdamaian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

As-Sam'iyyat

As-Sam’iyyaat Temen-temen pernah denger istilah As-sam’iyyat? Mungkin sebagian dari kita udah nggak asing lagi dengan istilah ini, As-Sam’iyyat merupakan perkara yang tidak dapat digambarkan dengan pancaindera manusia dan hanya dapat diketahui melalui al-quran dan al-hadis. Adapun perkara-perkara yang termasuk as-sam’iyyat adalah alam kubur, hari kiamat, malaikat, jembatan sirath, padang mahsyar, surga dan neraka. Bahkan, jin, dan setan juga merupakan perkara as-sam’iyyat karena kita tidak dapat melihatnya dengan kasat mata kecuali dengan kekuasaan Allah. Kita sebagai umat muslim wajib untuk meyakini akan adanya as-sam’iyyat walaupun hal tersebut hanya dapat kita dengar dari al-quran dan hadits. Dalil kewajiban beriman dengan perkara sam’iyat seperti yang Allah firmankan di dalam Al-quran : الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebah

Ibnu Qutaibah dan Ilmu Musykil al-Qur’an: Dialektika antara Akal dan Teks

Pendahuluan Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang membuat a l-Qur’an, tentu saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al -Nisa ayat 82: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur ’ an? Kalau kiranya al- Qur ’ an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat i pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. Al-Nisa’: 82) Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an ( musykil al-qur’an ), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan dalam pembahasan ilmu hadis ( mukhtalaf al-hadits ). Hal ini dikarenakan a l-Qur’an adalah haq , tidak ada pertentangan di dalamnya, berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian, tidak semua ayat a l-Qur’an dapat dipahami secara lang

Sunnah-Sunnah Sholat Menurut para Imam Madzhab

Shalat merupakan  kewajiban seorang muslim kepada Tuhannya, Allah. Ibadah inilah yang paling pertama akan dihisab di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: إِنَّ أَوَّلَ مَايُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاة “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah sholatnya.” Nah, sudahkah kita memahami betul perkara-perkara sholat? Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu yang pernah saya pelajari ketika belajar di TMI Pesantren Modern Daarul Uluum Lido dalam kitab “Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah” (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hanbali) karya Abdurrahman Al-Jaziri. Terkadang kita menyepelekan dan mengabaikan perkara-perkara sunnah dalam sholat, memang kita tidak berdosa jika meninggalkan perkara sunnah, namun hal ini tentu akan merugikan kita. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sunnah-sunnah shalat, Allah SWT tidak membe