Langsung ke konten utama

Aku yang Gagal

Hai!

Entah siapapun yang kusapa kali ini! Tak masalah, aku hanya ingin meluapkan keluh kesahku. Karena saat ini aku sendirian, atau tepatnya berdua dengan bayiku yang sedang terlelap di ranjang. Aku sering curhat juga ke bayiku, meskipun saat aku menangis, entah kenapa dia malah tertawa. Oh, mungkin saja aku adalah salah satu sumber kebahagiaan baginya, jadi saat aku berbicara padanya, mengenai apapun itu, dia akan merasa senang. Tak apa, setidaknya ada orang yang bisa kujadikan teman curhat, meskipun tak bisa memberikan solusi apapun.

Entah kenapa saat ini aku sedang merasa gagal dalam segala hal, mulai dari pekerjaan, studi, hingga gagal menjadi ibu dan istri yang baik. Penyebabnya, aku selalu melakukan banyak hal, semuanya jadi setengah-setengah. Tak ada yang benar-benar aku kuasai, tak pernah bisa totalitas melakukan suatu hal. Ya, multiperan atau multitasking memang aku sukai, tapi, pada beberapa kondisi, aku benar-benar merasa burnout. Aku berharap bisa sekuat ibuku, sumber inspirasiku, tapi sulit sekali rasanya.  

Saat ini, aku merasa seperti tidak berhak mendapatkan kebahagiaan, karena aku dituntut menjadi sempurna untuk semua hal. Tak boleh ada waktu luang, semua harus dimanfaatkan. Aku kehilangan waktuku sendiri. 

Saat ini, aku bahkan berharap bisa sembunyi, tak diketahui siapapun. Bahkan aku tak berani hanya sekadar membagi aktivitas dan kebahagiaanku di media sosial. Aku takut orang lain menghujatku, atau sekadar menanyakan hasil pekerjaanku. Aku merasa gagal.

Saat ini, hal terbesar yang membuatku terus berusaha bertahan adalah buah hatiku. Dia mungkin satu-satunya orang yang paling membutuhkanku, di saat semua orang mampu menjalani hidup tanpaku. Aku mungkin satu-satunya orang yang akan paling banyak berkorban untuknya, hartaku, waktuku, bahkan nyawaku juga kupertaruhkan untuknya. Tanpa disadari, anakku adalah sumber kekuataanku, meskipun di satu sisi, waktuku terkuras untuknya. Sebuah kontradiksi dan dilema bukan?

Ya, aku seorang ibu, seorang istri, seorang pelajar, seorang guru, seorang pekerja. Bisakah aku menjadi semua itu? Atau sejatinya aku hanya seorang pecundang belaka?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Hadith Berdasarkan Jumlah Perawi dan Cara Penyampaiannya

BAB I PENDAHULUAN                    I.             Latar Belakang Hadits merupakan pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an, maka dari mempelajarinya merupakan suatu kebutuhan. Untuk memahami hadits diperlukan adanya ilmu dasar yang disebut dengan Mustholah Hadits. Berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat qoothi’ul  wuruud, hadits bersifat dzhonniyul wuruud , sehingga hadits memiliki derajat yang berbeda-beda. Salah satu pembahasan dalam ilmu hadits adalah klasifikasi hadits berdasarkan jumlah perawi yang meriwayatkannya. Semakin banyak periwayat yang meriwayatkan, maka semakin besar juga kemungkinan Klasifikasi ini dibagi menjadi dua, yaitu hadits yang mutawatir dan hadits ahad . Hadits ahad terbagi lagi menjadi tiga yaitu masyhur , aziz dan ghorib. Adanya klasifikasi ini untuk membantu ulama hadits dalam menentukan apakah k...

Ibnu Qutaibah dan Ilmu Musykil al-Qur’an: Dialektika antara Akal dan Teks

Pendahuluan Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang membuat a l-Qur’an, tentu saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al -Nisa ayat 82: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur ’ an? Kalau kiranya al- Qur ’ an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat i pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. Al-Nisa’: 82) Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an ( musykil al-qur’an ), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan dalam pembahasan ilmu hadis ( mukhtalaf al-hadits ). Hal ini dikarenakan a l-Qur’an adalah haq , tidak ada pertentangan di dalamnya, berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian, tidak semua ayat a l-Qur’an dapat dipahami secara lang...

Sunnah-Sunnah Sholat Menurut para Imam Madzhab

Shalat merupakan  kewajiban seorang muslim kepada Tuhannya, Allah. Ibadah inilah yang paling pertama akan dihisab di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: إِنَّ أَوَّلَ مَايُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاة “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah sholatnya.” Nah, sudahkah kita memahami betul perkara-perkara sholat? Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu yang pernah saya pelajari ketika belajar di TMI Pesantren Modern Daarul Uluum Lido dalam kitab “Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah” (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hanbali) karya Abdurrahman Al-Jaziri. Terkadang kita menyepelekan dan mengabaikan perkara-perkara sunnah dalam sholat, memang kita tidak berdosa jika meninggalkan perkara sunnah, namun hal ini tentu akan merugikan kita. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sunnah-sunnah shalat, Allah SWT tidak m...