Langsung ke konten utama

Sudahkah Kita Mendapatkan Keberkahan dalam Hidup?

Ketika membaca teks-teks keagamaan, kita akan sering menemukan kata "berkah." Kita mungkin bisa membaca dengan mudah maknanya, bahwa berkah adalah kebaikan yang bertambah. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, sudahkah kita perhatikan, "Apakah hidup saya sudah mendapat keberkahan?" "Apa keberkahan yang saya dapatkan?" "Apakah keberkahan rezeki? Keberkahan ilmu? Keberkahan usia? atau yang lainnya?"

Beberapa hari ini, saya memikirkan, "Apakah saya sudah mendapatkan keberkahan dalam hidup?"

Lalu, malam kemarin saya diingatkan nikmat Allah melalui pemberian sembako dari salah satu anggota Majelis Taklim. Di hari sebelumnya, begitu melihat box beras yang hampir kosong, saya bilang ke suami "Mas, beras udah mau habis." Lalu, keesokan malamnya, ternyata saya langsung dapat sembako (yang di dalamnya sudah termasuk beras 5 kg dan minyak goreng 2 liter).

Alhamdulillah, baru aja kemarin bilang beras hampir habis. Hari ini sudah bisa refill beras lagi tanpa membelinya. 

Setelah saya pikir-pikir, selama tujuh bulan saya menikah, saya baru satu kali membeli beras dan minyak. Itu pun saya beli minyak bukan karena stock di dapur habis, melainkan saat mampir ke minimarket, sedang ada promo minyak goreng, jadi saya iseng membelinya. Belum lagi kebutuhan lainnya seperti gula pasir, teh, kopi, hingga tepung terigu. Stocknya banyak sekali berkat pemberian orang-orang.

Kemudian saya berpikir, mungkin ini adalah salah satu bentuk keberkahan dalam rezeki. Selalu ada rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Alhamdulillah, selalu diberikan kecukupan rezeki, mendapat rezeki yang halal, dan semoga senantiasa diberikan keberkahan di dalamnya.

Semoga suatu saat, saya juga bisa berada di maqam orang-orang yang banyak memberi, bukan hanya yang sekadar menerima hadiah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

As-Sam'iyyat

As-Sam’iyyaat Temen-temen pernah denger istilah As-sam’iyyat? Mungkin sebagian dari kita udah nggak asing lagi dengan istilah ini, As-Sam’iyyat merupakan perkara yang tidak dapat digambarkan dengan pancaindera manusia dan hanya dapat diketahui melalui al-quran dan al-hadis. Adapun perkara-perkara yang termasuk as-sam’iyyat adalah alam kubur, hari kiamat, malaikat, jembatan sirath, padang mahsyar, surga dan neraka. Bahkan, jin, dan setan juga merupakan perkara as-sam’iyyat karena kita tidak dapat melihatnya dengan kasat mata kecuali dengan kekuasaan Allah. Kita sebagai umat muslim wajib untuk meyakini akan adanya as-sam’iyyat walaupun hal tersebut hanya dapat kita dengar dari al-quran dan hadits. Dalil kewajiban beriman dengan perkara sam’iyat seperti yang Allah firmankan di dalam Al-quran : الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebah

Ibnu Qutaibah dan Ilmu Musykil al-Qur’an: Dialektika antara Akal dan Teks

Pendahuluan Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang membuat a l-Qur’an, tentu saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al -Nisa ayat 82: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur ’ an? Kalau kiranya al- Qur ’ an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat i pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. Al-Nisa’: 82) Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an ( musykil al-qur’an ), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan dalam pembahasan ilmu hadis ( mukhtalaf al-hadits ). Hal ini dikarenakan a l-Qur’an adalah haq , tidak ada pertentangan di dalamnya, berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian, tidak semua ayat a l-Qur’an dapat dipahami secara lang

Sunnah-Sunnah Sholat Menurut para Imam Madzhab

Shalat merupakan  kewajiban seorang muslim kepada Tuhannya, Allah. Ibadah inilah yang paling pertama akan dihisab di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: إِنَّ أَوَّلَ مَايُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاة “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah sholatnya.” Nah, sudahkah kita memahami betul perkara-perkara sholat? Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu yang pernah saya pelajari ketika belajar di TMI Pesantren Modern Daarul Uluum Lido dalam kitab “Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah” (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hanbali) karya Abdurrahman Al-Jaziri. Terkadang kita menyepelekan dan mengabaikan perkara-perkara sunnah dalam sholat, memang kita tidak berdosa jika meninggalkan perkara sunnah, namun hal ini tentu akan merugikan kita. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sunnah-sunnah shalat, Allah SWT tidak membe