Langsung ke konten utama

Sebenarnya Apa yang Kau Cari?

"Sebenernya apa sih yang teteh cari?" tanya kawanku di ujung telpon sana.

Hening, aku terdiam beberapa saat.

"Entah ya, aku cuma mencoba menikmati apa yang lagi aku jalani," jawabku sekenanya.

Pertanyaan itu membuatku jadi tambah overthinking. Tiba-tiba mulai terbesit lagi di kepala. "Kenapa kuliah lagi? ""Kenapa sibuk2in diri kerja sampe sebegitunya?" "Emang apa yang kamu cari?"

Kami memang sedang krisis identitas. Jangankan orang lain, diri sendiri saja sering kali bertanya-tanya "Kenapa menjalani ini?" "Mau apa ke depannya?" "Nanti bagaimana?" dan lain sebagainya. 

Semakin dewasa, kita memang akan lebih sering mempertanyakan eksistensi diri. Mungkin dari situlah lahir berbagai gejala quarter life crisis.

Saat usia belasan tahun, mayoritas orang mungkin punya mimpi yang begitu tinggi. Tapi memasuki usia 25 tahunan, aku pribadi semakin mencoba berpikir realistis. Tidak terlalu berekspektasi tinggi. Cukup berpikir "Lakukan apa yang sekiranya mampu dan realistis untuk dilakukan."

Aku jadi teringat suatu malam, selepas mengerjakan skripsi di perpustakaan kampus, aku ngobrol dengan kawanku di tangga pelataran perpus. Sambil menatap langit dan lampu malam, tiba-tiba aku nyeletuk "Fit, pengen cepet kerja yang bisa mengubah dunia."

Kawanku hanya tertawa, mungkin menyadari bahwa angan-anganku tidak masuk akal. Bagaimana mungkin orang biasa sepertiku bisa mengubah dunia?

Saat memasuki dunia kerja, aku pun tersadar. Aku terlalu kecil untuk bisa mengubah dunia. Maka, aku mencoba berpikir realistis. Tak perlu berangan-angan mengubah dunia, cukuplah bermanfaat bagi sesama. 

Cobaan kehidupan tak hanya sampai situ, ketika sedang asyik dengan kesibukan kerja, juga senang karena bisa punya penghasilan sendiri, wabah Covid-19 tiba-tiba menerjang dunia. Aku dirumahkan, kerja jadi serabutan, ada pemasukan ketika dapat project saja. Keuangan tiba-tiba tidak stabil, padahal sudah memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Bagaimana caranya aku bisa bayar kuliah? 

Sejak pandemi, aku jadi lebih sering overthinking, begitu juga dengan kawan-kawanku. Untungnya, kami masih keep in touch meskipun sudah lulus dan punya jalan hidup masing-masing. Setidaknya, itu bisa sedikit menghibur karena kami bisa saling bertukar cerita dan bertukar saran.

Tapi aku beruntung, setidaknya hingga usiaku genap 25 tahun, aku bisa menjalani hidup dengan normal. Saat kecil, aku bisa main rumah-rumahan di kebun belakang rumah. Saat bapakku membakar ranting dan dedaunan gugur, aku sering memasukkan singkong yang baru dicabut ke dalam api tabunan. Kemudian main rumah-rumahan yang didirikan dengan kayu beratapkan daun pisang. Setelah singkong matang, kami kemudian memakannya hangat-hangat.

Teringat juga saat kami main masak-masakan dengan daun mangkok, daun melinjo dan tali putri, atau masak nasi goreng kembang duren di kebun samping rumah, atau main bekel dan congklak, main lempar batu, main karet, main rumah-rumahan di bekas tebangan pohon, dan lain sebagainya. Ah,, betapa indahnya saat itu. Tak banyak punya pikiran, hanya bermain, belajar, dan mengaji.

Saat masuk pesantren, aku menjalani hari-hari yang luar biasa. Fokus belajar, punya banyak teman, menempa diri di ekstrakulikuler dan lain sebagainya. Merasakan jerih payah belajar demi kelulusan, kemudian menyiapkan farewell, semuanya berjalan normal. Kami lewati tanpa khawatir akan pandemi. 

Saat kuliah aku kembali menempa diri, baik di kampus maupun di pondok Darus-Sunnah, semuanya kami jalani dengan amat menyenangkan. Belajar di kelas, makan siang di pesanggrahan, KKN di desa-desa, istijmam dan jalan-jalan, juga wisuda secara normal dan tatap muka. Sungguh syukur tiada tara.

Tak lama setelah aku wisuda, baru beberapa bulan mengenyam dunia kerja, pandemi tiba-tiba menyapa. Pengalaman kerja belum seberapa, tabungan belum banyak, asuransi kesehatan belum punya, bahkan menikmati hasil kerja dengan jalan-jalan pun belum sempat. Semua ambyar. 

Tapi aku bersyukur, setidaknya hingga usia 25 aku bisa hidup normal. Melihat kehidupan dan nasib adik-adikku di masa pandemi membuatku ikut sedih dan prihatin. Tidak bisa KKN offline, tidak bisa mengerjakan skripsi bareng di perpus, tidak bisa wisuda dan sifang offline, tidak bisa merasakan serunya UN, tidak bisa berkumpul untuk perpisahan, tidak bisa bersekolah seperti biasa, dan lain sebagainya.

Sementara itu, banyak orang yang kini sedang diuji dengan penyakit dan kematian. Aku dan keluarga alhamdulillah sehat semua. Kami bisa makan setiap hari meskipun hanya di rumah saja. Sedangkan banyak rakyat yang semakin sengsara di masa pandemi ini. Kehilangan pekerjaan, tak bisa berjualan karena berbagai keterbatasan, putus sekolah, dan semua kesengsaraan lainnya.

Maka, aku kembali mencoba realistis dan bersyukur. Bukankah karena pandemi ini aku sekeluarga jadi bisa lebih sering berkumpul? Padahal biasanya kami sibuk masing-masing. Aku juga jadi bisa meluangkan waktu untuk belajar memasak. Meskipun di rumah saja, setidaknya aku masih bisa belajar dan mencoba berbagai hal baru.

Kembali lagi ke pertanyaan pertama. Lalu apa sebenarnya yang kau cari?

Aku belum bisa jawab saat ini. Sebab, aku pun masih mencari hakikat kehidupan. Semoga suatu saat kutemukan jawabannya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

As-Sam'iyyat

As-Sam’iyyaat Temen-temen pernah denger istilah As-sam’iyyat? Mungkin sebagian dari kita udah nggak asing lagi dengan istilah ini, As-Sam’iyyat merupakan perkara yang tidak dapat digambarkan dengan pancaindera manusia dan hanya dapat diketahui melalui al-quran dan al-hadis. Adapun perkara-perkara yang termasuk as-sam’iyyat adalah alam kubur, hari kiamat, malaikat, jembatan sirath, padang mahsyar, surga dan neraka. Bahkan, jin, dan setan juga merupakan perkara as-sam’iyyat karena kita tidak dapat melihatnya dengan kasat mata kecuali dengan kekuasaan Allah. Kita sebagai umat muslim wajib untuk meyakini akan adanya as-sam’iyyat walaupun hal tersebut hanya dapat kita dengar dari al-quran dan hadits. Dalil kewajiban beriman dengan perkara sam’iyat seperti yang Allah firmankan di dalam Al-quran : الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebah

Ibnu Qutaibah dan Ilmu Musykil al-Qur’an: Dialektika antara Akal dan Teks

Pendahuluan Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang membuat a l-Qur’an, tentu saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al -Nisa ayat 82: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur ’ an? Kalau kiranya al- Qur ’ an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat i pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. Al-Nisa’: 82) Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an ( musykil al-qur’an ), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan dalam pembahasan ilmu hadis ( mukhtalaf al-hadits ). Hal ini dikarenakan a l-Qur’an adalah haq , tidak ada pertentangan di dalamnya, berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian, tidak semua ayat a l-Qur’an dapat dipahami secara lang

Sunnah-Sunnah Sholat Menurut para Imam Madzhab

Shalat merupakan  kewajiban seorang muslim kepada Tuhannya, Allah. Ibadah inilah yang paling pertama akan dihisab di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: إِنَّ أَوَّلَ مَايُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاة “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah sholatnya.” Nah, sudahkah kita memahami betul perkara-perkara sholat? Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu yang pernah saya pelajari ketika belajar di TMI Pesantren Modern Daarul Uluum Lido dalam kitab “Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah” (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hanbali) karya Abdurrahman Al-Jaziri. Terkadang kita menyepelekan dan mengabaikan perkara-perkara sunnah dalam sholat, memang kita tidak berdosa jika meninggalkan perkara sunnah, namun hal ini tentu akan merugikan kita. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sunnah-sunnah shalat, Allah SWT tidak membe