Langsung ke konten utama

Cadar, antara Syariat, Tren dan Budaya

Akhir-akhir ini penggunaan cadar seperti menjadi tren di kalangan muslimah Indonesia. Terbukti dengan banyaknya unggahan akhwat-akhwat bercadar yang mulai memenuhi beranda. Dari mulai ukhti-ukhti bercadar dengan caption anjuran ibadah dan hijrah, hingga caption yang menawarkan berbagai produk dagangan.

Di berbagai media sosial para perempuan bercadar terlihat bangga dengan penampilannya. Sambil cekrak cekrek sana sini, dengan narsisnya foto itu pun tersebar di media sosial miliknya. Sekarang cadar juga sudah macam-macam modelnya, pakaian teman-teman yang bercadar juga bukan hanya hitam, tapi lebih cerah dan berwarna-warni, jadi lebih modis.

Pergeseran fungsi penggunaan cadar ini saya saksikan sendiri di lingkungan saya, bahkan terjadi juga oleh beberapa teman saya. Beberapa teman yang dahulunya biasa saja sekarang mulai menggunakan cadar. Saya tidak menghakimi apakah dia benar-benar ingin “hijrah” atau ikut-ikutan tren. Saya tidak ikut campur, karena urusan niat ada di hati, tidak bisa dihakimi secara zahir.

Saya sendiri tidak mempermasalahkan penggunaan cadar, saya bersikap toleran terhadap teman-teman yang bercadar. Saya juga bersikap biasa saja, tidak membeda-bedakan apalagi mendiskriminasi.

Justru saya kagum dengan teman-teman yang berani bercadar karena “Berani Berhijrah”. Mereka mau secara totalitas mengubah penampilannya, menutup aurat hingga wajah.

Pakai cadar bukan perkara yang mudah, saya tahu bagaimana repotnya meskipun saya tidak menggunakannya. Karena kalau saya pakai masker saja pengapnya minta ampun, keringat pasti sudah memenuhi pipi dan hidung, apalagi pakai cadar, pasti sesak dan lebih panas lagi. Kalau di Arab yang kawasannya penuh debu, memakai cadar selain sebagai alat penutup wajah, juga menjadi pilihan yang tepat untuk menjaga pernafasan dari debu. Karena kemungkinan kalau saya di sana juga bakal maskeran kemana-mana. Hehe

Selain itu, orang yang bercadar pasti kesulitan makan, karena harus memasukkan makanannya dari bawah cadarnya. Bibi saya juga menggunakan cadar, dan saya agak risih juga kalau melihat beliau makan.

Siang tadi, saya sempat heran memerhatikan ukhti bercadar di samping saya, entah apa yang dia lakukan, tangannya dimasukkan ke balik cadarnya, dia terlihat begitu repot, berkali-kali cadarnya diperbaiki. Setelah tangannya dikeluarkan saya baru menyadari kalau dia tadi sedang minum. Duh, untuk minum saja susah toh.

Makanya, pakai cadar itu penuh perjuangan loh. Selain karena ribet saat menggunakannya, mereka juga pasti akan dihadapkan dengan berbagai nyinyiran dari lingkungan yang melihat dia dengan tatapan aneh.

Sekarang ukhti-ukhti bercadar juga makin sering saya temui di fakultas saya, mungkin dengan banyaknya pengguna cadar, mereka jadi lebih percaya diri untuk mengekspresikan diri.

Dahulu saat pertama kali masuk UIN, saya sekelompok dengan teman yang sangat asyik, orangnya supel dan bawel juga, kalau kata orang sunda mah nyablak. Setelah mengikuti beberapa semester perkuliahan dan ikut di salah satu organisasi intra (kamu bisa tebak sendiri kira2 organisasi apa) dia akhirnya memutuskan bercadar.

Saya sama sekali tidak memprotes keputusan dia bercadar, saya juga tidak menanyakan mengapa dia memutuskan untuk bercadar, saya berinteraksi seperti biasa dengan dia.

Di suatu seminar, saya datang bersama teman saya, kalau ngga salah temen Darsun. Di sana saya bertemu dengan teman bercadar itu, pas ketemu kita langsung riweuh ngobrol ngalor ngidul. Sifat temanku itu belum berubah meskipun sudah bercadar, masih ceriwis dan cerewet. Bahkan dia bicara dengan nada yang tinggi, kemudian tertawa terbahak-bahak.

Usai ngobrol dengan dia, temen yang bareng denganku langsung nyinyir “Temenmu kok bercadar tapi sikapnya ga dijaga”. Aku cuma senyum-senyum sambil jawab “Ya emang begitu orangnya”, hehe.

Kasus kedua terjadi pada teman yang saya kenal dari media sosial, saya belum pernah bertemu langsung dengan orang itu, tapi pernah telfonan dan sering chatan dan balas-balasan komen.

Beberapa minggu lalu saya lihat dia menghapus postingan di instagramnya. Hanya beberapa foto saja yang tersisa, itu pun bukan foto yang menampakkan dirinya. Hingga suatu hari akhirnya dia mengunggah foto dirinya dengan menggunakan cadar, captionnya kurang lebih begini “Saya bukan tipikal orang yang berubah hanya karena tren, tapi ini karena kesadaran diri saya”.

Namun beberapa hari ini saya perhatikan akun dia kembali berubah, foto-foto bercadar sudah lenyap. Kini postingannya kembali normal, berhijab tanpa menggunakan cadar. Entah apa yang membuatnya kembali berubah pikirkan. Sekali lagi saya tidak ikut campur.

Sejak kecil saya sudah terbiasa melihat orang-orang bercadar. Kawasan di sekitar rumah saya juga banyak dihuni ibu-ibu bercadar dan bapak-bapak berjenggot dan berpakaian putih, kami biasa memanggilnya jamaah khuruj.

Kami tidak menganggap mereka ancaman bagi daerah kami, kami tetap berinteraksi dengan baik. Tentu belum pernah ada kasus pula yang mengindikasi mereka terlibat dengan golongan-golongan radikal, seperti ISIS atau jamaah bom bunuh diri. Setiap sore Mushala depan rumah saya juga dipenuhi dengan jamaah yang melakukan kajian.

Saat duduk di Sekolah Dasar saya juga belajar mengaji di rumah bibi saya yang bercadar, biasanya kami memanggilnya Bi Ifah. Bibi saya itu hafidzhoh, suaranya bagus dan saya selalu suka kalau bi Ifah jadi imam.

Suatu ketika, bi Ifah juga pernah menganjurkan saya untuk menggunakan cadar, saya yang masih SD ketika itu hanya senyum-senyum saja hehe. Sekarang juga gatau jawab apa sih kalau disuruh beradar, paling senyum-senyum juga, hehe.

Terlepas dari kontroversi penggunaan cadar, saya membetulkan bahwa ukhti-ukhti bercadar biasanya menutup diri. Termasuk bibi saya, bibi jarang keluar rumah, sepertinya saya juga tidak pernah melihat bibi pergi ke mall. Saya hanya sesekali melihat bibi meskipun rumahnya tepat berada di depan rumah saya, paling kami hanya bertemu di warung atau saat ke masjid untuk Shalat Ied. Saat keluar rumah, bibi saya juga biasanya pergi dan berkumpul dengan tetangga-tetangga saya yang juga bercadar, tidak banyak berbaur dengan yang lain.

Tetapi teman-teman bercadar di kampus masih lebih terbuka, mereka masih mau bergaul meskipun dengan teman yang tak bercadar. 


Sepertinya tulisan iseng saya ini kepanjangan, sudah dulu ya.




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

As-Sam'iyyat

As-Sam’iyyaat Temen-temen pernah denger istilah As-sam’iyyat? Mungkin sebagian dari kita udah nggak asing lagi dengan istilah ini, As-Sam’iyyat merupakan perkara yang tidak dapat digambarkan dengan pancaindera manusia dan hanya dapat diketahui melalui al-quran dan al-hadis. Adapun perkara-perkara yang termasuk as-sam’iyyat adalah alam kubur, hari kiamat, malaikat, jembatan sirath, padang mahsyar, surga dan neraka. Bahkan, jin, dan setan juga merupakan perkara as-sam’iyyat karena kita tidak dapat melihatnya dengan kasat mata kecuali dengan kekuasaan Allah. Kita sebagai umat muslim wajib untuk meyakini akan adanya as-sam’iyyat walaupun hal tersebut hanya dapat kita dengar dari al-quran dan hadits. Dalil kewajiban beriman dengan perkara sam’iyat seperti yang Allah firmankan di dalam Al-quran : الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebah

Ibnu Qutaibah dan Ilmu Musykil al-Qur’an: Dialektika antara Akal dan Teks

Pendahuluan Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang membuat a l-Qur’an, tentu saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al -Nisa ayat 82: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur ’ an? Kalau kiranya al- Qur ’ an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat i pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. Al-Nisa’: 82) Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an ( musykil al-qur’an ), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan dalam pembahasan ilmu hadis ( mukhtalaf al-hadits ). Hal ini dikarenakan a l-Qur’an adalah haq , tidak ada pertentangan di dalamnya, berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian, tidak semua ayat a l-Qur’an dapat dipahami secara lang

Sunnah-Sunnah Sholat Menurut para Imam Madzhab

Shalat merupakan  kewajiban seorang muslim kepada Tuhannya, Allah. Ibadah inilah yang paling pertama akan dihisab di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: إِنَّ أَوَّلَ مَايُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاة “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah sholatnya.” Nah, sudahkah kita memahami betul perkara-perkara sholat? Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu yang pernah saya pelajari ketika belajar di TMI Pesantren Modern Daarul Uluum Lido dalam kitab “Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah” (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hanbali) karya Abdurrahman Al-Jaziri. Terkadang kita menyepelekan dan mengabaikan perkara-perkara sunnah dalam sholat, memang kita tidak berdosa jika meninggalkan perkara sunnah, namun hal ini tentu akan merugikan kita. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sunnah-sunnah shalat, Allah SWT tidak membe