Langsung ke konten utama

Sejuta Cerita Jeungjing

Sejuta Cerita Jeungjing
Perjalanan Segera Dimulai
Kuliah Kerja Nyata, awalnya kata-kata itu nampak berat di telinga saya. Bagaimana tidak, membayangkan tinggal selama satu bulan di atap yang sama bersama orang-orang yang baru saya kenal, belum lagi kami harus menjalankan berbagai macam program kerja untuk memajukan desa. Dengan teman-teman Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) yang sudah lama kenal saja masih sering tidak kompak, apalagi dengan orang baru?. Pikiran itu mulai menghantui, saya menceritakan keluh kesah itu kepada Kepala Jurusan, beliau kemudian menasihati saya panjang lebar, saya mencoba mengelak namun akhirnya menelan juga nasihat-nasihat beliau.
Saat pengumuman kelompok KKN dibagikan, dengan cepat saya mencari nama saya, rasa khawatir seperti naik ke ubun-ubun. Tidak perlu lama mencari, karena nama saya tercatat rapi di nomor kelompok 018. Saya perhatikan nama-nama yang tertera di kelompok itu, mungkin ada satu dua orang yang saya kenal. Benar saja, ada nama teman sekelas saya di sana, M. Nur Faqih Ghozali atau yang biasa dipanggil Faza, apa pula teman sepesantren dulu, Rani Widiastuti. Di hari itu pula saya berdiskusi dengan Faza “Bagaimana kalau kita bikin grup?” Tanpa berpikir panjang, Faza langsung mengeksekusi pembuatan grup dengan modal nomor hp yang tercantum di pengumuman tersebut.
Saat grup terbentuk, kami pun mulai berkenalan lewat grup, kemudian mengatur jadwal bertemu. Beberapa kali pertemuan menghasilkan struktur kelompok KKN 018, nama kelompok, visi dan misi, rancangan program kerja dan jadwal untuk mengadakan survei, serta proposal KKN kelompok 018.
Perjalanan segera dimulai. Hari itu lautan almamater biru mewarnai aula Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sofa-sofa berjajar rapi di atas panggung. Kali ini, aula bukan dipadati oleh para wisudawan, bukan juga para peserta ospek, melainkan mahasiswa berseragam almamater yang akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata 2017. Begitu pula dengan saya, Fera Rahmatun Nazilah, mahasiswi jurusan Jurnalistik yang akan memasuki semester 7.
Acara pelepasan KKN 2017 dimulai, saya duduk di bagian kanan mengikuti rangkaian acara pelepasan, pukul 10.40 WIB acara selesai dan ditutup dengan pelepasan balon. Warna warni balon terlihat indah mewarnai siang terik di langit Ciputat, mengiringi keberangkatan 170 kelompok yang akan melaksanakan KKN.

Infinity, Keluarga Baruku
Satu atap, satu hati, satu tujuan. Itulah yang harus kami tanamkan, beberapa kali pertemuan rasanya belum cukup untuk mengetahui karakter setiap orang. Namun kali ini kami akan tinggal di atap yang sama, dengan tujuan yang sama, oleh karena itu kami harus menyatukan hati, tidak boleh ada rasa ego dan angkuh dalam diri.
Infinity, (Innovation for nation and society) itulah nama kelompok kami. Kelompok yang terdiri dari 17 orang dengan latar belakang tujuh fakultas yang berbeda. Bersama-sama kami menapaki tanah Desa Jeungjing, bertekad untuk menjadikan desa ini lebih baik.
17 anggota KKN Infinity antara lain, saya (Fera), Rani, Nurul, Laili, Andini, Salfa, Mutia, Bella, Brili, Faza, Ecky, Raihan, Dera, Purwo, Hasan, Ilham, dan Riki. Saya, Faza dan Salfa dari Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Mutia, Ecky, Rani dan Hasan dari Fakultas Syariah dan Hukum, Ilham dan Nurul dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Dera dan Laili dari Fakultas Sains dan Teknologi, Reihan dan Brili dari Fakultas Adab dan Humaniora, Riki dan Andini dari Fakultas Ushuludin, serta Purwo dan Bella dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Pada awalnya saya merasa takut tidak dapat beradaptasi, meskipun sudah terbiasa jauh dari orang tua dan hidup di dunia pesantren semenjak kelas 1 MTs, rasanya kali ini sangat berbeda, apalagi jika harus satu rumah dengan laki-laki. Namun saya mencoba untuk membiasakan diri dan beradaptasi sebaik mungkin.
Hari-hari berjalan dengan baik, satu persatu program kerja terpenuhi. Saya pun mulai mengenal dan memahami kepribadian teman-teman saya. Senang, tawa, sedih, tangis, kesal, dan marah sudah menjadi bumbu sehari-hari. Namun kami selalu memperbaiki diri hari ke hari, mencoba memahami satu dan lainnya.
Bagi saya, KKN bukan hanya momen untuk mengabdi kepada masyarakat. Saya banyak belajar dari kegiatan KKN ini, baik pelajaran hidup maupun keterampilan. Di KKN, saya mengasah kembali kemampuan desain dan fotografi. Mengingat nilai mata kuliah jurnalistik foto yang tidak terlalu bagus, setiap hari saya selalu berlatih mengasah kemampuan foto. Dari KKN juga saya mengasah kemampuan desain, dari mulai desain proposal, pamflet hingga banner.
Saya juga mulai mengajar lagi, bertemu dengan anak-anak lagi setelah lama tak mengajar. Dari masyarakat juga saya mendapat banyak pelajaran hidup, tentang cara mengatur waktu, tolong-menolong, bekerja keras, pantang menyerah dan saling menghargai.
Berbicara kisah KKN, saya teringat suatu malam, saya ingat betul malam itu malam senin, kami tidak mengadakan evaluasi. Teman-teman keluar, ada yang pergi ke kelompok lain, ada yang pergi ke rumah temannya, ada pula yang berjalan-jalan ke pasar malam. Saya hanya berenam di rumah, bersama Rani, Nurul, Laili, Faza dan Ecky. Ada sedikit rasa “bete” karena tidak bisa ikut keluar, namun bagaimana lagi, kendaraan yang ada di rumah terbatas sehingga tak mampu membawa semua anggota.
Kami memutuskan untuk masak di rumah, masih ada sayur asam di dapur, masakan tadi siang. Kami menghangatkannya dan menggoreng telur sebagai tambahan lauk. Baru selesai memasak, Raihan dan Andini datang usai berkunjung ke teman sepondok mereka yang berdomisili di Jeungjing. Mereka memberi kabar bahwa ada pengajian bapak-bapak yang diadakan di masjid. Maka, para laki-laki yang tersisa di rumah pun langsung bergegas ke masjid, mengikuti pengajian.
Ada sebuah momen tak terlupakan di malam ini. Saya, Rani, Laili dan Nurul makan bersama di satu nampan. Dengan lahapnya kami menyuap sendok demi sendok nasi ke mulut, namun ada sesuatu yang aneh ketika Rani hendak mengangkat sendoknya dari mangkuk sayur, suatu makluk lembek berekor sudah menjadi bangkai di mangkuk sayur kami. Dengan seketika Rani langsung berteriak dan melemparkan sendoknya, sekejap kemudian Rani mulai menangis. Aku yang keheranan langsung berhambur keluar, mengeluarkan semua nasi di mulut tanpa tahu ada hewan apa di mangkuk kami. Begitu pula Nurul dan Laili. Andini yang tidak ikut makan hanya terbengong melongo, kemudian memeriksa mangkuk sayur dan dengan jail memfotonya.
Saya langsung bertanya ada hewan apa, ternyata cicak, mungkin terjatuh dari atap saat kami tinggal. Laili kemudian membuang sisa sayur tadi, Rani masih saja menangis dan memutuskan untuk berhenti makan. Sedangkan saya, Nurul dan Laili memilih melanjutkan makan dengan lauk yang tersisa. Menuruti suara perut yang demo minta diisi.
Ada hal yang biasa kami lakukan bersama untuk menghilangkan bosan di Jeungjing, yaitu nongkrong. Bukan jongkok loh ya, ini nongkrong. Biasanya hanya perempuan saja yang sering nongkrong, meskipun beberapa teman laki-laki terkadang ikut juga. Tempat tongkrongan kami bukan di Mc D, bukan juga KFC, hanya di warung papeda yang berlokasi beberapa meter dari rumah kami. Di warung itu ada beragam jenis jajanan, mulai dari papeda, mie, otak-otak, sosis, pop ice, dan beragam snack khas warung. Karena bangku yang tersedia cukup lapang, jadilah kami sering berkunjung ke sana, membeli papeda dengan harga 1.000 rupiah, sambil bercengkrama bersama membicarakan berbagai tranding topik yang sedang berkembang.
Saat kembali ke Ciputat, ada rasa hampa yang menyergap seluruh tubuh. Rasa itu bahkan belum hilang setelah dua hari berlalu. Perasaan kehilangan dan rindu bercampur aduk, hingga air mata tak bisa lagi dibendung, mengalir deras di pipi, menyisakan warna merah di bola mata dan bengkak kecil di kelompak mata. Biarlah, biarlah air mata menjadi saksi kisah ini, kisah perpisahan yang dibalut dengan kasih sayang.
Rasanya kisah yang telah kami lalui tak akan cukup tertulis dalam satu buku. Terimakasih atas 30 hari yang begitu berharga kawan-kawan. Begitu bersyukur ditakdirkan mengenal kalian. Saya rindu kalian, rindu tawa canda tiap hari, rindu makan bersama, rindu berebut harta karun “bakso” di makanan, rindu berebut kamar mandi, ribut bekerja bareng, rindu shalat berjamaah dan tadarus bersama, rindu nonton bareng, rindu mendengar musik yang biasa kalian dengar, rindu semua hal tentang kalian.

Terimakasih Jeungjing
Mobil kami tiba di suatu pedesaan asri. Jalanan terjalnya menyadarkan bahwa kami telah sampai di tempat yang akan menjadi rumah kami selama sebulan. Jeungjing, itulah desa tempat kami akan mengukir cerita dan senyuman. Sebuah desa di Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang.
Rumah singgah kami tak besar, hanya terdapat teras, ruang tengah, kamar mandi, dapur dan dua kamar. Meskipun kami harus mengantri kamar mandi dan berdesakan saat tidur, namun rumah ini cukup nyaman untuk ditempati 17 orang.
Tak disangka, kehadiran kami di Desa Jeungjing sangat ditunggu-tunggu. Pada hari ketiga kami singgah di Desa Jeungjing, bahkan sebelum pembukaan KKN dilaksanakan, rumah kami telah ramai oleh puluhan anak-anak Kampung Kecok, kampung tempat kami tinggal. Mereka hendak berkenalan dan belajar bersama dengan kami.
Mulai hari itu, kami mengajarkan bimbingan belajar untuk anak-anak di sekitar rumah. Kami juga mengajar mengaji di salah satu Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Awal mula mengajar, saya sempat kebingungan karena metode pengajaran yang digunakan di daerah ini berbeda. Buku yang biasa digunakan di daerah saya adalah iqro, sedangkan buku dan metode pengajaran yang diterapkan di Jeungjing berbeda. Metode aljabari, itulah yang biasa digunakan, sebuah metode asal Persia yang banyak berkembang di Jawa Timur. Dari generasi ke generasi, pengajar di Jeungjing masih setia mengunakan metode ini. Usai mengajar, saya pun langsung bertanya kepada ustadzah di sana mengenai metode tersebut. Alhamdulillah, saya mendapatkan ilmu baru dari Jeungjing.
        Ada sambutan yang tak akan saya lupakan. Saat pertama kali tiba di rumah, kami telah disambut oleh hewan-hewan kecil berkaki seribu. Saya mengira hewan itu muncul karena beberapa hari rumah dikosongkan. Namun anehnya, setiap hari hewan itu tak pernah absen berkunjung ke rumah. Bahkan lebih menakutkan lagi, jika biasanya saya melihat kaki seribu hanya melata di tanah, kali ini kaki seribu itu bermunculan di mana-mana, berjalan di tembok, masuk ke kamar, dapur, kamar mandi, bahkan jatuh dari atap. Kedatangan makhluk-makhluk itu bagaikan teror karena saya merasa takut dan juga jijik, warna merah bata yang melekat di tubuh kecilnya tak bisa saya lupakan.
            Pernah di suatu pagi, usai mandi, tiba-tiba saya menginjak sesuatu, sedikit empuk namun juga terasa kaku. Saya langsung berlari tanpa melihat apa yang saya injak. Usai menjemur pakaian, saya langsung memeriksa apa yang diinjak tadi, namun tak ada apa-apa, tak salah, pasti itu adalah kaki seribu. Saya langsung bergidik ngeri.
            Apa yang saya alami mungkin tidak seberapa, kawan saya merasakan lebih buruk lagi, misalnya kaki seribu jatuh ke lehernya saat tidur, merayap di tangan saat tidur, jatuh ke atas kerudungnya saat memasak, jatuh ke badannya saat sedang mandi, dll. Rasa waswas tak pernah hilang setiap hari, takut tiba-tiba kaki seribu itu muncul.
Berbeda dengan KKN tahun sebelumnya, jika tahun lalu terdapat tiga kelompok dalam satu desa, tahun ini hanya ada satu kelompok dalam satu desa. Desa Jeungjing yang memiliki 42 RT ini pun tak kuasa kami jangkau sendiri, maka kegiatan kami hanya berfokus pada tiga kampung saja, diantaranya Kampung Kecok, Kampung Cilisung dan Kampung Jombang.
Tiada hari tanpa berbagi ilmu, itulah yang kami rasakan. Hari-hari di Desa Jeungjing tak pernah terlepas dari berbagi ilmu dengan anak-anak maupun masyarakat. Dari Senin hingga Jumat kami mengajar, baik di sekolah maupun di rumah. Kami mengajar di tiga sekolah, diantaranya MI Al-Habibah, SDN Jeungjing II, dan SD Karya Bangsa. Di MI Al-Habibah dan SDN Jeungjing II kami hanya mengajar ekstrakulikuler, sedangkan di SD Karya Bangsa kami membantu para guru mengajar berbagai mata pelajaran.
Di minggu kedua KKN, saya mengajar pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas 1 sampai 3. Sedangkan di minggu ketiga saya mengajar Bahasa Indonesia. Sebelum memulai kegiatan belajar mengajar, kami shalat dhuha berjamaah, lalu menghafal beberapa surat pendek. Tidak mudah mengajar anak-anak SD, mereka sangat aktif, sehingga saya harus berteriak-teriak dan mengeluarkan tenaga ekstra untuk menghadapi berbagai prilaku mereka, ada yang berdiri di atas meja, tidur-tiduran di lantai, bertengkar, menangis, tidak memperhatikan, selalu mencari perhatian dan lain sebagainya.
Meskipun bangunan sekolah SD Karya Bangsa bagus dan cukup luas, namun hanya ada segelintir siswa yang bersekolah di sini. Kelas satu hanya berjumlah sekitar 17 orang, kelas dua berjumlah 10 orang dan kelas tiga hanya dua orang. Saat proses KBM, kelas dua dan tiga harus bercampur dalam satu kelas. SD Karya Bangsa baru berdiri sekitar dua tahun, oleh karena itu hanya ada tiga angkatan, itupun karena dua orang anak kelas tiga merupakan siswa pindahan. Hanya ada empat orang guru di SD Karya Bangsa, tiga diantaranya perempuan yang merangkap sebagai staf TU dan satu laki-laki yang juga merupakan kepala sekolah.
Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Al-Habibah justru bertolak belakang dengan SD Karya Bangsa. Siswa di MI ini bisa dibilang membludak, namun sayang, fasilitas sekolah masih belum layak. Hanya ada dua gedung yang membentuk leter “L”, atapnya pun sudah lapuk dimakan rayap, lemari buku telah usang, debu beterbangan di halaman sekolah. Meskipun MI ini memiliki banyak murid, namun sangat disayangkan sekolah tidak mengadakan program ekstrakulikuler sehingga bakat anak-anak tidak terasah. Maka kami pun mengajarkan ekstrakulikuler karate, futsal dan saman di sana. Kami juga merenovasi lemari buku di MI Al-Habibah dan menyumbangkan buku-buku untuk pojok baca. Kami berharap semangat anak-anak dalam membaca akan meningkat.
Jeungjing merupakan desa berkembang dengan luas wilayah 2.534 hektar, ada kekayaan yang tertimbun di dalamnya, baik dari Sumber Daya Manusia (SDM) maupun Sumber Daya Alam (SDA). Selain area persawahan yang luas, banyak industri rumahan yang mengakar di Desa Jeungjing, salah satu produksi bahkan telah melanglang buana ke kancah internasional. Diantara industri rumahan yang banyak terdapat di Jeungjing adalah kerajinan kulit reptil, sandal, dan sepatu.
            Waktu satu bulan tidak saya sia-siakan, jika ada waktu luang, saya bersama beberapa teman langsung menggunakannya untuk mengexplore Desa Jeungjing, selain  untuk bahan video dokumenter, kami juga ingin tahu Desa Jeungjing lebih mendalam.
            Salah satu produsen kerajinan kulit reptil di Desa Jeungjing adalah Pak Agung, beberapa kali saya berkunjung ke kediaman beliau untuk melihat proses produksi. Tempat produksi kerajinan kulit itu tidak besar, hanya bertempat di halaman depan rumah warga. Namun siapa sangka penjualan kerajinan kulit ini sudah mencapai tingkat internasional. Salah satu negara yang berlangganan adalah Korea. Pak Agung juga beberapa kali mengadakan pameran di luar negeri, diantaranya Malaysia, Singapura, dan Rusia.
            Bapak satu anak ini memproduksi berbagai kerajinan diantaranya tas, dompet, gantungan kunci dan ikat pinggang, hal ini bisa disesuaikan dengan orderan konsumen. Adapun reptil yang biasa digunakan adalah ular dan biawak. Selain kedua bahan tersebut, Pak Agung juga membuat kerajinan dengan bahan dasar lainnya jika tersedia, seperti kulit buaya, kulit pari, bahkan kulit ceker ayam.
Bukan hanya Pak Agung yang memproduksi kerajinan dari kulit reptil, beberapa warga juga memiliki usaha seperti ini. Pak Agung sendiri memiliki keahlian ini setelah merantau ke Jakarta, mengadu nasib menjadi buruh pabrik. Saat pulang ke Jeungjing, Pak Agung memberanikan diri membuka usaha sendiri, hingga kini beliau memiliki sembilan orang pegawai dan usahanya terus berkembang.
            Saya juga mendatangi industri rumahan sandal dan sepatu. Di antara beberapa industri rumahan yang berkembang di Jeungjing, produsen sepatu adalah yang terbanyak. Sedangkan produsen sandal di Jeungjing hanya ada satu orang, yaitu Pak Amir.
            Kebanyakan tempat-tempat produksi di Desa Jeungjing bukanlah pabrik, melainkan hanya rumah yang disulap menjadi tempat produksi. Kami pun berbincang dengan Pak Agus, salah satu produsen sepatu. Produksi sepatu yang dihasilkan Pak Agus terbilang cukup sukses, dalam sebulan Pak Agus bisa memproduksi 100 pasang sepatu.
            وَمَا اللَّذَّةُ إِلَّا بَعْدَ التَّعْبِ . Tiada kenikmatan kecuali setelah bersusah payah, pepatah itu nampaknya sesuai dengan perjalanan panjang yang ditempuh Pak Agus. Berbagai rintangan dan cobaan telah dicicipi olehnya. Semenjak duduk di Sekolah Dasar, Pak Agus sudah membantu orang tua dan berusaha untuk mencari penghasilan sendiri. Sebagai seorang tamatan SMP, Pak Agus tidak merasa malu, beliau yakin kesuksesan bisa diraih. Beliau merantau, menjadi buruh di sana sini, belajar keahlian ini dan itu. Hingga di kemudian hari, saat kembali ke tanah kelahirannya, beliau nekat memulai produksi industri sepatu hanya dengan modal 200 ribu rupiah.
            Tiada doa yang mengkhianati usaha, saat ini usaha Pak Agus semakin berkembang, Pak Agus bertekad untuk membuka lapangan kerja bagi orang-orang di kampungnya, buktinya saat ini Pak Agus sudah merekrut lebih dari sepuluh karyawan. Pak Agus juga tidak pelit terhadap ilmu yang dimilikinya, beliau membuka pelatihan membuat sepatu untuk orang-orang di sekitarnya.
            Salah satu keistimewaan Jeungjing di mata mahasiswa adalah biaya hidup yang terjangkau. Karena masih berada di daerah pedesaan, harga sayur mayur dan jajanan masih murah, misalnya harga satu porsi nasi uduk hanya Rp5.000, lengkap dengan telur, bihun, tahu dan tempe semur, gorengan, serta kerupuk, harga satu mangkuk bubur kacang hijau hanya RP3.000 per-porsi, bahkan boleh juga membeli dengan Rp2.000. Satu porsi soto plus nasi hanya Rp7.000, dan lain sebagainya.
            Mengenai makanan, ada tradisi khas di Desa Jeungjing saat makan bersama, yaitu ngeliwet. Makan bersama di atas wadah daun pisang, yang berbeda dengan cara ngeliwet kami, mereka tidak memasak nasinya menjadi liwet, hanya sekedar nasi putih biasa dan ada menu yang tidak boleh absen, yaitu jengkol.
Pernah suatu hari ibu-ibu menawarkan kami untuk ngeliwet bersama usai acara pengajian, saat itu saya bertiga dengan Rani dan Mutia, kami pun menerimanya dengan senang hati. Lauk yang disajikan adalah ikan asin, jengkol, kentang dadu, sambal dan udang. Namun di antara lauk lainnya, jengkol lah yang paling mendominasi, tidak enak rasanya bila harus menolak, namun saya tak suka jengkol. Dengan sedikit siasat, saya tuangkan udang lebih banyak di depan saya, saya menghindari makan jengkol tanpa ketahuan sedikitpun.  Kami makan bersama, bercengkrama dan berfoto, suasanya terasa hangat dan saya seperti menemukan keluarga baru..
Hal lain yang tak akan terlupakan dari Jeungjing adalah anak-anak. Setiap hari rumah kami tak pernah sepi, selain untuk bimbel dan meminta diajarkan mengaji, mereka juga datang untuk bermain, sekedar ngobrol berbagai perkara bahkan ikut nonton bola bersama. Pernah suatu ketika seorang anak bertanya kepada saya “Kak, gimana sih caranya ikut KKN? Saya kemudian menjawab “Kuliah dulu, nanti bisa KKN deh.” Dengan polosnya mereka menjawab “Nanti aku juga mau kuliah, aku mau KKN seperti kakak”. Seketika hati saya tersentuh, ucapannya menandakan betapa bernilainya kami di mata mereka, padahal tak banyak yang kami beri.
Tak ada habisnya jika berkisah tentang Jeungjing, di acara perpisahan, kami menampilkan slide foto-foto kegiatan dan kebersamaan kami di Kampung Kecok. Entah mengapa dadaku terasa sesak, air mata tak lagi bisa dibendung. Saya menutupi mata dengan kamera, berpura-pura memotret sekitar, padahal air mata sudah berjatuhan di pipi. Saat anak-anak memeluk saya, saya tak kuasa untuk menahan tangis, saya peluk mereka sedangkan air mata mengucur deras, sesekali isakan juga terdengar. Ah betapa cengengnya, bahkan di depan anak-anak saya menangis. Saya memaksa untuk berhenti menangis, mecoba menghibur mereka, namun terasa sia-sia, mereka tak kunjung berhenti menangis.
Detik-detik saya akan meninggalkan Desa Jeungjing, anak-anak terus berkata “Ka, jangan lupain kita, ka setiap minggu datang ke sini ya”, mereka beriringan bersalaman, memeluk saya, bahkan ikut membantu mengangkut barang-barang ke mobil, kemudian melihat kepergian kami sambil berteriak “Kak, jangan lupain kita”. Adik-adik, kakak pasti akan sangat merindukan kalian.

Sejuta Harapan
            Desa Jeunging memang memiliki keistimewaan, namun bukan berarti sempurna. Terdapat beberapa kekurangan yang mesti diperbaiki, salah satunya adalah kebersihan. Saya sering menemui tumpukan sampah di pinggir jalan, di got, bahkan di halaman sekolah. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai cara mengolah sampah membuat mereka lebih sering membakarnya. Padahal membakar sampah justru bisa menimbulkan dampak negatif baru, misalnya dalam jangka panjang bisa menyebabkan penyakit asma, kanker paru-paru dll.
              KKN Infinity dengan segala keterbatasan mencoba membantu masyarakat Jeungjing melalui berbagai program yang mendukung, diantaranya kerja bakti, sosialisasi kebersihan di sekolah, dan workshop pemanfaatan sampah. Sosialisasi kebersihan di sekolah kami lakukan agar anak-anak memiliki kesadaran membuang sampah pada tempatnya. Melalui workshop pemanfaatan sampah, kami berharap sampah-sampah bukan lagi menjadi musibah bagi warga, tetapi menjadi berkah dengan mengolahnya menjadi produk yang lebih bermanfaat.
Untuk meningkatkan kesehatan warga Desa Jeungjing kami mengadakan seminar kesehatan yang diisi oleh dr. Eka Yandera, kami juga mengadakan cek gula darah, tekanan darah dan cek golongan darah gratis yang dilakukan oleh tim PMI. Bagi warga yang memiliki hipertensi dan tekanan darah tinggi, kami memberikan kesempatan konsultasi dengan dokter, serta memberikan obat gratis. Kegiatan ini berpusat di Kampung Cilisung. Sedangkan di Kampung Kecok, kami memberikan vitamin dan alat tulis gratis kepada anak-anak.
Mayoritas masyarakat Jeungjing beragama islam, maka tidak heran jika ada belasan pengajian ibu-ibu di Desa Jeungjing, belasan masjid berdiri kokoh di pinggir-pinggir jalan, tiap sore anak-anak ramai mengaji. Namun masih ada yang belum sempurna, seringkali masjid terlihat sepi, hanya di waktu magrib saja yang terlihat lebih baik. Bahkan masjid-masjid di Jakarta masih terlihat lebih ramai. Saya sendiri pun belum mencari dan menemukan jawabannya. Namun saya harap warga Desa Jeungjing mampu meningkatkan kesadaran shalat berjamaah di masjid.
Saya juga berharap sistem pendidikan di Jeungjing semakin berkembang, semoga ke depannya anak-anak bisa mengembangkan berbagai kemampuannya melalui berbagai program ekstrakulikuler. Semoga anak-anak bisa mendapatkan banyak buku bacaan dan gedung sekolah yang bagus. 

Kami telah berusaha sebaik mungkin. Namun apa daya, tak ada yang bisa mencapai kesempurnaan. Satu bulan yang kami torehkan tak mengubah banyak hal, tidak banyak pula yang dapat kami beri. Namun kami berharap masyarakat dapat mengambil manfaat dari kami. Semoga Desa Jeungjing semakin berkembang, meskipun tiada kami lagi di sana. Saya sangat bersyukur bisa menapakkan kaki di tanah Jeungjing. Saya mendapatkan sejuta cerita yang tak akan terlupakan. Cerita tentang ketulusan, kebersamaan dan harapan. Terimakasih Jeungjing

Komentar

Postingan populer dari blog ini

As-Sam'iyyat

As-Sam’iyyaat Temen-temen pernah denger istilah As-sam’iyyat? Mungkin sebagian dari kita udah nggak asing lagi dengan istilah ini, As-Sam’iyyat merupakan perkara yang tidak dapat digambarkan dengan pancaindera manusia dan hanya dapat diketahui melalui al-quran dan al-hadis. Adapun perkara-perkara yang termasuk as-sam’iyyat adalah alam kubur, hari kiamat, malaikat, jembatan sirath, padang mahsyar, surga dan neraka. Bahkan, jin, dan setan juga merupakan perkara as-sam’iyyat karena kita tidak dapat melihatnya dengan kasat mata kecuali dengan kekuasaan Allah. Kita sebagai umat muslim wajib untuk meyakini akan adanya as-sam’iyyat walaupun hal tersebut hanya dapat kita dengar dari al-quran dan hadits. Dalil kewajiban beriman dengan perkara sam’iyat seperti yang Allah firmankan di dalam Al-quran : الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebah

Ibnu Qutaibah dan Ilmu Musykil al-Qur’an: Dialektika antara Akal dan Teks

Pendahuluan Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt dengan jelas dan terperinci, kandungannya benar dan jauh dari kesalahan. Apabila manusia yang membuat a l-Qur’an, tentu saja ada berbagai pertentangan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al -Nisa ayat 82: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al- Qur ’ an? Kalau kiranya al- Qur ’ an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat i pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. Al-Nisa’: 82) Oleh karena itu, para ulama menggunakan kata “musykil” pada ilmu al-Qur’an ( musykil al-qur’an ), bukan mukhtalaf sebagaimana yang digunakan dalam pembahasan ilmu hadis ( mukhtalaf al-hadits ). Hal ini dikarenakan a l-Qur’an adalah haq , tidak ada pertentangan di dalamnya, berbeda dengan hadis yang masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian, tidak semua ayat a l-Qur’an dapat dipahami secara lang

Sunnah-Sunnah Sholat Menurut para Imam Madzhab

Shalat merupakan  kewajiban seorang muslim kepada Tuhannya, Allah. Ibadah inilah yang paling pertama akan dihisab di akhirat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: إِنَّ أَوَّلَ مَايُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاة “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah sholatnya.” Nah, sudahkah kita memahami betul perkara-perkara sholat? Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu yang pernah saya pelajari ketika belajar di TMI Pesantren Modern Daarul Uluum Lido dalam kitab “Al-Fiqhu ‘alaa Madzaahibil Arba’ah” (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hanbali) karya Abdurrahman Al-Jaziri. Terkadang kita menyepelekan dan mengabaikan perkara-perkara sunnah dalam sholat, memang kita tidak berdosa jika meninggalkan perkara sunnah, namun hal ini tentu akan merugikan kita. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sunnah-sunnah shalat, Allah SWT tidak membe